Malam ini Amelia terpaksa tidur sendiri. Suaminya sedang pulang kampung untuk beberapa hari.
Meski sedikit was-was karena tadi sempat ada ular masuk rumah, tetapi hatinya sudah lebih tenang karena ularnya sudah dikeluarkan warga.
Sebenarnya ini bukanlah tidur sendiri yang pertama kali. Kadang Soleh tidur di pabrik tempatnya bekerja kalau ia kebagian shift tiga. Namun itu agak jarang karena Soleh yang pekerja senior lebih sering kebagian waktu kerja shift satu atau shift dua setiap bulannya.
Kini hal itu tidak akan lagi terjadi. Karena Soleh sudah di PHK. Tinggal bagaimana nanti dia akan cari lagi pekerjaan baru.
Sebenarnya daerah tempat mereka mengontrak adalah daerah perindustrian.
Banyak pabrik dan perusahaan bertebaran di dekat tempatnya tinggal.
Tapi sekarang perusahaan-perusahaan itu lebih memilih para karyawan muda terutama baru lulus SMA atau kuliah.
Usia Soleh sudah 35 tahun. Sudah terlalu tua untuk jadi karyawan baru lagi. Dan pastinya perusahaan lebih mengutamakan pelamar kerja yang masih muda ketimbang dirinya yang sudah lewat masanya dan tak punya skill serta kemampuan istimewa.
Paling mentok, Soleh hanya akan mangkal di pengkolan ojek. Mencari penumpang para karyawan pabrik yang tidak memiliki kendaraan. Itu yang kini ada difikiran Soleh yang sedang melamun sendirian di teras rumah orangtuanya.
"Mas! Aplusan jaga Ibu di rumah sakit! Mas Tito mau pulang!" kata adik bungsunya yang bernama Lani memberitahukan Soleh karena suaminya barusan telpon.
"Iya."
Soleh bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit yang hanya berjarak dua kilometer saja dari rumah bapaknya.
Anta masih di masjid. Sedang sholat Isya karena ada tetangga yang kendurian, jadi kemungkinan langsung pergi ke rumah yang punya haulan.
"Bilang Bapak, Aku ke rumah sakit!" pesan Soleh setelah mengganti sarungnya dengan celana panjang yang tadi siang ia pakai.
Lani mengangguk.
Ia memberikan kunci motor bebek Bapaknya yang sudah butut dan bersejarah namun masih bisa dibawa ngebut.
Perjalanan menuju rumah sakit dilewatinya tanpa hambatan. Tidak seperti di Ibukota tempatnya tinggal. Jalanan penuh kendaraan lalu lalang bahkan sampai tak bisa bergerak saking padatnya. Macet sudah jadi makanan sehari-hari. Apalagi di jam pulang kerja seperti sekarang ini.
Tapi di kampung berbeda. Sudah jalan aspalnya bagus, lebar, kendaraannya pun tidak banyak.
Rumah sakit di kampung tidak semegah di kota besar. Tapi peralatannya tak kalah canggih juga pelayanannya. Malah lebih ramah dan lebih manusiawi dibanding di kota.
Kreeek
Soleh membuka pintu kamar opname Mariana. Ia memang sudah tahu karena tadi Lani yang memberitahu ruangannya.
"Mas Soleh!"
Tito adik iparnya melambaikan tangan. Soleh langsung berjalan menuju ranjang besi paling pojok yang ditempati Ibunya.
Masih jam besuk, jadi masih ramai orang berkunjung sehingga suasana agak ramai.
"Soleh, anakku!"
Soleh mempercepat langkahnya.
Mariana sudah melihatnya dari atas ranjang tempat tidur.
Putra pertamanya itu mencium punggung tangan Mariana sambil mengucapkan salam.
"Waalaikum salam... Akhirnya kamu pulang. Ibu kira kamu ditahan si Amel ga boleh jenguk ibunya sendiri yang sedang sakit!" cibir Mariana dihadapan banyak orang.
Soleh tersenyum.
"Amel gak sekejam itu, Bu! Gimana keadaan Ibu sekarang?"
"Alhamdulillah, Leh! Oh, iya... Bu Samsiah, kenalkan ini putraku Solehudin. Soleh, ini Bu Samsiah, itu Pak Ojan, dan ini putrinya, Siti Juriah."
Sontak Soleh merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia menyalami satu persatu.
Soleh mulai menyadari kalau calon istri yang pernah Ibu dan Bapaknya tawarkan ternyata ada di depan mata.
Gadis berhijab yang bertubuh imut, mungil dan berwajah mungil.
Memang tidak sedewasa Amelia, karena umurnya yang baru 22 tahun. Wajahnya baby face membuat Soleh sesekali mencuri pandang karena rasa penasaran.
Kenapa anak semanis ini susah dapat jodoh hanya karena kasus buruk yang menimpanya beberapa tahun lalu? Bukankah itu bukan salahnya? Tetapi kenapa orang kampung justru seolah mengasingkan perempuan yang seharusnya dirangkul dan diberi penghiburan karena telah jadi korban kebiadaban pria hidung belang? Betapa dunia sangat kejamnya!
Mariana tampak begitu akrab mengobrol dengan Ojan dan Samsiah. Sementara Soleh, Siti dan Tito hanya jadi pendengar saja. Sesekali turut memberi senyum tetapi tidak ikut nimbrung obrolan.
Tito memberi kode pada Soleh. Lalu memotong pembicaraan para orangtua karena ingin izin pulang.
"Oo, Nak Tito aplusan jaga sama Nak Soleh!" respon Samsiah menimpali ucapan Tito yang pamit pulang lebih dahulu.
"Iya, Bu. Kasihan Lani sama Cia di rumah. Mereka takut tidur berduaan. Jadi yang jaga Ibu malam ini ya Mas Soleh. Saya pulang. Hehehe ..."
"Ya ga papa, to Le! Sesekali Mas mu jagain Ibu. Jangan jaga istri gabugnya terus padahal istrinya itu perempuan yang pemarah!"
Deg. Jantung Soleh serasa dipukul palu besar. Ibunya mengatai istrinya dengan kalimat kasar dan juga tidak sesuai fakta.
"Bu..., Amel bukan perempuan pemarah!" sela Soleh berusaha meluruskan perkataan ibunya.
"Iya. Terus saja kamu bela dia. Terus! Padahal aku tau seperti apa itu si Amel. Seperti artis Nikita Mirzani yang mulutnya nyerocos kalau dikasih tahu!"
Hah? Mirip Nikita Mirzani? Hadeuh Bu! Amel justru kebalikannya! Ck.
"Suami yang baik, ya? Tetap menerima kekurangan istri dalam kondisi apapun. Kamu hebat Soleh!"
Soleh terperangah. Ojan menepuk bahunya dengan cukup kuat.
"Bapak, jangan pukul keras-keras!" Rupanya Siti Juriah bersuara memberi teguran pada bapaknya. Spontan suasana jadi gaduh kembali.
"Ya Allah, Siti memang perempuan yang baik. Kamu berhati lembut ya?" Kali ini Mariana yang memuji Siti Juriah. Seketika keduanya mulai dikait-kaitkan.
"Dari wajah, kalian ada kemiripan. Dari sifat, kalian sama-sama orang yang lembut. Cocok deh kayaknya!" goda Samsiah.
"Sangat cocok. Soleh lahir hari Sabtu. Juriah hari Rabu kan ya?"
"Iya betul."
"Cocok. Pas banget. Soleh 35 tahun, Juriah 22 tahun. Yang satu dewasa, satunya muda belia. Bisa membimbing dan satunya lagi menjadikannya panutan. Hm...!" Kali ini Ojan yang bicara dan Soleh hanya bisa tersenyum saja.
Kedua orang yang sedang dijodohkan itu tak bergeming. Tiada respon baik dari Soleh maupun Juriah. Bahkan Juriah sama sekali tak bereaksi meski sekedar senyum tipis. Sepertinya gadis itu malu bercampur kesal karena acara jenguk orang sakit jadi ajang perjodohan. Dengan pria beristri pula.
"Cobalah kalian saling berkenalan dahulu. Mengobrol lah di luar. Biar kalian bisa saling tukar pendapat!"
Entah bagaimana ceritanya, Ojan mendorong tubuh Soleh dan Juriah keluar ruangan inap Mariana.
Entah bercanda atau serius, Soleh tidak tahu dan jadi bingung dibuatnya.
Begitu pun dengan Juriah yang menampakkan wajah kesalnya.
"Jangan dibawa serius. Mereka memang sudah gila! Menjodoh-jodohkan anaknya dengan suami orang! Itu perbuatan tidak waras, bukan?"
Soleh terperangah.
Juriah mengatakan hal yang membuatnya jadi terpana.
Soleh kira Juriah adalah anak kampung yang ndeso. Yang akan manut perintah orang tua meskipun tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Ternyata...
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
sepertinya jadi juga nih poligami
2023-04-26
0
nacl
lempar petasan ke si ojan 👿👿👿
2023-03-01
1