Amelia harus pasrah ketika Soleh melarangnya ikut ke kampung halaman menengok Mariana Ibu Mertua yang jatuh di kamar mandi.
"Bukan apa-apa, Aku juga di kampung hanya sebentar. Dan kembali pulang dalam waktu dua hari karena harus cari pekerjaan. Lagipula sayang ongkos pulang pergi jadi dobel. Nanti aja kalo Aku dalam keadaan senggang jadi kita bisa berlama-lama di sana."
Argumentasi Soleh tidak bisa Amelia patahkan. Akhirnya hanya mengalah menuruti kata Soleh.
Padahal kali ini adalah keinginan yang begitu besar bagi Amelia untuk menunjukkan eksistensinya sebagai seorang menantu yang menyayangi ibu mertua dengan tulus.
Tapi apa mau dikata. Ya sudahlah.
Soleh berangkat ke kampungnya pukul sembilan pagi.
Semua persiapan juga uang bekal dan ongkos pulang pergi sudah Amelia siapkan dari uang yang di amplop yang Soleh suruh simpan sehari lalu.
"Aku berangkat dulu ya Mel!?"
"Hati-hati di jalan ya Bang! Salam buat Bapak Ibu!"
"Iya. Lusa aku pasti sudah kembali."
Amel mengangguk. Soleh mengusap pucuk kepalanya setelah menerima salim Amelia dengan penuh berat hati.
"Telepon aku kalo Abang udah sampai!"
"Iya."
Langkah Soleh meninggalkan teras rumah kontrakan mereka terasa begitu berbeda di pandangan Amelia.
Entah mengapa, hatinya bergemuruh. Seperti ada tebing kekhawatiran dalam jiwa yang berjatuhan perlahan dan bergetar terus menerus seperti longsoran yang kian mengikis kepercayaan diri Amelia.
Bagaimana kalau di kampung halamannya Abang Soleh bertemu gadis yang mau dijadikan istri mudanya itu oleh Bapak Ibu? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka dinikahkan dan pulang dengan membawa istri mudanya untuk tinggal juga bersamaku?
Amelia mengusap dadanya pelan.
Dia juga menepuk keningnya dan bergumam kalimat istighfar.
Astaghfirullahal'adziiim... Aku tidak boleh suudzon berlebihan. Aku tidak mau kecemasan ini akhirnya menjadi kenyataan. Ya Allah, tolong jaga suamiku dari hal-hal yang tidak baik. Berilah Bang Soleh karunia dan rahmat-Mu ya Allah!
Amelia mengalihkan fikirannya dengan bekerja membereskan rumah dan bersih-bersih setelah beberapa hari ini dia agak kurang semangat menjalani rutinitasnya sebagai seorang ibu rumah tangga.
Amelia menyapu lantai. Ia juga mengepelnya. Setelah itu menurunkan sprei bekas pakai dari dua kamar kecil untuk dicuci.
Cuciannya menumpuk setelah semua kaos Soleh yang menggantung dia turunkan pula.
Seperti biasa, Soleh sering kali menumpuk pakaian bekas pulang kerja dan melarang Amelia cuci segera karena baru satu kali pakai.
Dengan sigap Amelia merendamnya terlebih dahulu di dalam air deterjen. Lalu Ia beralih kepada wadah nasi di magic com yang kosong.
Selagi menunggu cuciannya mangkak, Amelia memasak nasi dan pergi sebentar ke warung Bu Saodah.
Ternyata sedang dalam keadaan ramai pembeli. Sehingga Amelia terpaksa harus menunggu agak lama hingga gilirannya dilayani tiba.
Ibu Saodah memang cekatan dalam hal pelayanan. Tetapi sayangnya mulutnya juga ikut loncer berkata banyak hal dengan para pembelinya yang mayoritas adalah ibu-ibu rumah tangga seperti Amelia.
"Mama Embun tau ga, itu Mas Yamin yang kontrakannya di ujung sana?" tanya Bu Saodah pada pembeli yang sedang dilayaninya.
"Yang mana, Bu?"
"Itu lhoo, yang baru saja ditinggal istrinya kabur itu! Yang padahal baru nikah setengah tahun itu. Tau gak sih, kemaren saya liat di pasar Gembrong Mas Yamin jalan sama ibu-ibu yang dandanannya hebring banget lho?! Mesraaa bener gandengan tangan!"
"Masa' sih? Kan Mas Yamin istrinya cantik. Masih muda. Kenapa setelah ditinggal pergi istri justru milih emak-emak? Ah, Bu Saodah salah liat kali'!?" sambut Ibu yang jadi lawan bicara Bu Saodah.
"Ih, Mama Embun, beneran! Lha wong saya dikasih senyuman sama Mas Yamin koq itu! Saya sampe gemetar. Hadeuh, ga sangka saya Mas Yamin sukanya sama emak-emak. Kayaknya, dia selingkuh terus bininya tahu jadi lebih memilih pergi!"
"Bisa jadi. Bu, sambelannya juga ya lima ribu. Campur lho, awas lupa itu baputnya!"
"Iya. Saya sampe muji terus dalam hati, astaghfirullah... astaghfirullah!"
"Jaman sekarang udah gak aneh Bu, brondong demennya emak-emak model kita!" timpal ibu pembeli yang satunya.
"Hooh bener tuh. Hehehe..."
"Makanya Bu Saodah kalo ke pasar Gembrong jangan dandanan cantik. Khawatir bikin para berondong yang nongkrong jadi naksir terus diajak melipir! Hehehe..."
"Waduh?! Saya sih udah gak kepikiran lagi buat begituan. Udah tua. Fokus aja buat ngebesarin anak!"
"Kalo diculik masih nolak ga Bu? Hahaha..."
"Ya ampun, takuuut! Takut cuma dijadiin talenan buat numpang hidup! Hahaha..."
"Heleuh, tapi suka sama suka juga kan. Saya rasa Bu Saodah kalo dibombardir cinta pria muda juga pasti ga bakalan nolak. Hahaha..."
"Ehh? Boleh juga sih, hihihi..."
Begitulah obrolan para ibu-ibu paruh baya. Menjadikan gosip terhangat di kampung mereka menjadi sebuah candaan bertema ghibah.
Bahkan masalah urusan rumah tangga tetangga pun tak luput dari guyonan mereka yang belum tentu benar kabar burungnya.
Amelia yang menunggu hanya diam walau sesekali ikut tersenyum jika salah seorang diantara mereka melempar senyum padanya juga seperti Bu Saodah.
"Neng Amel mau beli apa?" tanyanya setelah tiba giliran Amelia berbelanja.
"Ini Bu, telur sekilo, gula pasir sekilo, minyak sayur kemasan satu liter, mie instan rasa ayam bawang lima bungkus, sama bayar hutang yang kemarin lusa yang lima puluh ribu."
"Oalah, terima kasih banyak. Sudah gajihan ya? Hehehe... Sebentar, Ibu coret dulu bon hutangnya ya!?"
Amelia lega. Pulang ke rumah dengan menjinjing kresek belanjaan. Bahan-bahan sembako yang Ia beli di warung Bu Saodah adalah bahan yang sudah tidak ada lagi di lemari dapurnya.
Ia juga telah melunasi hutang belanjaannya ketika ada Anta dan Mariana datang menginap semalam di rumah kontrakan mereka.
Tetapi ada musibah yang mengharuskan suaminya segera pulang ke kampung padahal baru hari kemarin orang tuanya sowan kunjungi mereka.
Mariana jatuh dari kamar mandi. Sempat pingsan dan tak sadarkan diri. Tetapi kini keadaannya sudah jauh lebih baik, kata Anta di sambungan telepon di hape Soleh.
Amelia lanjutkan pekerjaan rumahnya.
Ia mendadar telor dua butir untuk sarapan, makan siang sekaligus makan malamnya nanti.
Menu yang sederhana, terapi Amel sangat suka.
Cukup ditambah kecap, makan pun terasa nikmat.
Baginya yang penting sehat. Sehat jasmani dan juga rohani. Segala sesuatu makanan yang ada pasti dengan mudah Ia terima masuk lambung dan diserap usus besarnya.
Sebelum tempur dengan pakaian yang sudah direndamnya, Amel sarapan dulu setelah nasi dalam magic com matang.
Suasana pagi menjelang siang seperti biasa. Tenang cenderung sepi di dalam rumah kontrakannya.
Berbeda dengan rumah kontrakan lainnya yang ada di kiri kanan yang ramai suara riuh kadang tawa berganti tangis dari para buah hati penghuninya yang rata-rata sudah memiliki anak lebih dari satu.
Hanya rumah kontrakan Amel Soleh saja yang adem anyep tanpa celotehan seorang anak.
Sesekali Amel suka membawa anak tetangga untuk dijadikan mainan atau sekedar bercanda gurau memancing rasa empati keibuannya yang kian besar seiring usianya yang dewasa.
Tiga puluh tahun, usia yang sempurna. Seharusnya sudah melahirkan satu atau dua orang anak seperti kebanyakan perempuan lain yang sudah menikah.
Amelia menggeleng cepat. Fikiran kesedihan segera Ia hilangkan demi kewarasannya.
Amelia mempercepat makannya untuk melanjutkan kerja mencuci pakaian.
Sebagai seorang istri, tugasnya adalah menyenangkan hati suami. Walau sampai saat ini Ia masih belum bisa memberikan kebahagiaan yang besar berupa anak kepada Soleh, tapi Amel yakin pelayanannya dalam urusan cinta, kesetiaan dan belaian kasih sayang boleh dibandingkan dengan istri-istri orang di luar sana.
Kegiatan olahraga malam yang rutin Amel berikan sebanyak seminggu dua kali, urusan sandang, pangan dan papan Soleh pun semua dia yang atur. Sampai seluruh nominal gaji Soleh diberikan pada Amelia untuk diaturnya.
Apalagi yang kurang, hanya anak saja yang jadi batu sandungan. Dan satu lagi, ekonomi yang sedikit sulit sehingga mereka harus ekstra sabar mengencangkan ikat pinggang supaya bisa lebih gigih menabung untuk masa depan.
Amel bersyukur, cicilan motor Soleh akhirnya selesai juga.
Kemungkinan minggu depan suaminya itu akan pergi ke dealer leasing tempatnya mengambil kreditan motor 32 bulan yang lalu untuk segera melunasi yang tinggal tiga bulan lagi.
Mumpung uang pesangon masih ada. Khawatir tidak terbayar jika mereka lebih memilih mengalokasikan uang cicilan sesuai jadwal yang tinggal tiga bulan lagi itu. Karena Soleh masih belum tahu akan bekerja apa dan dimana nantinya.
Pukul empat sore ponsel Amelia berdering.
Soleh menelpon.
Katanya Ia sudah tiba di rumah orangtuanya sejak setengah jam yang lalu. Dan keadaan Ibunya juga sudah jauh lebih baik meskipun harus dirawat di RSUD karena tensi darah yang tinggi juga jantung yang bermasalah.
Amelia turut prihatin dan mendoakan supaya ibu mertuanya itu lekas sembuh dan kembali pulang ke rumah.
Soleh juga bilang, besok juga ibunya bisa pulang. Begitu katanya.
Sedangkan dia masih akan tinggal di kampung untuk beberapa hari lagi.
Amelia mengiyakan permintaan izin suaminya yang juga memberinya banyak nasehat seperti tidak lupa mengunci pintu depan dan belakang rumah sebelum tidur. Juga memeriksa kompor gas dan lain sebagainya.
Amelia tersenyum bahagia, betapa Soleh adalah pasangan yang selalu menjaganya walaupun kondisi mereka kini sedang berjauhan.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓
kl dinopel2 sih brondong sama emak2, maka gadis ma duda duda
2023-04-15
1
Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓
nama authornya masuk ke sini bu embun 😅
2023-04-15
1
Yiyan sucE
kau pulang kah ke rumah ku pesta kita ???
2023-03-06
0