Seperti mimpi, Amelia duduk disebelah Solehudin yang berdampingan dengan seorang perempuan berparas cantik mengenakan kebaya putih dan bersanggul sederhana.
Soleh akan mengucapkan ijab kabul dihadapan pak penghulu dan wali nikah serta saksi ketua RT setempat wilayah tempat tinggal Siti Juriah.
Ini benar-benar bagaikan mimpi.
Suasana hikmat itu dengan cepat mengubah takdir Amelia menjadi istri tertua setelah menikahkan suaminya sendiri. Tepatnya setelah Soleh dengan satu kali tarikan nafas berhasil menyebut nama Siti Juriah binti Bapak Ojan Sumpena menjadi istri mudanya.
Mariana dan Anta yang duduk dibelakangnya tersenyum lega.
Bayangan harta berharga milik Ojan satu persatu akan mereka nikmati hasilnya setelah putra sulungnya menikah dengan putri tunggal Ojan dan Samsiah, orang terkaya di kampung sebelah yang memiliki tanah berupa sawah dan perkebunan berhektar-hektar. Yang mempunyai usaha sampingan bengkel besar di pusat kota kecil tempat tinggal mereka.
Khayalan mereka telah tinggi jauh melayang.
Berbeda dengan khayalan Soleh yang tersenyum jumawa hatinya karena kini statusnya beristrikan dua orang wanita. Yang satu mencintainya dengan sepenuh hati, satu lagi wanita muda, cantik jelita meskipun sudah pernah melahirkan dan sempat punya anak.
Bayangan hidup bahagia dicintai dan diberikan kasih sayang berlimpah oleh dua perempuan tampak terbayang di pelupuk matanya.
Ojan dan Samsiah juga tersenyum lega.
Perlahan orang akan melupakan peristiwa pahit yang menimpa Juriah, putrinya lima tahun lalu karena kini telah ada yang mempersuntingnya. Meskipun sebagai istri muda, tetapi statusnya adalah istri sah karena menikah di KUA dan tercatat resmi sebagai pasangan suami istri.
Amelia sudah menguatkan hati sehari sebelum akad dilaksanakan dan setibanya Ia di kampung halaman Sang Suami sehingga tidak tampak setetes pun air mata yang jatuh dari pelupuknya.
Amelia telah mengambil langkah. Jadi dia juga harus bisa menerima konsekuensinya.
Suara tetabuhan rebana membuat Amelia menoleh ke pintu Kantor Urusan Agama.
Sebuah minibus yang dihiasi pita dan bunga warna-warni baru saja terparkir menurunkan beberapa orang anggota marawisan lingkungan rumah Juriah.
Amelia termangu.
"Ibu?! Kenapa banyak orang di luar? Itu seperti ketua pemuda dari kampung kita!" tanya Juriah mulai terlihat resah.
Samsiah mengangguk.
"Mereka ingin buat acara untuk selametan nikahan kamu, Nduk!"
Amelia lemas. Juriah hanya bisa melirik madunya dengan tatapan tak berdaya.
"Tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi, toh yang menyiapkan acara itu adalah warga. Bukannya kita. Sejak kemarin aku sudah bilang, kita cuma acara pengajian saja setelah ijab kabul. Kalau ternyata warga antusias atas pernikahanmu, masa' kita larang?"
Amelia menunduk lemah.
Mereka telah dijemput mobil minibus untuk segera meluncur pulang mengantar pasangan pengantin baru.
Ternyata, di rumah Juriah telah terpasang tenda dan kursi pelaminan.
Rupanya Ojan dan Samsiah telah melanggar perjanjian Juriah dengan Amelia.
"Mbak, maaf...! Saya sudah berusaha sekuat mungkin melarang,"
"Sudahlah..., nasi sudah jadi bubur!"
Amelia hanya bisa diam memperhatikan kesibukan keluarga Juriah beserta kerabat dan warga setempat menyambut kebahagiaan pasangan baru itu.
Ada kegembiraan pastinya bagi semua. Tapi tidak dengan Amelia.
Keberadaannya di antara mereka justru bagai samar bahkan nyaris abstrak tak terlihat.
Mariana, Anta bahkan Soleh pun terlarut dengan pesta dadakan yang telah keluarga Juriah persiapkan.
Berbagai acara seperti ketuk pintu, menginjak telur dan pecahkan kendi serta tarik bekakak juga suap-suapan, menjadi ritual wajib bagi pasangan pengantin itu sebelum duduk di kursi pelaminan.
Bahkan ada saweran segala yang menambah riuh gempita kegembiraan para bocah yang ramai berkumpul disana.
Amelia hanya menjadi penonton saja.
Bibirnya terkatup rapat. Lidahnya kelu, dan tubuhnya bagaikan kaku.
Amelia hanya duduk di salah satu kursi tamu tanpa dipedulikan oleh Mariana juga Anta yang terlihat sangat gembira hingga bisa dengan leluasanya tertawa terbahak-bahak.
Sungguh pemandangan menyakitkan bagi Amelia yang berusaha bertahan disana demi untuk menjaga nama baik dirinya serta Soleh suaminya.
Hingga Tito adik iparnya, suami dari Lani melintas di depan Amelia sembari memutar-mutar tali kunci motor.
"Tito!"
"Iya, Mbak?"
"Lani mana?"
"Di kamar mandi. Antar Cia mau pup katanya."
"Tito, bisa antar Mbak ke rumah Ibu?" pinta Amelia mulai tidak kuat berlama-lama di tempat hajat.
Mariana mencolek Anta dan mereka kompak memperhatikan kedua menantunya yang sedang berbicara, lalu mengadu pada Soleh yang sudah duduk manis di panggung pelaminan.
"Amel!" panggil Soleh.
Semua tertuju mata memandang.
Amelia tampak gugup menghampiri suaminya yang terlihat sangat tampan dengan pakaian kebesaran Raja dan Ratu Sehari itu.
"Bang, kepalaku agak pusing. Aku pulang duluan ya ke rumah Ibu?" kata Amel dengan suara pelan.
Mariana mendekat dan memeluk Amelia.
"Pulanglah duluan, Nduk! Kami mengerti sekali!" katanya sembari mengusap pipi Amelia sehingga menantunya itu menatap tak percaya. Sikapnya ini seperti mimpi. Ternyata, ada banyak pasang mata yang sedang kasak-kusuk memperhatikan mereka.
"Ibunya baik sekali. Pantas saja istrinya mau dimadu. Pasti suaminya si Juriah itu pria hebat perkasa," bisik-bisik tetangga yang hadir di acara pesta pernikahan Juriah dan Solehuddin terdengar di sana-sini.
"Beruntungnya ya Juriah?"
"Istri tuanya kelihatan sangat sabar ya?"
"Itu Ibu Mertuanya sampai perhatian begitu sama menantu pertamanya ya?!"
"Keluarga yang keren. Aku iri dengan kedekatan mereka satu sama lain. Pak Ojan sungguh beruntung! Aku pikir tadinya Juriah bakalan hidup tersiksa karena hanya jadi istri kedua!"
"Ish, ga lah! Istri muda pasti lebih disayang suami sama mertua pastinya!"
"Aku koq kasian ya liat istri tuanya? Koq bisa ya setegar itu menghadiri acara pernikahan suaminya sendiri?"
"Berarti ilmu agamanya sudah dalem itu. Suaminya mungkin seorang ahli agama minimal ustad yang bisa menaklukan hati dua wanita sekaligus. Tau sendiri khan, Juriah itu seperti apa. Dia ga akan mau dinikahi lelaki sembarangan biarpun dia pernah jadi perempuan yang dilecehkan!"
Suara-suara itu seperti jarum yang menusuk gendang telinga Amelia.
Ternyata Ibu Mariana hanya pencitraan saja! Ternyata beliau baik demi untuk dipandang bagus para tamu undangan saja. Hhh... Bodohnya aku mempercayai mereka dan juga Juriah! Tapi..., tapi ini juga bukan sepenuhnya salah istri muda Bang Soleh. Toh dia anak satu-satunya. Keluarganya pasti menunggu momen indah pernikahannya ini setelah bertahun-tahun dirundung kesedihan.
Soleh mencium pipi Amelia dihadapan Juriah dan banyak orang.
"Pulanglah. Istirahatlah di kamarku, Mel!" katanya sembari merapikan kerudung Amelia yang terlihat agak miring sedikit.
"Mbak! Terima kasih banyak. Terima kasih," tambah Juriah setelah Soleh melepaskan pelukannya.
Juriah menggenggam jemari Amelia dengan tatapan penuh kehangatan. Amelia kembali merasakan kalau kekhawatirannya pada Juriah terlalu berlebihan.
Dirinya serta kehidupannya kedepan pasti akan baik-baik saja.
Dia tak perlu terlalu khawatir karena pernikahan sang suami yang kedua. Justru Amelia harus bersyukur, tugasnya melayani dan mengurus Soleh kini lebih ringan karena ada Juriah.
Tito mengantar Amelia ke kediaman Mariana Anta di kampung sebelah.
Sepanjang perjalanan, Amelia seperti patung yang hanya duduk diam menikmati pemandangan alam sekitar.
Hingga Tito yang merasa prihatin dan sedih menyapa mengajak Amelia berbicara.
"Mbak Amel..."
"Ya?"
"Yang sabar ya? Mungkin ini sudah jadi Jalan-Nya Gusti Allah."
"Iya."
Hanya sepatah kata itu yang keluar dari bibir Amelia yang terlihat dingin dan kesepian.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
nacl
🤮🤮🤮🤮🤮🤮🤮 tak seindah yg kalian bicarakan
2023-03-09
0
nacl
hadeuh usaha sendiri dong Pak Buk
masa punya mantu di embat
2023-03-09
0