Bab 8
“Enam puluh lima tahun!” kata Dygta dengan ekspresi yang terkejut. Betapa menakjubkan sekaligus menyedihkan hidupnya yang terjalin dalam suatu rumah yang sangat lama ditinggali sampai membentuk suatu keluarga baru dalam rumah itu.
“Ya, tempat ini sangat menakjubkan dan sungguh berkesan untuk diriku. Dengan adanya menara dan kawasan yang ditumbuhi pohon pinus yang menjulang tinggi. Aku juga dapat mendengar suara-suara yang ditimbulkan pohon cemara di waktu malam hari. Suaranya itu membuatku merenung sejenak dan menghilangkan rasa kesunyianku saat aku berada di dalam kamar.”
“Mari kita segera keluar dan mendapatkan cahaya sinar matahari di musim gugur,” kata Nyonya Peters.
Mereka pun meninggalkan ruangan perpustakaan dan menuju ke kebun belakang. Kebun yang berada di belakang halaman itu tampak alami dengan susunan yang rapi.
Nenek mempunyai kesenangan khusus terhadap perkebunan sehingga ia selalu mengurusi tanaman yang ada di kebun untuk obat-obatan alami. Dygta asyik bertanya dengan Nenek Peters tentang tanaman obat-obatan.
Sambil menceritakan tanaman, Nenenk menceritakan ayah Constan yang telah menjadi kesayangannya, di mana ia banyak menaruh harapan kepada Ayah Constan. Namun sayangnya Ayah Constan telah banyak mengecewakan Nenek.
Dygta mendadak berceletuk, “Apakah Constan juga mengecewakan anda, Nyonya Peters?”
“Constan?” mata wanita tua itu berkerut. “Kenapa kau bertanya seperti itu tentang Constan?”
Dygta kebingungan dengan pertanyaan yang dilontarkan kembali oleh Nyonya Peters itu, mengapa dirinya tiba-tiba ingin tahu tentang Constan.
“Ya, saya kira anda dapat memaafkannya karena perbuatannya itu, yang seperti suka memaafkan anak yang manis tetapi juga nakal,” kata Dygta sedikit tergagap.
“Dengan sikapnya yang hanya berdiam diri?” sahut Nyonya Peters tertawa dengan renyah. “Yah, kau termasuk anak yang memiliki ketajaman dalam berpikir.”
“Apakah saya seperti itu?” tanya Dygta mengekspresikan candaan di raut wajah pucatnya.
“Nah, sudah waktunya kembali, karena sebentar lagi siang menyengat kulit kita,” ajak Nyonya Peters.
Mereka pun berjalan melalui jalan lain saat kembali ke rumah. Mereka bertemu dengan, Turner, tukang kebun yang sedang sibuk mengurusi bunga dahlia. Nyonya Peters mengatakan bahwa ketika dia datang sebagai pengantin baru waktu itu, Turner, belum menjadi tukang kebun. Turner merupakan anak dari tukang kebun yang dulu.
Nyonya Peters pun mengatakan bahwa dia merasa makin tua, dan agak sedikit pikun meningat berbagai benda. Banyak yang terlupakan olehnya.
Ketika bertemu dengan David di bagian dapur, ia pun berseru, “Ambilkan beberapa vas bunga di perpustakaan. Tempat itu nampak kacau balau dan perlu di tata rapi dan di isi dengan bunga. Ambillah vas dengan motif kayu eik, yang saya kira cocok untuk bunga dahlia.”
David melirik Dygta yang membopong seikat bungan dahlia yang diberikan oleh Turner kepadanya tadi. David menyengirkan hidungnya. Dia seperti tidak menyukainya. Nyonya Peters rupanya tahu apa yang terjadi pada wajah David.
“Rupanya David tidak menyetujui rencana kita, gadis cantik,” ujar Nyonya Peters memberitahukan.
Dygta menjadi kikuk seketika dan ragu untuk membawa bunga itu. Ia ingin mengembalikan bunga itu ke asal muasal dia menemukan bunga itu, ke kebun.
Nenek berseru, “Oh, mari kita masuk dan meneruskan rencana kita. Jangan takut kepada para pelayan. Tentu mereka tak senang menanggap orang yang dulunya pelayan sekarang naik level tidak menjadi pelayan lagi. Constans mengira kau mantan pelayan rumah tangga atau sebagainya. Apa benar begitu?” tanya Nyonya Peters kemudian.
Nyonya Peters yang selama ini bersikap sangat bersahabat dengan pertanyaan yang mengandung kecurigaan itu membuat Dygta tertampar. Dygta menunduk dan matanya memejam.
“Saya tidak tahu, Nyonya. Tetapi saya tahu untuk tidak tetap tinggal di sini jikalau saya dalam keadaan dicurigai. Saya akan lebih memilih tinggal di rumah sakit saja.”
“Tetapi Manner memilih agar kau tetap di sini!” kata wanita tua itu terkekeh-kekeh, lalu mengamati wajah Dygta yang pucat itu. “Kau tidak cukup cantik, tetapi dia mempunyai ketertarikan terhadapmu. Saya tahu itu. Apa kau menyukai Manner?” tanya Nenek kemudian.
“Ya,” kata Dygta secara lugas. “Dia sangat baik hati.”
“Omong kosong apa ini!” seru wanita tua itu. “Omong kosong apa yang kau lontarkan? Tidak ada lelaki yang memiliki kebaikan murni. Mereka banyak tipu muslihat untuk berbuat secara wajar agar tampak seperti orang yang baik hati terhadap wanita. Jika dia baik hati, disebabkan karena dia mempunyai rasa terhadap wanita, terus kemudian wanita-wanita itu akan baik hati terhadapnya juga.”
“Oh ya, hal ini juga berlaku bagi Manner,” lanjutnya lagi.
Dygta teringat Manner ketika mereka pergi bersama ke Brinsham, dia sungguh bersikap baik hati. Bukan sebagai pacar atau siapa pun yang spesial, tetapi sebagai abang. Memang susah dihubungkan dengan apa yang baru saja nenek itu katakan.
Bagaimana pun Nyonya Peters menyatakan bahwa Dygta tidak begitu cantik, hanya wanita sederhana, dan dibandingkan Llimin, ia hanya akan nampak seperti burung pipit yang kecil yang berdampingan dengan burung kenari.
Hari Sabtu itu sungguh tak ada hal yang istimewa. Nyonya Peters mengatakan kalau langit akan menangis, alias turun hujan. Dan memang benar sepanjang malam, hujan terus mengguyur tanah Devon.
Minggu pagi hujan pun mulai berhenti. Manner segera mengambil jas hujan, lalu tersenyum memberikan kepada Dygta, serta mengajaknya berjalan-jalan sepanjang jalan Devon’s Hire.
...****************...
Nenek Peters \= Nyonya Peters
Manner \= Cucu Peters
Constan \= Cucu Peters
tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments