"Mbak, yang tenang! Aku mengerti mbak masih kecewa karena kepergian ibu tapi jangan luapkan kekesalan mbak padaku ataupun Fani," pinta Fano bernada lembut.
"Buang baju itu! Jangan pernah memakainya lagi." Leticia memperingati adiknya tanpa membalas apa yang dituturkan pria remaja itu.
"Iya, Mbak! Nanti aku buang! Sebenarnya ada apa sih, sampai mbak semarah itu," celetuk Fano penasaran. Ia semakin mengungkit kemarahan Leticia.
"Aku ditegur iparmu! Kalian dibilang membuat malu! Oleh karena itu, jangan pernah membuatku malu lagi. Sampaikan apapun kebutuhan yang kalian perlukan."
Leticia langsung meninggalkan kamar Fano dengan rasa kesal yang memuncak di dadanya. Sementara, Fano langsung berlari menuju kamar Fani yang ada disebelah kamar.
"Fan, apa kamu juga dimarahi oleh mbak Letic?" tanyanya seraya menggaruk-garuk tengkuk yang tidak gatal.
"Iya, aku nggak ngerti kenapa mbak semarah itu. Padahal tadi siang baik-baik saja." Fani menatap Fano yang masih berpikir.
"Mas Frederic lah yang mengadukan kita. Makanya mbak Letic semarah itu sama kita. Katanya kita membuat malu." Fano menatap penuh kecewa.
"Ya, wajar saja, mungkin dia tidak suka melihat kehidupan kita yang miskin," jawab Fani.
*****
Leticia penuh kemarahan, sore itu ia langsung menuju kamar. Langsung menghempaskan tubuh di atas ranjang usai memarahi kedua adik kembarnya.
Melihat Leticia dengan mood yang buruk, Frederic hanya terdiam. Ia beranjak dari kasur, mengambil ipad yang di ruang kerja. Lalu, ia bekerja di sana.
"Lebih baik menghindar dulu," gumam Frederic.
Ia sibuk dengan layar ipad, membolak-balikkan laporan yang tersimpan di dalamnya. Mempelajari segala hal yang dapat mendukung kinerja, kala ia bekerja sebagai CEO di perusahaan.
Frederic masih kebingungan dengan seluruh anak perusahaan. Masih banyak yang tak tercatat dalam laporan, apa saja perusahaan yang berada dibawah naungan Pratama Grup.
Tak hanya itu, keuangan di perusahaan inti pun masih banyak yang tak diketahui kemana larinya. Banyak data-data yang tak tercatat dengan detail. Padahal, nilai saham perusahaan sangat tinggi. Terlebih, hasil pendapatan perusahaan pun terbilang untung.
Namun, mengapa hutang perusahaan itu juga sangat banyak? Frederic semakin pusing setelah mengkaji ulang laporan yang telah dikumpulkan oleh sekretarisnya.
"Besok aku harus menyiapkan strategi, mengumpulkan seluruh manager perusahaan," batin Frederic.
******
Leticia berbaring dengan gusar. Ia merasa kesepian setelah Frederic meninggalkan dirinya di kamar seorang diri. Tak ada lawan untuk bergurau maupun bertengkar kecil-kecilan. Ia sangat kehilangan sosok pria itu, pada sore ini.
Huft
Leticia mengeluarkan nafas kasar. Ia kembali memikirkan tentang tawaran pekerjaan yang diberikan oleh Frederic. Daripada menganggur tidak ada kegiatan, sepertinya ia harus mengambil kesempatan itu.
Namun, bagaimana cara mengatakannya? Apalagi mereka tengah bertengkar hanya karena hal sepele. Leticia begitu tempramental hingga memarahi kedua adik kembarnya.
Bahkan, kemarahan itupun disadari oleh Frederic. Bagaimana tidak? Raut wajahnya saat tiba di kamar sudah menunjukkan tanda kemarahan yang besar. Artinya, Leticia tidak suka dikritik.
Sore berganti malam, Frederic pun tak kunjung datang. Akhirnya, Leticia memilih untuk mengajak adik kembarnya makan malam bersama. Ia menuruni anak tangga, mencari kedua adiknya.
"Fani-Fano, ayo makan!" teriak Leticia, sengaja suara itu dibesarkan agar terdengar oleh Frederic.
Fani dan Fano langsung keluar berhamburan dari kamar masing-masing. Tapi tidak dengan Frederic, setelah lelah mempelajari tentang perusahaan yang mulai ia tangani, ternyata dirinya ketiduran di dalam ruang kerja.
"Mbak Dei, masak apa?" tanya Leticia, karena makanan belum tersaji di meja makan.
"Banyak, nyonya, sebentar kami hidangkan."
Dua pembantu lainnya langsung buru-buru menghidangkan makanan. Piring, sendok dan garpu mulai ditata rapih di depan ketiga orang yang menunggu penyajian makanan.
Selain itu, Dei masih memasak menu terakhir. "Apa perlu saya panggilkan tuan, nyonya?" tanya Beti.
"Tidak perlu! Biarkan saja! Kalau lapar dia akan datang sendiri. Lalu, jika sudah selesai, kalian bertiga duduk di sini," titah Leticia.
Ketiga pembantu itu mengangguk patuh. Leticia sebenarnya penasaran mengapa suaminya itu tetap tidak muncul meski ia sudah berteriak. Namun, ia gengsi untuk mendatangi pria itu.
"Biarkan sajalah!" gumam Leticia seraya membubarkan lamunan.
Setelah semua makanan komplit tersaji, Dei dan kedua pembantu lainnya duduk manis di kursi makan. Kesempatan itu mereka manfaatkan lantaran tuan mereka juga tak ikut makan malam.
"Nyonya, kalau tuan marah bagaimana?" tanya Dei saat Leticia memasukkan beberapa sendok nasi ke dalam piring.
"Tenang! Semua atas perintahku," jelas Leticia angkuh.
Leticia yakin kalau Frederic tak akan muncul selama makan malam berlangsung. Keenam orang itu pun langsung menyantap makanan yang sangat menggiurkan.
Ada ayam goreng, ikan goreng, sambal bawang, sayur bening bayam, pepes tahu, mie goreng, dan masih banyak lainnya.
*Hening
Sesaat mereka mulai makan, tak ada suara apapun yang keluar dari mulut masing-masing. Semuanya sibuk mengisi perut, mengenyangkan agar malam bisa tidur dengan nyenyak.
Usai makan malam, Leticia beserta adik kembarnya masih duduk santai di area meja makan. Sementara Dei dan dua pembantu lainnya langsung memgangkut piring-piring kotor.
Namun, tiba-tiba saja Frederic muncul dari ruang kerjanya. "Kenapa nggak ada yang mengajakku untuk makan malam?" singgung pria itu, berada diambang batas pintu, menatap enam orang yang masih berada di sekitar meja makan.
"Maaf, tuan! Kami tidak bermaksud lancang," sergah Dei, ia mengira telah dipergoki oleh tuannya.
"Apa maksudmu, Dei?" timpal Frederic kebingungan.
"Oh, tidak! Silahkan duduk, tuan." Dei mengalihkan pembicaraan setelah mendengar kata yang dikeluarkan oleh Frederic. Rasa aman tidak dipergoki makan bersama nyonya mereka.
Frederic langsung duduk dengan santai. Ia mulai menatap meja makan, berpikir sejenak mengapa semua makanan hampir habis.
Apa mungkin mereka bertiga yang habiskan? Frederic larut dalam pikirannya sendiri.
"Makan, Mas?" Leticia menyendoki nasi ke dalam piring Frederic. Ia sengaja memang mengubah nama panggilan ketika di depan banyak orang.
"Iya!" jawabnya lugas.
Untuk soal makanan, Frederic tak pernah komplain. Yang terpenting, makanan itu layak untuk di makan.
Frederic memgambil beberapa lauk, ia mulai menyantap makanan itu. Sedangkan, Fani dan Fano pamit undur diri masuk ke dalam kamar masing-masing.
"Mbak, Mas! Kami duluan ke kamar, ya? Mau ngerjain PR," beber Fano.
Frederic hanya tersenyum. Namun, Leticia menjawab kata pamit sang adik. "Belajar yang pintar, Fan, no!" tegas Leticia.
Di meja makan, tinggal Leticia dan Frederic. Ketiga pembantuanya juga sibuk mengurus cucian piring.
Frederic makan dengan santai, ditunggu oleh Leticia dengan sabar.
"Kalau ngantuk, ke kamar saja," sindir Frederic.
Namun, Leticia menggeleng, ia tetap fokus menunggu hingga suaminya itu selesai makan.
"Dasar keras kepala," lirih Frederic.
Leticia hanya menoleh karena ia tak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments