Bab 17
"Yah, Constan sendiri baru berumur tiga puluh empat tahun. Jika dia memerankan lakonnya, dia masih terlihat muda daripada umur sebenarnya. Dan dia mendapatkan peran sebagai seorang ayah. Mungkin itu yang menyebabkan dirinya tertarik dengan Limin, semacam sesuatu kebutuhan psikologis untuk merasakan sebagai seorang ayah."
"Nenek, kebutuhan untuk menjadi seorang ayah itu biasanya bersifat biologis," kata Manner. "Tetapi betapa pun Constan seorang perfeksionis, dia akan menghadapi suatu penderitaan mendalam karena ikatan pernikahan, hanya untuk mendapatkan "rasa sebagai seorang ayah" dalam memerani Operanya, aku kira itu tidak masuk akal. Aku juga melihat dari sudut pandang Constan. Aku sangat yakin dia tidak akan semudah itu untuk berubah, selepas yang dia katakan sore itu," jelas Manner lagi.
"Apa yang dia katakan?" kata nenek.
"Dia menyebutkan tentang pernikahan dengan memandangi Limin," sahut Manner agak mengeraskan suaranya.
"Huuh!" Nenek Peters mengindahkan omongan Manner. "Bagaimana dengan dirimu? Kau sudah berumur. Tiga puluh enam tahun. Kalau kau ngelantur untuk beberapa tahun lagi, tidak akan ada wanita yang mau mendekat denganmu." Pandangan Nenek Peters mengarah ke arah Dygta yang bersandar kepada pintu sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Manner pun mengikuti pandangan sang nenek.
"Apa kau akan menyetujuinya?" gumam Manner.
"Ya. Dia wanita yang sehat dan tidak pesakitan. Dia kelihatan seperti kesunyian." Wanita paruh baya itu mendorong kaca matanya. "Kau laki-laki tampan, Manner. Kau tidak akan kesulitan untuk mendapatkan seperti yang kau inginkan."
Manner mengangkat bahunya dan memasukkan potongan kayu ke tungku perapian dengan sepatunya. "Ketampanan yang kumiliki hanya sedikit, Nenek. Aku..., dia selalu menjaga jaraknya dariku."
"Omong kosong apa yang kau ucapkan, Manner Peters? Kau berbicara kepadaku, dan aku sudah banyak makan asam garam di dunia ini."
"Laki-laki tampan selalu dapat meraih apa yang diinginkannya, tetapi tidak selalu cocok bagi dirinya untuk dapat memperolehnya hanya dengan mempraktikkan kebaikan. Kau harus menunjukkan sikap yang membuatnya gengsi kepadamu," lanjutnya lagi.
Manner tidak lagi menjawab apa yang dikatakan oleh nenek Peters. Dia tersenyum dan berjalan menuju pintu tempat Dygta menyandarkan kepalanya.
"Kau rupanya merenung di sini." Dygta tersenyum kepadanya. "Apabila musim gugur tiba, kebun-kebun pasti mengeluarkan aroma yang khas dari sana dan menguar, membuat pikiran kita tenang apapun masalah hidupmu."
"Aroma musim gugur akan mengingatkanku kepada keluarga Peters dan aku di dalam kehidupanku." Seketika senyuman yang bertengger di bibir Dygta menghilang, raut wajah yang tampak sedih itu sungguh kentara. Dia berjalan menuju ke dinding teras. Aroma semerbak bunga-bunga yang berada di kebun menguar bercampur dengan alunan musik di ruang keluarga.
"Pekarangan ini akan lebih indah lagi pada musim dingin. Dihiasi dengan karpet putih bersih meliputi taman dan kebun dan dahan serta ranting yang membeku," gumam Manner.
"Kalau musim dingin datang, aku sudah pergi dari kediaman ini," kata Dygta tanpa memandangi Manner.
"Dygta, kau tidak perlu pergi dari kediaman keluarga Peters. Hanya karena bekas cincin di jarimu yang dianggap kau mempunyai tunangan atau suami. Tapi yang paling masuk akal kau memiliki tunangan dan sedang bertengkar dengan tunanganmu itu. Suatu pertengkaran yang istimewa dan emosional, yang membuat kau berusaha untuk melupakan segalanya yang berhubungan dengannya," kata Manner sambil memegangi bahu Dygta.
"Kalau saja jawabannya sesederhana itu!" ucap Dygta lirih. "Aku juga ingin seperti itu, tetapi yang aku rasakan bukan seperti itu."
Dygta mengingat kata-kata Limin lagi, "Lucu, tak ada orang yang merasa kehilangan, bahkan mereka mengirimkan kau ke kediaman ini dan berakhir di tangan Manner, dan tak ada yang tahu di mana alamat pengirimnya."
Limin benar mengatakan hal itu. Tentu saja akan ada yang heboh jika dirinya hilang dari sebuah keluarga atau sebuah rumah keluarga. Mereka akan segera melaporkan ke kantor polisi atas kehilangan dirinya dan menyerahkan fotonya dan segala gambar pribadi yang menyangkut dirinya untuk memudahkan pencarian. Sahabat akan ditanyai dan majikan pun dimintai nasehat. Dengan cara itu akan ditemukan kembali orang yang hilang dalam beberapa jam ke depan atau beberapa hari. Dan nyatanya dia dibiarkan ditangan orang asing yang bahkan dirinya tidak mengenal siapa-siapa. Sungguh malang nasibnya.
"Sepatu sendal yang tidak jelas itu, misalnya! Bagaimana dia sampai memiliki itu? Apakah dia mencurinya?" pikir Dygta.
"Sudahlah! Hentikan pikiran macam itu!" kata Manner. "Kau pencuri sama juga denganku. Sekali kau menganggap dirimu pencuri, itu hanya membuat dirimu sakit. Aku akan memerintahkan kau hanya boleh berkeliling ditempat tidur saja dan aku akan memberikan makanan yang hanya berlaku untuk orang diet ketat. Tentunya kau tidak menginginkan hal itu, bukan?" Manner memegangi dagu Dygta dan melihat matanya yang suram dan kerjapan matanya mengandung kesedihan bahkan gemetaran di dalam dirinya. Manner lalu menundukkan kepalanya, lalu menciumi* bibirnya dengan lembut. Hanya sebentar kecupan itu terjadi dan ia melepaskannya.
"Aku tidak akan meminta maaf karena ini," kata Manner tersenyum manis.
...****************...
Malam itu, Dygta tidak nyenyak dalam tidurnya, tidak seperti biasanya. Di pagi buta, dia sudah mendengar deruman mobil Manner yang beranjak dari rumah itu pergi ke acara yang dia pernah sebutkan. Kabut tipis menyelimuti, kebun dan taman yang ada di sana, namun burung kecil tetap berkicau riang seolah-olah memanggil dan membangunkan seluruh penghuni rumah itu. Dygta menyedekapkan lengannya pada dadanya. Dia masih terpikir akan perkataan Limin sore itu.
"Bukankah kau berasal dari Padang rumput rawa-rawa?"
Pagi itu, Dygta sampai pada suatu keputusan. Dia akan kembali ke Padang rumput hari ini dan jika dia dapat menemukan hal yang berkaitan, dan apa sebenarnya kaitan hubungannya dengan dirinya sendiri.
Dygta menyelinap dari rumah, sekitar pukul setengah tiga siang hari, dia mendengar suara mesin tulis yang sedang digunakan oleh Limin di ruang perpustakaan. Tak terdengar suara Nyonya Peters, karena dia sedang beristirahat siang di dalam kamarnya. Dygta memicingkan matanya dan mengancingkan jaketnya dengan jari jemari yang sudah kedinginan dan segera keluar dari halaman rumah kediaman Keluarga Peters.
Ini bukan pertama kalinya ia melintasi daerah itu sejak dia datang, dan biasanya dia tidak melintasi daerah itu lebih jauh.
...****************...
Dygta sampai pada suatu dataran tinggi yang berumput, tampaklah Padang rumput yang disinari matahari mencondong ke arah barat. Ada beberapa pepohonan yang sekarang ada didekatnya. Gunung yang berumput itu nampak seperti pulau kecil. Pulau rumput ditengah tanah tandus dan mata Dygta memicing ke arah sana sambil menyeringaikan bibirnya ke atas. Dia berpikir, betapa bodoh*nya dirinya yang mencoba menakut-nakuti Padang rumput itu dengan senyumannya Pada siang hari dia berbeda dan pada malam hari saat bulan purnama tidak bersinar, itu tampak sangat menyeramkan. Sekarang dia menghadapi ruang dan waktu yang tanpa batas. Dygta mengambil buah arbai liar dan mencoba untuk memakannya dibawah pohon Rowan. Lama dia tertidur dibawah pohon itu.
Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya. Dia sadar di mana dirinya berada. Dygta merasakan kekakuan pada kakinya yang tertekuk selama dia tertidur, dan juga pada leher dan bahunya. Perlahan-lahan Dygta bergerak dan mengeluarkan erangan kecil melalui bibirnya yang lembut dan muda itu. Dipandanginya sekitarnya, lalu menyadari bahwa dia tertidur untuk beberapa jam di sana.
"Yak, kau memang sangat cocok tidur dibawah pohon Rowan."
...**************
...
Pohon Rowan
Buah Arbia/Arbei liar.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments