Bab 6
Sesudah makan siang, Manner menepati janjinya terhadap Dygta, membawa Dygta ke Brinsham untuk membeli separu yang cocok dengan ukuran kakinya. Akan tetapi, ternyata Manner membelikannya bukan hanya sepatu saja, tetapi juga keperluan-keperluan lainnya sehingga waktu pulang dari Brisham, mobilnya penuh dengan paper bag belanjaan.
“Barang-barang sebanyak itu sesuai dengan apa yang dimaksud oleh saudara sepupu anda semalam, Dr. Peters. Seharusnya anda tidak bersikeras untuk membelikan semua ini untuk saya. Saya tidak ingin memakainya,” ucap Dygta.
“Sudahlah. Jangan pikirkan itu. Aku harap kau akan dengan sukarela memakai semua ini,” balas Manner tersenyum ke arah Dygta yang terlihat risau di wajahnya.
“Dygta, janganlah kau merasa tidak enak karena barang-barang itu. Itu tidak seberapa, oke?” lanjutnya Manner membujuk Dygta.
“Bagaimana pun kau tidak dapat terus-menerus mengenakan hanya satu pakaian saja. Dan satu pakian itu entah kau akan mengenakannya sampai waktu yang tidak jelas.” Lanjut Manner lagi.
“Tidak jelas sampai kapan?” Wajah Dygta bertanya-tanya. “Tetapi anda mengatakan saya akan teringat dengan diri saya sendiri... dan akan segera mengingat semuanya lagi.”
“Memang kau akan teringat akan segalanya pada waktunya, Sayang. Hal itu tentu saja akan terjadi,” kata Manner meyakinkan Dygta. “Tetapi jika kau terbukti hanya sebatang kara di dunia ini dan tak ada seorang pun mengakuimu, saya akan menempatkan diriku sebagai walimu. Seperti juga sekarang ini.” Wajah Manner yang terlihat lembut saat mengatakan itu, sambil tangannya mengemudikan setir mobil yang mereka kendarai. “Yang terpenting sekarang adalah hentikan rasa takutmu. Kau tentu seorang gadis baik. Segala sesuatunya akan beres pada waktunya.”
“Tetapi anda sempat mengatakan semalam bahwa saya.. bahwa saya mungkin sudah bertunangan atau sudah menikah,” tangan Dygta nampak kalau dia gugup. Dia seperti meraba-raba dalam kegelapan. “Dr. Peters, saya tidak ingin mendengar kenyataan bahwa saya sudah menikah, Dokter. Saya tidak ingin!”
“Panggil saja aku Manner.” Dengan agak kebingungan Manner menghentikan mobilnya dan berpaling memandangi Dygta.
“Dengarkan aku, anak kecil, kau sudah beberapa hari di rumah keluarga Peters dan tidak ada seorang pun yang melaporkan hilangnya seseorang dalam suatu keluarga ke kantor polisi. Aku kira tidak akan mungkin ada orang yang akan melaporkan hilangnya tunangannya atau suami karena kelalaian mereka sendiri.” Manner menarik sudut bibirnya sedikit ke atas yang menimbulkan senyuman tipis.
“Seorang suami akan menilai lebih baik melaporkan kehilangan istrinya dibandingkan kehilangan sebuah buku di perpustakaannya atau paketan untuk dirinya. Dalam hal itu, mereka dapat mengabaikannya. Tetapi bukan dalam sial tunangan dan istri. Kalau ada suami yang kehilangan istrinya pasti akan melaporkannya kepada polisi,” beritahu Manner.
“Tetapi bagaimana kalau kami dalam keadaan sedang bertengkar?” tanya Dygta kemudian. “Dalam keadaan semacam itu, mungkin dia tidak mau pusing untuk mencari diriku.”
“Apakah kau merasa bahwa kau mempunyai suami, Dygta?” tanya Manner lagi. Terpancar senyuman yang berbeda dari bibirnya saat ini dari pada senyuman yang semalam. Manner merasa sangat lucu, kalau gadis kurus nan pucat di sampingnya itu mempunyai seorang suami.
“Suami?” tanya Dygta mengulanginya, dengan sedikit mengingat.
Pandangannya teralihkan memandangi Manner, mencari kebenaran yang ada dalam pikiran Manner. Ia tetap menelusuri mata yang terpancar saling memandang itu, hanya ditemukan tempat yang kosong dan gelap. Dygta berharap ia akan menemukan sebuah jawaban untuk membuat dirinya mengingat dan mengatakan ‘iya’.
Manner menangkap sesuatu yang dipikirkan oleh gadis di sampingnya ini, lalu menggelengkan kepalanya.
“Jangan terlalu memeras tenagamu untuk mengingatnya, Dygta,” ujar Manner.
“Jangan menyiksa pikiranmu terhadap ingatanmu yang masih lelah untuk berpikir. Biarlah otakmu beristirahat sehenak dan biar terbangun sendiri pada waktu yang tepat. Dan itu pasti akan terjadi, oke,” ujar Manner lembut.
...****************...
Ketika mereka sampai di rumah, Limin sudah kembali dari berliburnya ke cottage. Dia sedang duduk manis di teras depan rumah. Constan memandangi mereka dengan wajah yang dibuat-buat. Mereka mengeluarkan banyak paper bag belanjaan. Ketika Dygta berjalan melewati Constan dan Limin, Constan seolah-olah berteriak, “Hi, Dygta. Bagaimana harimu?”
Teriakan yang dibuat oleh Constan membuat wajah Dygta memerah dan ia melihat ke arah raut wajah Constan yang mengejek dirinya. “Oh, saya tidak..,” Dygta tidak bisa melanjutkan perkataannya dan berteriak karena kakinya tersandung di depan rumah.
Dia jatuh tersungkur bersama dengan paper bag yang dia bawa dan mengakibatkan paper bag menjadi berantakan di lantai. Dygta menahan malu, ingin mati saja rasanya. Tak disangka, Constan datang untuk membantu dirinya.
“Lepaskan aku!” teriak Dygta meronta-ronta untuk melepaskan diri dari pegangan Constan.
Suara Manner terdengar di belakang mereka. “Lepaskan saja dia, Cons! Hentikan sikap menyiksamu itu. Aku mulai bosan melihat tingkah anehmu itu.”
“Benarkah?” kata Constan seperti tak acuh. “Apakah aku harus membiarkan dia terbaring di lantai yang kotor, yang penuh dengan debu?” tanyanya lagi.
“Lebih baik di debu daripada dalam genggamanmu!” kata Manner. Meskipun Dygta heran kenapa Manner berucap seperti itu, mungkin semalam ia bersikeras bahwa saudara sepupunya tak mengandung maksud jahat sedikit pun dalam menghadapi Dygta.
Constan dengan segera melepaskan genggaman tangannya yang menyentuh pinggang Dygta dan bergabung lagi dengan Limin, yang sedang tertawa lebah memandangi adegan itu daru sebuah kursi rotan. Ketika Dygta dan Manner masuk ke dalam rumah, Limin mulai bicara kepada Constan.
“Kau memang agak kasar, Constan.”
“Aku akan mengumpulkan semua nama hinaan yang dilontarkan terhadapku,” kata Constan perlahan. “Semalam Manner menyebutku si kurang ajarr terkutuk. Apakah aku seperti itu, Limin?”
“Tentu saja, kau memang seperti itu, Constan,” sahut Limin sambil menarik bibirnya. “Sebab aku tidak akan di sini denganmu jika kau tidak bertindak kurang ajar.”
“Limin!” Constan memandangi wajah Limin dan kedua keningnya mengkerut. “Apa kau benar-benar bermaksud mengatakannya untukku?”
Constan mendapati mata Limin yang berseri-seri dengan pandangan nakal, lalu pipinya merona merah. Bahkan kalau pun Limin berniat untuk mengatakan hal itu, dia pun tidak akan kuat dan tahan dengan sikap jahilnya Constan. Pancaran sinis yang keluar dari wajah laki-laki itu.
“Kesadaran yang palsu, memuakkan diriku. Barangkali aku harus mengakui bahwa kau itu sebenarnya menarik,” jelas Limin.
“Terlalu banyak pernyataan berbahaya dalam suatu kalimat, kau seorang wanita cantik dan menarik. Sedangkan aku, si kurang ajar, terkutuk, apa kau tidak takut akan hal itu?” tanya Constan.
“Takut?” Limin tertawa renyah di bangkunya. Dia tertawa terus sambil mengambil cangkir kemudian mencicipi minumannya. “Aku sangat kelewat bahagia tanpa adanya rasa takut. Bukankah aku hanya berdua denganmu saat kita mengunjungi cottage-mu yang sepi dan terpencil itu?”
“Kau sungguh orang yang jujur, Limin. Dan kau menyenangkan,” sahut Constan tertawa sambil memandangi wajah Limin. “Kau juga menghinanya sesukamu juga. Apa kau pikirkan untuk kuulakukan di cottage-ku yang terpencil itu?”
“Aku kira kau akan membiarkan bibirmu menyentuh bibirku,” kata Limin tanpa malu. “Kenapa kau tidak lakukan itu?”
“Kenapa tidak kulakukan?” Constan tertawa dengan gaya yang penuh teka-teki.
“Aku tidak memikirkan itu, Limin-ku. Apakah kau kira dalam pikiranku hanya berisikan tentang keinginan membujuk-rayu wanita saja?” ujar Constan.
“Yah, kau sudah memiliki reputasi yang agak meragukan. Bukan begitu, Constan?” Limin mengatakan itu sekenanya dengan harapan ia mendapat perhatian jauh lebih bersar dari Constan, bahkan Limin mengharapkan lebih dari hanya kekaguman saja.
...****************...
tbc
selamat membaca ya, gaes :)
Jan lupa mampir ke berandaku buat pilih cerita yang kalian suka. thanks & God bless.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments