Semalaman Amelia memikirkan semua ucapan Solehudin.
Tentang rencana besarnya. Bahkan bagi Amelia rencana maha besar yang menurut Soleh justru adalah strategi.
Dia hanya tamatan SMP. Tidak makan bangku sekolahan tinggi-tinggi. Tetapi dalam hal attitude dan tingkah laku, Amelia jauh lebih terpelajar dibandingkan perempuan lain yang berpendidikan.
Amelia tahu, melawan orang tua adalah perbuatan dosa. Menuruti perintah mereka selain berpahala, itu juga suatu keharusan. Menghardik orang tua dengan kata-kata menyakitkan juga dilarang agama.
Demikian pula halnya dengan menolong orang. Wajib hukumnya jika kita memiliki kemampuan untuk melakukan itu.
Tetapi menuruti keinginan orang tua untuk menikah lagi padahal sudah punya pasangan alias melakukan poligami, menolong orang dengan meminang perempuan yang konon kabarnya dighibah warga sekampung karena menjadi korban kekerasan *+**+al, apakah itu adalah perbuatan yang dibenarkan?
Entah.
Saat ini Amelia sangat benci pada suaminya.
Namun untuk membantah perkataannya adalah hal yang tidak baik.
Jadi Amelia hanya bisa melamun kosong memikirkan rencana besar sang suami yang sangat mengharap kerja sama dirinya untuk melakukan hal aneh ini.
Pukul dua dini hari, Amelia yang susah tidur memilih untuk sholat tahajud meminta pertolongan Allah Ta'ala.
Berharap Tuhan memberikan jawaban untuk dirinya dan juga Soleh suaminya. Memohon pula agar niat Soleh yang sudah terbersit untuk menikah lagi urung karena memikirkan lagi perasaan Amelia.
Dua rakaat yang amat khusu' membuat sajadah panjangnya basah air mata Amelia yang bersimpuh penuh doa.
Bagaimana bisa, Ia merelakan Suaminya dibagi dua. Bagaimana mungkin, dirinya sanggup menghadapi situasi yang harus mau berbagi dalam segala hal.
Tangis Amelia pecah di hamparan sajadah.
Soleh yang diam-diam terbangun dari tidurnya mendengar suara tangis kecil istrinya pun turut terenyuh dan merasa sangat bersalah.
Bisa-bisanya dia mempunyai pemikiran yang bodoh hanya karena himpitan ekonomi lemah dan persaingan kerja yang luar biasa.
Pekerjaannya telah diputus kontrak sepihak oleh perusahaan. Mau bagaimana lagi, usianya kalah bersaing dengan pemuda-pemuda tamatan baru yang lebih gagah dan lebih berkemampuan di banding dirinya.
Begitulah perusahaan. Kejam tidak punya perasaan. Yang tua tersingkir oleh yang muda. Yang lemah kalah dengan yang kuat. Yang berpendidikan pas-pasan tentu saja terdepak dengan yang lebih tinggi lagi jenjang pendidikannya.
Hukum alam sudah seperti itu dari jaman ke jaman.
Soleh yang mendengar rintihan sedih Amelia langsung mendapat jawaban saat itu juga. Istrinya benar-benar tidak menyetujui usulannya kemarin siang. Dan dia juga tidak terlalu menginginkan hal tersebut.
Soleh cukup sadar dan tahu diri juga jika Ia benar melakukan poligami.
Banyak pemikiran yang harus ia pertimbangkan. Selain tempat tinggal mereka bertiga nanti.
Soleh juga bisa menebak, Amel pasti menolak jika disatukan dalam satu atap.
Soleh sudah berfikir akan bekerja mengurus harta pak Ojan yang menurut cerita Bapaknya memiliki beberapa usaha seperti lima angkot, satu ruko bengkel dan beberapa hektar sawah juga perkebunan di kampungnya.
Pikirnya, anggap saja Ia sedang bekerja di keluarga istri kedua itu. Dan hasilnya bisa Ia sisihkan untuk masa depan bersama Amelia setelah bercerai dengan putrinya Pak Ojan.
Setidaknya rasa sakit hati Amelia hanya untuk tiga tahun saja. Dan Soleh akan hidup tenteram bahagia dengan Amelia dengan memiliki rumah, uang tabungan dan kemungkinan juga anak, jika Tuhan memberinya di pernikahan kedua.
Tetapi mendengar curhatan Amelia kepada Tuhannya di pukul dua tengah malam, Soleh tersadar kalau semua rencana yang ia rancang dan sudah dijelaskan pada Amelia tidak mendapatkan sambutan.
Soleh memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana itu lagi. Baginya, cinta Amelia paling segalanya. Walau kini harus putar otak untuk jangka tiga bulan kedepan.
Harus memikirkan apa yang akan Ia lakukan mengingat saat ini posisinya adalah seorang pengangguran.
Berarti dia harus mencari pekerjaan lain untuk bisa mendapatkan uang.
.............
Kukuruyuuuuk...
Kukuruyuuuuk...
Seperti biasa, Pulung berkokok lantang pukul empat pagi.
Amelia yang baru beberapa belas menit terlelap langsung bangun dari tidurnya.
Kepalanya terasa pusing, tetapi tak menghalangi Amelia untuk berdoa dan bersimpuh di hadapan Allah Ta'ala.
Baginya jalur langit jauh lebih hebat ketimbang curhat kepada sesama manusia yang justru bisa jadi bumerang untuk diri sendiri.
Curhat dengan orang, bisa jadi masalahnya justru akan menyebar karena mulut ke mulut itu adalah media yang paling mudah.
Belum lagi cerita yang hanya sebatas C berkembang bahkan bisa mencapai Z. Begitulah mulut manusia.
Amelia lebih memilih curhat kepada Sang Pencipta saja. Semua kegundahan hatinya, Ia curahkan lewat sholawat serta salam kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW.
Allah tahu yang terbaik untuknya. Walaupun dalam kehidupan Amelia biasa-biasa saja, tetapi secara batiniah dan kedewasaan, Allah menguatkan hati serta hidupnya lebih baik lagi.
Seperti pagi ini.
Walau semalam sempat ada perdebatan dengan sang suami dan Ia terlihat marah besar, tetapi melakukan penghormatan dan mengurus suami adalah suatu kewajiban bagi seorang istri.
Amelia tetap menyiapkan sarapan pagi untuk Solehudin.
Semangkuk lontong sayur yang nikmat dan segelas teh manis panas terhidang di meja makan yang kecil yang mereka beli dengan menyicil selama setahun itu.
Soleh sendiri masih terlelap dalam mimpi indahnya.
Amel tidak berani membangunkan karena saat ini Soleh tidak lagi berstatus sebagai seorang karyawan yang harus bangun pagi dan pergi kerja terburu-buru seperti yang lalu-lalu.
Amel menunggu Soleh bangun dari tidur.
Ia memilih beberapa pakaiannya yang sudah koyak dan mengaput jelujur jahitannya yang sudah lepas hingga kembali rapi tersambung.
Fikirannya mulai melayang. Amelia ingin sekali bekerja seperti Narsih, istri Sofyan salah satu istri teman suaminya yang bekerja di pabrik garmen.
Gajinya lumayan besar. Hampir sama dengan Sofyan, cuma agak kecil sedikit.
Narsih bisa menabung untuk beli tanah di kampung.
Setidaknya perlahan tapi pasti, mereka mulai membangun dan memiliki rumah sendiri sejak Narsih bekerja enam tahun silam.
Pencapaian yang luar biasa. Membuat Amelia sedikit iri dan berharap suatu saat nanti keluarga kecil yang dibangunnya bersama Soleh bisa seperti mereka.
Kreet...
Suara decit ranjang tidur mereka terdengar. Pertanda Soleh sudah bangun dan sedang terduduk diam dibibir tepi ranjang kayu.
Tap... tap... tap
Langkah telapak kaki sang suami yang berjalan lambat tertangkap indera pendengaran Amelia. Ia pun menoleh ke arah Sang Suami yang sedang menguap dan menghentikan langkahnya sementara.
"Lontong sayur, Bang!" kata Amelia pada Soleh.
Suaminya tak menjawab. Hanya langkah yang dipercepat hingga tubuhnya kini berada di samping tempat Amelia duduk.
"Cuma semangkuk?" tanya Soleh.
"Buat Abang aja. Aku udah minum teh manis segelas tadi habis subuhan!" jawab Amelia lengkap dengan senyuman.
Soleh bersyukur, Amelia tidak mengambek lagi. Dan pagi hari ini Ia masih bisa melihat senyum manis sang istri.
Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering nyaring.
Tadinya Soleh tidak ingin mengangkat karena masih sangat pagi baginya menerima panggilan telepon.
Tetapi Amelia justru bergerak mengambilkan ponsel Soleh yang posisinya di atas ranjang tidur dan langsung menyerahkan pada Soleh.
"Bapak?"
"Angkat cepat, Bang!" titah Amelia.
"Hallo? Assalamualaikum, Pak?! Hah, apa??? Ibu jatuh di kamar mandi???"
Seketika Amelia dan Solehudin terkejut mendengar kabar buruk soal Mariana dari Anta.
"Ibu?!?" pekik Amelia ikut prihatin.
Keduanya kini saling bertatapan.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓
nnti butuh biaya ke dokter akhirnya jadi nikah ma anak pak ojan wkkwkw gemes
2023-04-05
0
Zalianty Zent
masih kupantau😑
2023-02-28
0
Sevtia Ganda
haduh geregeten aku
2023-02-27
1