Bab 5
Dygta bangkit dari duduknya dan menatap Constan dengan tatapan yang kurang suka terhadapnya, “Katakan apa saja yang ada di dalam pikiran anda, Tuan Peters!” seru Dygta, “Teruskan saja, ucapkan saja!”
“Hal itu akan membuat saya sangat senang,” sahut Constan. “Saya kira kau memang kehilangan pekerjaanmu, bahkan ingatanmu, dan kau memilih keluarga Peters untuk menyediakan segala sesuatu untukmu, seperti makan dan tempat kau bernaung. Kalau kau memang lagi kesulitan dan tak ada solusi untuk masalahmu, katakan saja. Jangan mempermainkan kami semua!”
“Tetapi saya tidak sedang bermain-main, Tuan Peters.” mata Dygta berkaca-kaca. “Saya tidakakan melakukan hal semacam itu. Percayalah kepada saya.”
“Kenapa? Kenapa kami mesti percaya kepadamu? Apa karena kau berlagak hilang ingatan sama mudahnya dengan memperoleh sesuatu yang gampang, misalnya Red velvet cake?” Mata Constan terlihat mencemooh bertatapan dengan mata Manner.
“Ada peringatan untukmu, anak tua, kau harus waspada terhadap orang asing yang sudah berani memasuki rumah dan hidupmu.”
“Ya Tuhan...! Aku belum pernah bertemu orang sepertimu yang krisis kepercayaan terhadap orang lain. Tentu dalam dirimu ada sesuatu hal yang sangat pahit sekali sampai membuatmu seperti itu,” jelas Manner. “Apa yang terjadi? Apa yang membuatmu sangat terluka seperti itu?” tanyanya lagi kepada sepupunya itu.
Dygta seperti mundur menjauhi dari mereka semua dan mengisolasi dirinya. Di belakangnya, muncul bulan di langit yang menerangi gelapnya malam sebagai dekorasi langit yang bersinar di antaranya. Pintu teras agak terbuka dan disamping ada jendela yang terbuka lebar, itu membuat jantung Dygta semakin berdegup dengan kencang. Jika ia cepat, ia akan segera keluar dan pergi.
“Jangan lakukan itu. Kau jangan melakukan itu lagi,” tangan hangat yang sudha memegang lengannya sejak tadi. “Jangan melarikan diri untuk yang kedua kalinya untuk memasuki kegelapan di luar sana...”
“Apakah saya akan melarikan diri, Dr. Peters?” bisik Dygta.
“Ya. Dari laki-laki yang membuat kau sangat ketakutan. Saya yakin hal itu!” kata Manner.
Laki-laki? Dygta mencoba untuk mengingat-ingat, namun dia tak dapat menemukannya, hanya ada tanda aneh yang ada di jari manisnya. Tanda bekas cincin di jarinya, dan ia sangat takut menghadapi Constan Peters.
Suatu ketakutan yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan dia yang tidak suka atau tidak mempercayainya. Suatu ketakutan yang membuat Lygia memegangi lengan Manner dengan sekuat tenaganya seperti tak ingin ada yang melepaskan pegangannya.
...****************...
Matahari musim gugur, menimbulkan bau kuat dari tanah subur di Devon. Cahaya itu pun menerobos pepohonan mawar dan menerpa menusuk ke dalam tanah. Sinar yang menimbulkan kehangatan itu pun juga menyinari tubuh Dygta yang masih melekuk manja di atas kasur. Sampai dua atau tiga menit lagi ia masih tidur nyenyak, namun cahaya itu akhirnya membangunkannya.
Matanya segera memandang keluar jendela dan mendengarkan kicauan burung. Di samping itu terdengar suara kaki kuda yang menghentakkan kakinya untuk berketepak di jalan bebatuan tepat di jalanan halaman. Tampak seorang laki-laki menunggang kuda berwarna hitam mengkilat. Mendengar bunyi itu, Dygta perlahan meloncat dari ranjangnya untuk mengecek siapa gerangan yang sedang menunggangi kuda di pagi hari.
Dygta memegangi gorden seperti memerlukan kekuatan penopang dan akan segera melangkah mundur dari jendela. Constan Peters memandangi ke atas dan melihatnya. Mata yang bagai batu akik ketika dalam cahaya matahari pagi bersitatap dengan mata Dygta dan terus menatap Dygta, sehingga membuat wajah Dygta menimbulkan rona kemerah-merahan. Dygta melepaskan pegangannya pada gorden, seketika gorden yang ia sentuh membuat tangannya melepuh. Segera saja dia mundur, memutuskan kontak mata dengan Constan Peters. Constan Peters pun menghilang dari pandangan.
Terdengar suara derap kuda yang kedua diikuti suara Limin, “Constan, kamu sungguh tampan!” serunya merayu. “Sebagai iklan teh tarik khas India,” kemudian tawanya pecah. “Apakah aku mengingatkan kau tentang sesuatu yang manis?”
“Ha ha ha, kau sungguh lucu. Tidak juga,” Constan pun tertawa, “Aku teringat iklan sabun yang membuat setiap gadis khususnya anak sekolah, dengan wajah yang memerah.”
“Oh, Constan... kau keterlaluan!” suara mereka samar-samar terdengar dan akhirnya menghilang sama sekali.
Dygta melihat dirinya di cermin menampakkan wajahnya yang seperti tidak nyata bagi dirinya sendiri. Tubuhnya seperti tenggelam ke dalam baju jingga yang dipinjamkan Limin kepadanya. Melihat semuanya itu, Dygta merasa heran akan dirinya dan juga membuatnya ketakutan, walaupun Dr. Manner Peters sudah menjamin keselamatan untuknya. Dia hanya teringat satu hal sejak dia datang ke rumah itu. Tidak ada sesuatu yang muncul dari luar dinding, tidak ada orang lain yang dia temui di rumah itu.
Dan dengan takut-takut, seperti ada sesuatu yang siap meloncat keluar dari sana, dia pandangi jarinya yang masih ada bekas tanda bahwa dia pernah mengenakan cincin. Terlintas di dalam pikirannya saat ini perkataan dari Constan malam itu.
...****************...
flash back on
“Jari manis tangan kiri!” kata Constan. “Kau memilih keluarga Peters untuk menyediakan segala sesuatu untukmu, seperti makan dan tempat kau bernaung.”
Dalam keadaan terjepit semalam pun dia terbayang kembali bahwa dirinya di selamatkan oleh Nenek Peters.
“Apa kau kebingungan, anak kecil?” tanyanya kepada Dygta. “Kau nampaknya sudah siap untuk pergi tidur dengan pajamas di tubuhmu. Mari masuk,” ajak Nenek kemudian.
Constan menatap tajam kepada gadis muda di hadapannya. Tatapan yang tersirat di matanya adalah tatapan rasa tidak suka terhadap orang baru yang ditemuinya.
“Hentikan menghina seorang tamu, Constan!” ujar Neneknya yang melihat tatapan itu seolah tahu apa yang digambarkan melalui mata Constan.
“Baik, Nek.” Senyum yang mengejek itu berubah menjadi rasa sayang. “Aku tidak bisa menahan pukulanmu, Nenek. Pukulanmu sangat sakit. Ingat kan waktu itu, Nenek pernah memukulku dan aku menangis histeris?”
“Jangan kau coba-coba dengan Nenek, kau mengerti?!” kata Nenek Peters. Dia lalu tersenyum menghadap ke arah Dygta. Dygta tahu bahwa wanita tua itu akan memaafkan laki-laki yang berbadan langsung dan menjulang tinggi itu. Rupanya neneknya hanya bercanda untuk mengalihkan kemarahan Manner yang benar-benar nyata di depan mereka. Wajah Manner ketika itu benar-benar muram. Dygta bingung melihat Manner seperti itu.
flash back off.
...****************...
“Maafkan saya. Saya akan pergi saja!” Dygta berucap memandangi Manner kemudian kepada nenek. “Lebih baik saya pergi saja.”
“Jangan pernah berani melangkahkan kakimu untuk keluar dari rumah ini, anak kecil!” Langsung saja kata-kata perintah nan tegas keluar dari bibir wanita tua itu, Nenek Peters. “Kau letih dan terlalu berangan-angan untuk bisa keluar dari rumah ini. Kau bisa tinggal di sini. Di mana kau akan tinggal kalau kau keluar dari rumah ini? Apakah kau akan tidur di padang rumput yang penuh dengan rawa-rawa?”
Dygta dengan cepat menggelengkan kepalanya, kemudian menundukkan kepalanya. “Maksud ucapan saya, saya dapat tinggal di rumah sakit saja.” ujarnya lirih.
“Tidak, Dygta. Itu tidak perlu,” kata Manner sambil memegangi lengan Dygta dengan kuat dan menuntunnya keluar dari ruangan itu.
Dalam keadaan seperti itu, Dygta tidak dapat melawannya. Dygta dibawa untuk memasuki kamarnya. Tidka lama kemudian, seorang pelayan wanita mengantarkan susu panas ke dalam kamar Dygta. Dygta pun melihat segelas susu hangat yang ada di atas nakas, menatapnya dengan raut wajah yang sedih. Diraihnya gelas berisi susu hangat dan segera meminumnya. Sungguh rasa sedih dan ingin menangis kembali menyelimuti hatinya saat ini. Ditenggaknya habis susu itu dan meletakkan gelas kembali ke atas nakas. Dygta pun segera menaikkan kedua kakinya untuk terlelap mengarungi alam mimpi indahnya.
...****************...
tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments