Sepanjang perjalanan kami diam, aku tak membalas ucapannya yang menyalahkanku.
Terserah dia mau apa, toh aku sudah menebak dia pasti akan menyalahkanku.
Yang kulihat terkadang dia menangis, lalu kembali diam. Semua tingkahnya tak pedulikan, sebab aku harus fokus mengemudi.
Aku tak mau mati konyol dengan bertengkar saat sedang berkendara.
Berapa nyawa yang mati gara-gara ribut di dalam mobil?
Untungnya kondisi kami cukup kondusif, Hulya tak memancing amarahku.
Sesampainya di rumah, aku memilih segera turun tanpa memedulikannya.
Dapur menjadi tujuanku. Setidaknya seteguk air dingin bisa meredam hatiku yang panas.
Hulya mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu dan lagi-lagi menangis.
Terlanjur mengatakan pada Hendi bahwa aku tak bisa kembali ke toko, kini aku terjebak di sini. Kurutuki diri sendiri.
Mau apa aku di sini? Menghibur Hulya? Bukan menghibur yang ada kami akan perang dunia, karena sudah pasti Hulya akan kembali menyerangku dan menyalahkanku.
Lalu setelahnya? Aku harus minta maaf seperti pecundang? Tidak akan.
Bukan hanya dia yang terpaksa dengan pernikahan ini, harusnya dia ingat jika kami menikah karena perjodohan.
Kalau memang dia menyukai lelaki lain, harusnya dia tegas dengan orang tuanya dan menolak.
Sekarang dia malah menyalahkan aku. Wajar aku menerima dia, karena memang aku ingin menyenangkan orang tuaku, saat itu aku juga tak memiliki hubungan dengan wanita lain.
Kini perasaanku pada Hulya mati rasa. Hati yang coba kubuka untuknya, kini kututup lagi. Cukup sudah aku terluka.
Dengan menarik napas kudekati Hulya dan duduk di seberangnya.
"Apa kamu mau aku antar ke rumah abi?" tawarku.
Bukankah lebih baik kami berpisah dulu saat ini, bukan ingin bercerai sekarang juga. Aku hanya ingin dia introspeksi diri di rumah orang tuanya.
Biarlah abi dan uminya yang melihat keadaan putrinya dan mungkin bisa membuka pikiran Hulya, jika perasaan yang di milikinya itu salah.
Dia menatapku tajam, membuatku mengernyit heran.
"Kamu sengaja ingin agar aku di marahi habis-habisan sama abi?!" sentaknya.
Astaga, aku bermaksud baik, tapi ternyata begitu picik pikirannya. Tak ada lagi suara lembut Hulya padaku. Bahkan kini dia berani memanggil aku dan kamu.
Baiklah Hulya, ini semua atas permintaanmu.
"Terserah, aku hanya menawarkan diri. Memang aku bilang harus mengatakan permasalahan kita sama orang tuamu? Bersihkan pikiran burukmu tentangku Hulya!" tandasku lalu bangkit meninggalkannya lagi.
Aku memilih masuk ke dalam kamar dan mengistirahatkan tubuhku. Hingga sore menjelang tak ada tanda-tanda Hulya masuk ke dalam kamar.
Sebaiknya kami pisah kamar saja, aku tak sanggup harus tidur dengannya lagi.
Saat aku keluar, Hulya tak ada di ruang tamu. Aku pun ke dapur mencari sosoknya, nihil.
Lalu kulangkahkan kaki menuju kamar ke dua, saat ingin mengetuk ternyata aku mendengar isakannya lagi.
Aku hanya menghela napas lalu memilih menghindarinya dan kembali ke dapur.
Akhirnya kuputuskan memesan makanan siap saji melalui aplikasi untuk makan malam kami, aku yakin Hulya tak akan memasak hari ini, mungkin sampai esok.
Setelah makanan sampai, aku pun mengetuk pintu kamarnya. Ternyata bukan hanya aku yang ingin berpisah kamar dengannya. Nyatanya ia juga ingin pisah kamar.
"Ya, makan dulu, aku udah pesankan makanan untukmu!" ajakku dengan nada sedikit keras memanggilnya.
Tak ada sahutan. Kembali ku ketuk kamarnya. Aku khawatir dia kenapa-napa.
"Hulya! Tolong jangan mempersulit, kalau kamu sakit, justru akan membuat orang tuamu tau masalah kamu!" pekikku lagi.
Benarkan? Ini masalah dia, bukan masalahku, makanya aku tak bilang masalah kami. Bukan lepas tanggung jawab, tapi memang apa yang bisa aku lakukan? Jelas aku menyangkalnya.
Suara kunci bergeser membuatku mundur selangkah. Matanya bengkak, hidungnya memerah. Wajahnya bengkak semua karena menangis dari siang sampai saat ini.
Apa dia tak lelah terus menangis?
"Aku malas makan," lirihnya.
Dulu saat suaranya seperti itu aku akan panik dan merayunya agar kembali semangat. Namun kini yang kurasakan biasa saja.
"Apa kamu mau sakit lalu orang tuamu akan bertanya banyak hal? Terserah padamu, aku hanya tak ingin mempersulitmu!" dengusku.
Kini pun aku tak memanggilnya 'dek'. Kami benar-benar seperti orang asing yang tinggal bersama.
"Aku akan menempati kamar ini, mulai malam ini, kamu bisa kembali ke kamar utama setelah makan," jelasku.
Dia mendongak tak percaya. "Maaf," hanya itu yang dia ucapkan.
Heran aku sama Hulya, sedikit-dikit minta maaf, lalu tak lama dia menyalahkanku. Sikapnya membuatku seperti menaiki rolercoster. Naik turun dengan sangat cepat.
"Tak perlu minta maaf lagi kalau semua tak tulus dari hatimu," sergahku.
Kulanjutkan langkah ke dapur untuk mengisi perut. Sebaiknya kini aku fokuskan diri untuk mengembangkan usahaku dari pada memikirkan rumah tangga yang entah akan berakhir ke mana.
Ternyata dia mengikutiku. Dia duduk di depanku lalu membuka bungkusan yang aku geser ke arahnya.
Saat kubuka pesananku, dia terkejut karena aku memesan makanan yang tak pernah dia pesan atau pun dia masakan untukku.
Tentu saja dia terkejut, dia berharap aku seperti Azam, padahal kami jelas-jelas dua orang yang berbeda.
Dulu aku menerima apa pun yang dia hidangkan padaku. Namun tidak sekarang. Dia harus tau bahwa aku Ragil, bukan Azam.
"Kamu suka makanan seperti itu mas?" cih, kini dia kembali memanggilku mas.
Aku mengunyah makananku dengan santai sebelum menjawab pertanyaannya.
"Dari dulu aku suka makanan seperti ini, kamu saja yang tidak mencari tahu apa yang aku suka. Semua yang kamu berikan padaku semua yang di sukai Azam bukan aku!" jawabku datar.
Dia terkesiap lalu menunduk dan melanjutkan makanannya.
"Maaf," lagi-lagi dia mengatakan hal itu.
"Ngga perlu minta maaf lalu nanti berubah pikiran dan menyalahkanku," cercaku.
Tak ada lagi obrolan, kami makan dalam diam. Saat aku akan membersihkan bekas makananku, dia menahannya.
"Biarkan aku yang mencuci. Maka sih makanannya mas," ucapnya sambil tersenyum.
Jika dulu aku bahagia dengan senyumannya, tapi tidak sekarang. Aku tau dia hanya terpaksa.
Aku kembali ke kamar utama untuk membereskan pakaianku. Aku mengalah, sebab kamar ini memang lebih pantas untuk Hulya dari pada diriku.
Meski kamar ke dua tak ada kamar mandi, tak apa, aku hanya butuh tempat untuk istirahat.
Hulya kemudian bergabung denganku dengan duduk di tepi ranjang.
Dia melihatku yang tengah sibuk membereskan pakaian di lemari.
"Apa ngga papa kamar ini untukku mas?" tanyanya.
Hah! Hatiku mencelos, bukan berharap, aku hanya berpikir dia akan mengajakku untuk mengurungkan niat.
Nyatanya justru malah dia benar-benar berharap kami berpisah.
"Sampai kapan kita seperti ini Hulya?" tanyaku akhirnya.
Bukan untuk kembali bersama, aku perlu kepastian tentang kelanjutan rumah tangga kami.
"Maksud kamu mas?" herannya.
"Apa kita akan selamanya seperti ini?" dia terkesiap. Aku tau apa yang dia pikirkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
N Wage
selalu begini...
cerita bagus tapi berlatar kehidupan orang2 sederhana,yg real sedikut tg baca dab nglike.padahal ini banyak terjadi di kehidupan nyata.bisa diambil hikmahnya,serta bisa diambil pelajaran bagaimana sang tokoh utama (ragil)menyelesaiakan permasalahannya.
2023-09-24
0