"Kalau begitu, aku pamit dulu. Mau berangkat kerja!" Frederic berlalu meninggalkan Leticia yang kembali membaringkan tubuh di atas ranjang.
Leticia sudah terbiasa tidak pernah mengantarkan Frederic hanya untuk ke depan rumah sebelum berangkat kerja. Bahkan, saat sarapan pun, Leticia tak menemani pria itu dengan alasan masih berduka.
Meski kedua adik Leticia berada di rumah yang sama, dia malah tak takut bersikap demikian. Perempuan itu sangat acuh pada suaminya, membiarkan melakukan semuanya seorang diri, termasuk untuk mengambil baju kerja sendiri.
"Pagi!" sapa Frederic di meja makan ada Fani dan Fano sedang sarapan pagi menyantap sereal yang disajikan oleh pembantu di rumah itu.
"Pagi, mas!" jawab Fani dan Fano kompak.
"Wah, kalian kompak sekali, apa karena kembar?" ledek Frederic saat menarik satu kursi makan yang ada di depan.
"Mas, bisa saja! Mbak Letic mana, ya?" tanya Fani mengedarkan pandangan mencari sosok kakak tertua.
"Masih di kamar tuh," jawab Frederic, ia pun mengambil dua helai roti dan mengoleskan selai srikaya diatas roti itu. Menyantapnya dengan lahap.
"Loh, kok mbak Letic begitu sih? Suaminya dibiarkan sendiri sarapan dan berangkat kerja pun tak diantarkan," celetuk Fano protes.
"Bilang saja sama mbakmu langsung!" sosor Frederic tak mau ambil pusing.
"Mas, kita berangkat duluan, ya!" Fano dan Fani pun beranjak lalu berpamitan pada ipar mereka.
Sementara, Frederic langsung melirik jam yang melingkar di tangan, ternyata masih setengah 7 pagi. Masih ada waktu untuk dia mengantarkan kedua anak SMA itu.
"Bareng aja Ni, No," ucap Frederic membedakan panggilan kedua orang itu.
"Emang, Mas nggak terlambat?" tutur Fano tak ingin merepotkan.
"Santai! Masih setengah 7 kok! Masih ada waktu untuk saya antarkan kalian," tutur Frederic, ia pun beranjak, diekori oleh kedua adik Leticia.
Leticia dari dalam kamar pun mengintip keluar rumah. Dari sisi jendela, ia melihat kepergian Frederic bersama kedua adiknya bersamaan. Bahkan, menaiki mobil biasa milik Frederic.
"Kenapa dia sebaik itu pada keluargaku? Bahkan dia mau mengantarkan kedua adikku ke sekolah?" gumam Leticia menatap kepergian Frederic seolah-olah seperti kepala keluarga diantara mereka.
Leticia langsung keluar kamar. Kemudian, ia menuju arah meja makan, disana masih banyak makanan yang tersaji.
Satu piring makanan yang diambil Leticia yaitu nasi goreng. Ia menyendoki nasi goreng itu satu-persatu ke dalam mulut. Karena beberapa hari ini, setelah kepergian sang ibu, selera makan Leticia menghilang sehingga sekarang ia merasa begitu lapar. Setelah menghabiskan satu piring nasi goreng, ia bahkan menyantap lagi roti yang dioleskan selai coklat.
"Mbak Dei, rapihkan semua makanannya. Mbak dan yang lainnya juga boleh makan-makanan ini," titah Leticia saat beranjak dari tempatnya.
Dei pun mengangguk ketika mendengar arahan sang istri tuanya. Ia langsung memanggil pembantu lainnya untuk menghabiskan makanan itu.
Terlalu banyak makanan yang dimasak, sangat mubazir jika itu terbuang. "Sisanya kita kasih saja ke anak-anak sekitar!" ucap Dei diangguki oleh pembantu yang lain.
******
Frederic baru saja menurunkan Fani dan Fano lima menit yang lalu, di sekolah mereka. Sekolah negeri yang biasa saja, entah mengapa pikiran Frederic rasanya ingin memindahkan kedua iparnya itu ke sekolah favorit di kota itu.
Fani dan Fano bahkan dianggap terlalu dewasa. Pikiran mereka tidak seperti anak-anak lain. Bahkan sangat mengerti dengan keadaan ekonomi sang kakak yang berubah derastis. Namun, hal itu tidak mengubah Fani dan Fano bersikap serakah, mereka tetap saja tampil sederhana dan seadanya.
Baju keduanya juga tampak kusam bahkan agak menguning karena telah lama tidak diganti. "Apa susahnya Leticia mengeluarkan uang untuk membeli baju baru pada kedua adik-adiknya," batin Frederic, saat mengingat baju lusuh yang dipakai ke sekolah tadi pagi.
Frederic menghubungi seorang maid di rumah. Ia meminta agar Dei membelikan seragam sekolah untuk kedua iparnya.
"Iya, Tuan, ada yang bisa saya bantu?" ucap Dei, saat menerima panggilan Frederic.
"Mbak, tolong belikan seragam sekolah ukuran Fani dan Fano, ya? Dan langsung dicuci agar besok mereka bisa memakainya," jelas Frederic, saat itu juga ia langsung mematikan sambungan telepon mereka.
Frederic pun bergegas melajukan mobil, meninggalkan sekolahan. Saat di lobi kantor, tiba-tiba sudah ada kerumunan. Seluruh karyawan kantor pun berkumpul di sana. Termasuk ayahnya—Varrel Pratama.
Melihat kedatangan putranya, ia langsung membuat pengumuman untuk orang-orang disana.
"Test ... test ..." Varrel mengecek suara melalui microphone.
"Frederic dimohon untuk maju ke depan!" Semua mata langsung menyorot wajah Frederic yang berdiri paling belakang.
Frederic pun kebingungan, apalagi yang sedang direncanakan oleh pria paruh baya itu sampai harus mengumpulkan seluruh karyawan? Bahkan, sebelumnya pun tak ada pembicaraan serius padanya.
Akhirnya, dengan berat hati, Frederic mengikuti permintaan Varrel Pratama. Ia berjalan, lalu berdiri tepat di samping Varrel.
"Seperti yang kalian ketahui, Frederic ini adalah karyawan teladan. Semua pekerjaannya tidak ada yang membuat kecewa. Dia sangat kompeten dan jujur," puji Varrel di depan seluruh karyawan.
Sontak, seluruh karyawan saling berbisik dan menduga-duga kalau ada sesuatu diantara Varrel dan Frederic. "Jangan-jangan, pak Frederic itu adalah anaknya pak Varrel?" bisik salah satu karyawan pada karyawan lainnya.
"Ssstt, coba dengar dulu!" timpal yang lain menenangkan.
*Hening
Varrel terpaku cukup lama sebelum melanjutkan perkataannya. Ia mulai menyakinkan diri untuk mengangkat Frederic sebagai CEO di perusahaan ini. Sementara dirinya, hanya sebagai Presdir untuk mengawasi kinerja putra semata wayangnya.
"Sudah cukup lama, pak Frederic ini mengabdi di perusahaan kita. Kinerjanya pun sangat bagus walau dia hanya karyawan biasa," tutur Varrel basa-basi.
Namun, tak ada karyawan yang berani menyanggah ucapan pemilik perusahaan itu. Semua karyawan tetap bungkam menanti lanjutan kata-kata yang akan diucapkan.
"Mulai hari ini, saya akan mengangkat pak Frederic sebagai CEO menggantikan saya. Saya hanya sebagai pemilik dan Presdir di perusahaan ini, kelak akan memantau pekerjaan pak Frederic," jelas Varrel membuat seluruh karyawan terkejut bukan kepalang.
"Tuhkan, apa kata gue! Dia itu pasti anaknya," ujar karyawan tadi.
"Iya, kok mau, ya dia kerja sebagai karyawan biasa," timpal yang lain.
"Mungkin, itu syarat dari bapaknya sebelum dia diangkat sebagai CEO," tutur karyawan lainnya.
Semua karyawan saling berbisik membicarakan CEO baru mereka. Tak heran, kalau pria itu memiliki nama belakang yang mirip dengan nama bos besar mereka.
"Ehem! Silahkan pak Frederic mengucapkan sepatah-dua kata," kata Varrel, menenangkan keributan antar karyawan.
Frederic pun bingung. Mulutnya kaku, tak ada perencanaan sebelumnya tentang pengangkatan dirinya sebagai seorang CEO. Yang ia tahu, ayahnya masih lama menjabat sebagai CEO sekaligus Presdir di perusahaan ini.
Wajah Frederic pun sedikit pias, tubuhnya tampak kaku, kala ia mulai melangkahkan kaki, naik ke atas podium bertukar tempat dengan Varrel.
"Ehmm... jujur saja, saya masih kaget! Ayah saya belum menyampaikan perencanaan ini. Intinya, kedepannya saya ingin bekerja keras untuk meningkatkan perusahaan!" tandas Frederic.
"Selain itu, saya minta seluruh karyawan bekerja secara transparan. Tidak ada kolusi, korupsi maupun nepotisme! Bila ada yang bertindak demikian, pemecatan langsung saya lakukan," tegas Frederic kemudian.
*****
Dei langsung bersiap-siap untuk ke pasar membeli pesanan tuannya. Namun, ia berpamitan pada Leticia agar perempuan itu tak mencarinya nanti.
Tok ... Tok ....
"Masuk!" titah Leticia saat ia masih berbaring malas di atas ranjang.
"Maaf, nyonya mengganggu. Saya izin mau keluar, ada yang perlu dibeli karena disuruh oleh tuan," kata Dei seraya menunduk untuk mendapatkan izin.
"Baiklah, jangan lupa bilang sama yang lain! Untuk siapkan makan siang!" pungkas Leticia mengakhiri pembicaraan mereka.
Dei membelikan empat pasang seragam SMA untuk Fani dan Fano. Tak hanya itu, ia juga membelikan seragam Pramuka. Ukuran bajunya pun sempat ia cek dari seragam yang lain di dalam lemari dua pelajar itu.
******
Saat Frederic turun dari podium, Varrel langsung memeluk Frederic sebagai ucapan selamat pada putranya.
"Selamat! Kamu harus bekerja lebih keras!" ucap Varrel penuh bangga, ia bahkan menepuk bahu Frederic dengan penuh semangat.
"Kenapa, Ayah nggak bilang-bilang? Saatku tanya tentang posisi ini, Ayah justru tak mau memberikan!" desah Frederic seraya menghembuskan nafas kasar.
"Biar surprise!" kilah Varrel, lalu merangkul putranya meninggalkan lobi kantor. Ia pun langsung membawa Frederic ke ruangan baru, di mana tempat Frederic akan bekerja mulai hari ini.
Beberapa manager dan direktur lainnya mengikuti langkah Presdir dan CEO baru mereka. Bahkan, mereka juga memberikan selamat kepada Frederic.
Meski tak ada pengumuman tentang status hubungan antara Varrel dan Frederic tapi seluruh karyawan menduga kalau Frederic adalah anak satu-satunya Presdir mereka. Sebab, nama belakang mereka sangat sama, bahkan ketampanan keduanya pun sangat mirip.
"Selamat, pak!" kata beberapa Direktur dan Manager dengan kompak saat berada di dalam ruangan baru milik Frederic.
Mereka pun bergantian mengulurkan tangan untuk saling berjabat tangan. "Saya harap, semuanya bekerja dengan baik. Jangan sungkan untuk memprotes jika saya bekerja tidak baik. Saya juga akan mendengarkan keluhan kalian," papar Frederic mengingatkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments