"Maaf nyonya, kami nggak pantas untuk makan di sini," tolak perempuan yang baru beberapa minggu menjadi maid di rumah ini.
"Nggak apa-apa! Saya yang kasih perintah!" Sudah ajak yang lain!" kata Leticia dengan tegas.
Tanpa ada penolakan dari Dei, ia akhirnya memanggil kedua temannya yang bekerja di rumah itu juga. "Beti, Dini, ayo ke meja makan. Nyonya ingin mengajak makan bersama!" tandas Dei membuat dua wanita maid itupun saling menatap.
"Apa maksudmu, Dei?" cecar Beti penasaran.
"Ayo, makan siang bersama nyonya." Dei kembali menjelaskan, wajah kedua pembantu di rumah itu masih melongo kebingungan. Baru kali ini, ada seorang yang memperkerjakan mereka malah mengajak makan bersama.
"Ah, kamu saja, Dei, nggak enak saya," tutur Dini yang sangat polos.
"Saya juga, masa pembantu disuruh makan di meja makan bersama nyonyanya!" protes Beti. Ia melanjutkan pekerjaan yang belum usai.
"Udah stop dulu kerjanya! Nanti nyonya marah loh," beber Dei penuh penekanan. Ia lalu menarik tangan Beti dan Dini.
"Ih, kamu ini, Dei! Kalau tuan lihat nanti gimana? Kita bisa di pecat loh!" Dini mengingatkan Dei tapi wanita itu malah abai.
"Sudah, ini perintah nyonya!" Dei membopoh kedua teman sepekerjaannya, lalu mendudukkan keduanya di samping dirinya.
"Maaf, nyonya, apa benar kami harus makan disini?" tanya Beti dengan sopan seraya menunduk pada Leticia.
"Benar! Mulai hari ini, setiap hari tanpa tuan kalian, saya ingin makan bersama kalian," terang Leticia dengan suara bergetar.
Ia meminta ketiga maid di rumah untuk meramaikan jam makan mereka. Bahkan, Leticia juga bersikap baik pada ketiga maid itu. Sebab, ia pernah merasakan menjadi seorang pelayan, walaupun bukan di rumah pribadi, melainkan di restoran.
Oleh karena itu, Leticia menghargai setiap orang di rumah itu. Apapun profesinya, Leticia tidak akan membedakan. Bahkan, Leticia kerap mengingat keadaannya yang sulit menyantap makan siang di kala harus bekerja melayani para tamu yang datang untuk makan siang.
"Ba–baik nyonya!" kata Dini terbata-bata. Ia tak menyangka bisa setara dengan nyonya yang ada di rumah ini.
Makan di meja yang sama adalah hal tabu bagi maid seperti mereka. Namun, mengapa Leticia justru senang mengajak mereka makan bersama?
Tak jauh dari meja makan, Fani dan Fano berjalan beriringan, mendekati Leticia. Kedua anak kembar itu menarik kursi masing-masing, bahkan mereka tersenyum dengan para maid yang duduk berseberangan dengan mereka.
"Ayo makan!" ajak Fano dengan sopan, para maid itu lagi-lagi terbingung. Namun, mereka menuruti apa kata anak lelaki itu.
Saat salah satu maid hendak menyendoki nasi ke piring Leticia, perempuan itu justru menolak dengan tegas. Leticia menyendoki nasi sendiri ke atas piring. Ia tak mau ada bala bantuan dari pembantu hanya untuk melakukan hal sepele.
Fani dan Fano juga yang terbiasa ambil makanan sendiri pun hanya tersenyum melihat penolakan kakak sulung mereka. "Jangan dibiasakan begitu mbak Dei, mbak Dini, dan mbak Beti. Mbak Letic pasti nggak suka dilayani," tutur Fano, dan Fani menyambar dengan kekehannya.
"Maaf, nyonya!" Dei pun menunduk malu. Ia belum mengetahui kebiasaan nyonya di rumah itu.
******
"Nia!" teriak Frederic, membuat Nia langsung bergegas menyahuti panggilan sang bos.
"Kenapa, pak?"
"Belikan makan siang di kantin kantor! Apa saja, terserah. Saya tidak pemilih makanan," lontar Frederic yang masih menatap lembaran laporan di depan wajah.
"Baik, pak!" Sebelum Nia pergi, Frederic pun memberikan uang, ia tidak ingin membebani karyawan. Bahkan, ia terbilang masih baru menjabat sebagai CEO.
Frederic kembali disibukkan dengan laporan yang menumpuk di atas meja. Namun, ia langsung menyambar ponsel yang tak jauh dari posisi lengan. Ia ingin memastikan kondisi Leticia baik-baik saja.
"Halo, Cia, sudah makan?" tanya Frederic saat sambungan telepon sudah diterima.
"Sudah, Tuan," jawab Leticia singkat.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Frederic kembali memastikan kondisi perempuan yang masih digeluti rasa sedih itu.
"Aku, baik-baik saja, Tuan," tandas Leticia.
"Baiklah, kalau begitu aku tutup teleponnya." Tanpa dijawab oleh Leticia, justru perempuan itu yang lebih dulu mengakhiri panggilan telepon singkat itu.
"Apa maksudnya dia menanyaiku? Apa dia mencoba peduli padaku?" batin Leticia saat menghempaskan tubuh di atas ranjang.
Sejak 10 menit yang lalu, ia bersama dua adik dan ketiga maid sudah menyelesaikan makan siang mereka. Mereka tak perlu waktu lama, makanan di atas meja hasil masakan Dei pun sudah kandas.
Leticia kembali memikirkan tawaran Frederic mengenai pekerjaan esok di Pratama Store. Apakah itu akan ia kerjakan? Atau lebih baik menikmati uang suaminya?
Leticia masih bimbang, pikirannya gamang soal pekerjaan tadi. Namun, keyakinan untuk menghasilkan uang masih menjadi prinsip utama.
"Ah, aku bingung. Kalau besok aku mulai bekerja, para maid itu akan makan sendiri-sendiri lagi. Fani dan Fano juga!" Leticia larut dalam pikiran sendiri.
Ia jadi semakin ragu dengan pilihan itu. Apakah lebih baik mengurungkan niat untuk bekerja? Lagipula, pria itu sudah berjanji untuk menafkahi kedua adiknya.
Namun, Leticia kembali memikirkan nasibnya setelah habis masa tenggat kontrak pernikahan ini. Jika terlalu lama menganggur, akan sulit mendapatkan pekerjaan.
"Ah! Aku jadi galau! Apa yang harus aku lakukan!" Leticia meremass kepala lalu mengacak-acak rambut karena rasa frustasi.
******
Di bagian dapur, ketiga maid berkumpul. Membicarakan kejadian saat makan siang tadi. Sambil merapihkan meja makan, mencuci piring, serta menyapu, ketiganya masih bertanya-tanya tentang tingkah aneh nyonya mereka.
"Dei, kok bisa nyonya di rumah ini mau makan sama maid seperti kita?" sosor Beti penasaran.
"Aku juga tidak mengerti, Bet. Nyonya hanya menyuruhku mengajak kalian, tidak ada alasan lain!" ujar Dei jujur.
"Iya, baru kali ini loh aku dapat nyonya seperti itu. Biasanya mereka jijik kalau harus menyatu di meja yang sama dengan para maid," timpal Dini.
"Iyah, aku juga sempat terdiam saat disuruh makan bersama nyonya. Sampai aku bertanya lagi, apakah benar maksud kata-kata itu sama seperti dalam pikiranku!" kata Dei menerangkan.
"Iya, aneh sekali! Jadi kita harus terus makan bareng nyonya, ya? Kecuali ada tuan, baru kita tidak boleh ikut makan?" Beti kembali memastikan apa yang tadi sudah disampaikan oleh Leticia.
"Iya, benar kok! Selama tidak ada tuan, kita harus makan sama nyonya!" Dei mengangguk menatap kedua temannya bergantian.
"Enak juga punya nyonya sebaik itu! Nggak pernah jijik sama kita maidnya. Tidak sombong," puji Dini, ia pun sudah menuntaskan pekerjaan.
"Iyah loh, jarang ada tuan rumah mau memperbolehkan makan bersama maid, memakan makanan yang sama dengan mereka. Kemarin saja, kita disuruh makan menu yang di meja makan. Hari ini, malah makan bersama. Besok? Apalagi ya?" Beti tampak berpikir, meletakkan tangan di dagu, berpangku tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments