Bab 4
Bulan hanya nampak sekilas-sekilas di rerumputan dan bayangan kelegaman bagaikan tak terukur tanpa dasar, dan ia setiap kali tertelan oleh bayangan legam dan menjerit di tepian suatu sumur yang besar, untuk menghadapi suatu tanah berlumpur yang dalam yang akan menenggelamkannya entah sampai mana.
Cahaya yang nampak dalam rumah itu mendadak kelihatan seperti ada cahaya, yang akhirnya ia dapat mencapai depan pintu rumah itu. Tentu saja penghuni rumah itu mengira dia gila, atau hanya berpura-pura. Seperti Constan menganggap gadis itu berpura-pura.
Dygta menutupi wajahnya dan mencoba mengingat kembali segala kejadian dalam ingatannya yang kini ditelah kegelapan. Dia yakin dirinya disebut dengan Dygta. Hanya Dygta saja? “Saya merasa seperti terlahir kembali, dan itu sungguh mengerikan,” kata Dygta perlahan.
“Jangan terlalu mencemaskan itu, Dygta,” gumam Manner. “Semua itu akan kembali lagi pada waktunya.”
“Tetapi kenapa itu harus terjadi?” tanya gadis itu heran. “Apa yang memicunya untuk terjadi?”
“Itu disebut dengan amnesia histeris. Menurut istilah dokter. Amnesia semcam itu bisa terjadi karena suatu kebingungan emosional.”
“Kebingungan emosional? Apa itu maksudnya?”
“Yah, anak kecil bisa saja mengalami itu. Bisa jadi yang diakibatkan oleh suatu kejadian dalam percintaan yang berantakan, atau sering bertengkar dengan orangtuamu.”
“Orangtua?” Tampak kilasan ketakutan pada wajah gadis itu. “Kenapa saya lupa sama sekali dengan orangtua saya? Rasanya seperti tidak pernah memiliki orangtua.”
Manner tersenyum memanjakannya. “Orangtua itu suatu bumbu yang menyenangkan, Dygta. Ke mana kita akan hadir tanpa mereka?” Manner agak kikuk merangkul bahu gadis itu dan tak mempedulikan bagaimanan gadis itu mencoba untuk menjauhinya.
“Nah, mari kita menemui nenekku yang agak tua itu,” ajak Manner. “dia akan mengambil segala kepedihan dalam pikiranmu.”
“Dia tidak inginmakan bersama kita sebab dia sedang melakukan diet ketat. Yah, dia anggap dirinya membuat orang lain kehilangan selera jika makan bersama, sehingga dia selalu makan di kamarnya. Namun nenek itu sangat berkepribadian.”
“selama ia tidak menganggap saya seperti anggapan saudara sepupu anda saja,” gumam Dygta. “Apakah anda tidak terpengaruh oleh anggapan saudara sepupu anda, dokter?”
Manner membuka pintu dan lengannya tetap merangkul Dygta.
“Apa yang menjadi anggapan saudara sepupu itu hanya sangat kecil bagiku, Dygta. Constan itu menarik dan menyenangkan sebagai teman, tapi dia akui mempunyai sikap yang jauh berbeda terhadap pandangan hidup. Dia sinis dan senantiasa melihat kehidupan semacam adegan-adegan di pementasan seni peran. Namun, dia akan meninggalkan sifat yang seperti itu. Itu tidak baik untuk dirinya. Sungguh ironis.” Jelas Manner.
“Dia kejam!” kata Dygta lirih. “Dia membuat aku ketakutan. Ada sesuatu padanya yang membuat aku ketakutan.”
“Dygta, Cons tidak akan melukaimu,” seru Manner. “Memang dia seperti itu menganggap kau berpura-pura, tetapi dibalik itu tidak ada maksud jahat apa pun. Segala omong kosongnya lebih baik tidak kau hiraukan saja, karena dia tidak akan pernah berhenti untuk berakting.”
Manner beralih untuk mengamati wajah gadis itu, namun terlihat jelas di raut wajahnya yang masih belum yakin dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Dr. Peters. Dia memiliki kehilangan ingatan yang otomatis ada gangguan dari sekian syarafnya. Keadaan syarafnya tentu juga sejalan dengan amnesia histerisnya. Manner mengamati wajahnya yang pucat dan menafsir bahwa umur gadis itu yang terpancar dari raut wajahnya sekitar sembilan belas atau dua puluh tahun. Dia berbicara sebagai seorang perempuan, begitu menurut pandangan nenek Manner terhadap gadis itu. Pada saat makan malam pun dia sungguh nampak sopan. Mata yang dimilikinya memiliki daya tarik tersendiri, seperti menyimpan sebuah misteri.
Manner bukan termasuk orang yang suka berkhayal, namun dengan menatap mata gadis itu serta wajahnya yang sensitif, menimbulkan daya tarik tersendiri di hatinya, sungguh Manner menjadi penasaran akan hal itu. Ingin tahu tentang identitas gadis itu secara detail. Entahlah dia merasa seperti seorang remaja yang penuh dengan tingkat penasaran yang tinggi. Ia memandangi gadis itu, masih mengenakan pakaian sederhana dan sedikit berantakan. Dia mengenakan sepatu flat yang di dapat dari meminjam salah satu koleksi Limin yang tampak kekecilan.
“Mungkin lebih baik besok, kau kuajak ke Brinsham untuk membeli sepatu baru dengan ukuran kakimu. Nampaknya sepatu yang kau kenakan sekarang kekecilan, tidak sesuai dengan ukuran kakimu. Bahaya menggunakan sepatu yang kekecilan, apalagi sering menaiki anak tangga. Kakimu akan terkilir,” terang Manner sambil membukakan pintu untuk Dygta.
Tak disangka, Limin mendengar suara percakapan mereka.
“Ada apa dengan sepatuku, Manne? Apakah Dygta merasa tidak cocok dengan sepatunya?” tanya Limin.
Dygta merasa pipinya menghangat, dan memunculkan rona kemerahan di wajahnya karena malu mendapat pandangan dari Limin yang mencela dirinya seakan-akan ia ingin merebut sepatu yang dikenakannya sekarang. Dygta ingin sekali langsung terus melintasi ruangan yang indah itu dan langsung menampakkan dirinya dihadapan Limin, yang berlagak seperti Nyonya Rumah di sini.
“Apakah dia gadis itu?”
Terdengar suara yang berat seperti lelaki tua, dan itu ternyata suara nenek Peters. Mata nenek sudah seperti mata Constan Peters.
“Kau Dygta, ya? Nama yang lucu,” kata Nyonya Peters itu. Nenek menepuk kursi sambil menyambung perkataannya,
"Duduklah di sini disampingku dan jangan berwajah lucu seperti itu. Aku tidak akan memakanmu. Kau tahu itu,” perintahnya lagi.
Dygta dengan nervous maju dan duduk disamping wanita tua itu. Kemudian Dygta kaget dan memandangi jari yang sudah tua dan keriput itu. Terdapat banyak cincin indah yang menghiasi jari jermarinya. Nenek Manner memegangi tangan Dygta dan mengamatinya dengan perlahan.
“Dijari yang ini pernah ada cincinnya, anakku,” Nenek berkata memberitahu.
“Cincin?” Dygta seperti kebingungan memandangi jarinya yang masih dipegang oleh Nenek. Kemudian mendadak seperti ada setitik cahaya di dalam kegelapan. Ingatannya tergugah.
“Cincin? Cincin apa yang kau maksud, Nenek?” Manner menyambar perkataan sang Nenek sambil mendekati mereka dan langsung memegangi tangan Dygta. Memang ada bekasnya di sana.
Manner pun bertanya, “Cincin pertunangan atau cincin pernikahan, Dygta?”
“Apa itu cincin pernikahan?” kata Constan yang langsung masuk ke ruangan tempat berkumpulnya orang-orang dan mengambil posisi untuk duduk. “Wow, makin hebat rencana yang kau susun. Ku kira begitu,” ujarnya lagi mencibir.
“Sangat mengasyikkan untuk disaksikan bersama, Constan,” sahut Limin dan matanya dipenuhi sinar mencela. Segera Limin memindahkan pandnagannya kepada Constan kemudian ke Manner.
“Baru saja ditemukan bahwa Dygta memiliki suami. Dia sudah menikah,” tambah Limin sambil mensedekapkan lengannya.
“Itu masih berupa dugaan dan kemungkinan, Limin,” sahut Manner menanggapi tuduhan Limin dengan cepat. “Dengan pandangan Nenek yang jeli, menemukan ada bekas cincin dijari Dygta.”
“Jari manis sebelah mana? Apakah jari manis tangan kiri?” kata Constan yang penasarn memandang ke arah tangan Dygta.
“Adanya tanda bekas cincin di situ tidak harus berarti cincin pernikahan,” jelas Manner.
“Hah! Itu adalah harapanmu!” sahut Constan dengan nada perlahan. Constan memberikan suasana yang tegang. Limin saja menutup mulut dengan kedua tangannya karena kaget dan juga bergembira mendengar dugaan ini.
Nyonya Peters menghela napasnya panjang di saat semua orang mulai ramai dengan dugaan yang terlintas dalam benak mereka masing-masing.
...****************...
tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments