Treeet... treeet... treeet
Baru saja Amelia bersiap untuk membetulkan tiang jemuran yang patah, ponselnya berdering beberapa kali.
Amelia kembali masuk ke dalam rumah dan mengambil hapenya yang tergeletak di atas meja makan.
"Ibu Mariana?" gumamnya sendiri lalu segera menerima panggilan telepon dari Ibu mertuanya itu.
"Hallo, Assala,"
...[Heh, Amel! Mana Soleh? Kenapa hapenya tidak aktif? Apa kamu suruh dia buat menghilang dari orangtuanya? Hahh?]...
Belum juga selesai salam Amelia pada Ibu mertua, justru semprotan suara cemprengnya Mariana yang Amelia dapatkan.
"Ada, Bu, masih tidur. Mungkin hapenya Bang Soleh baterenya lowbat. Jadi dimatikan sementara. Ada apa, Bu? Ibu bagaimana keadaannya?"
Amelia berusaha menekan perasaannya. Dan bersikap sopan seperti biasa.
...[Kau ingin Aku cepat mati ya? Apa kamu senang kalo ibu mertuamu ini cepat masuk liang lahat? Dasar menantu gak tau diuntung! Mana Suamimu? Berikan hapemu! Ehh... tunggu! Gimana jawabanmu soal yang kemarin Aku tanyakan itu? Sudah bikin surat izin menikah lagi belum? Atau kalian masih ribut cuma gara-gara tanda tangan?]...
"Ibu... ya Allah, demi Allah saya tidak pernah berfikir seburuk itu tentang ibu. Saya justru selalu doain Ibu sehat selalu,"
...[Cukup basa-basinya. Sudah kau buat belum surat izin buat Soleh menikah lagi?]...
"Ibu. Wanita mana yang mau dimadu, Bu!? Amel rasa, Ibu sendiri tidak mau dimadu Bapak, bukan?"
...[Beraninya kamu bilang begitu padaku! Kalau Aku itu kamu, Aku akan izinkan suamiku nikah lagi. Kenapa? Pasti kamu nanya kenapa. Iya kan? Karena kamu itu memiliki kekurangan! Sepuluh tahun kalian menikah, mana cucuku? Seharusnya kalian sudah ber-anak dua! Tapi satu pun tak ada. Ga bisa ngasih Aku cucu! Jangan sok merasa terdzolimi!]...
"I_ibu?!?"
...[Jangan jadikan anak sulung ku tumbal kehidupanmu! Berikan dia kebahagiaan dengan merasakan punya anak dari sp+rm+nya sendiri! Jangan bilang belum waktunya kalian punya anak! Bisa! Soleh anakku bisa punya anak kalau dia menikahi perempuan lain! Bukan menikahimu, perempuan yang 'gabug' gak punya rahim buat melahirkan!]...
Jatuh berderai air mata Amelia satu persatu dan kian bercucuran.
Hatinya sedih, sakit sekali rasanya. Hingga sudah seperti mati rasa menerima hinaan demi hinaan sang mertua yang pahit lidahnya.
Amelia tersentak. Tangan Soleh langsung menyambar ponsel yang tertempel di telinganya.
"Hallo? Ibu?"
...[Soleh anakku! Kenapa kamu matikan ponselmu? Sampai Ibu susah banget buat hubungin kamu! Gimana jawabanmu? Keluarga Pak Ojan menunggu secepatnya!]...
"Ibu... Kenapa Ibu bilang kasar begitu sama Amelia, Bu? Kenapa terus menerus melukai hatinya? Cukup, Bu! Sudahlah. Sudahi tekanan yang selalu Ibu berikan pada istriku!"
Amelia menangis sedih. Namun hatinya sedikit terhibur, ternyata Sang Suami membelanya.
...[Desak istrimu untuk memberikan restu! Apa kamu tidak mau menikahi Juriah anaknya Pak Ojan dan Ibu Samsiah yang cantik itu? Bukankah kalian sudah saling tukar nomor pribadi juga? Hallo? Soleh?]...
"Ibu. Masalah anak, suatu hari nanti pasti Allah akan beri kami kepercayaan. Ini hanya masalah waktu saja. Dan hanya Allah yang Maha Tahu kapan Aku dan Amel diberi keturunan! Jika Aku menikahi gadis itu, kemungkinan lama diberi keturunan bisa saja terjadi, bukan? Seperti Aku dan Amel. Kami sama-sama sehat menurut keterangan dokter kandungan!"
...[Tapi dengan si Juriah, Ibu yakin kamu akan segera diberi momongan!]...
"Kenapa Ibu begitu yakin?"
...[Karena perempuan itu sudah pernah melahirkan, tapi anaknya meninggal satu jam kemudian setelahnya!]...
"Apa??? Jadi, jadi... jadi Juriah pernah punya anak?" Soleh berteriak tanpa sadar.
...[Anak itu hamil setelah diperk+sa. Dan diusia kandungan tujuh bulan Juriah melahirkan bayi prematur. Jadi, rahim perempuan itu sehat. Tidak seperti rahim si Amel istrimu yang gabug itu!]...
Soleh mematikan ponsel Amel tanpa berpamitan dulu pada ibunya.
Hatinya kesal, merasa seperti dibohongi karena ternyata keadaan Siti Juriah jauh lebih buruk dari yang Ia kira.
"Nih!" katanya sembari menyodorkan handphone kepada Amelia yang masih duduk dengan wajah sembab bermandikan air mata.
Soleh menyalakan ponselnya sendiri.
Kini Ia mencari nama Juriah di kontaknya dan...
...Kenapa kamu tidak ceritakan kalau kamu sampai melahirkan anak dari laki-laki Bangs+t itu?...
Chatnya langsung pada Juriah tanpa basa-basi lagi.
Mangkel hatinya. Kesal dan kecewa. Hingga sangat ingin sekali memaki Juriah saat ini juga.
Lama sekali chat Soleh baru direspon Juriah.
...Atas kapasitas apa Aku harus ceritakan semuanya kisah hidupku padamu?...
Hei?! Jawabannya santai sekali! Rutuk hati Soleh.
Tentu saja sudah jadi keharusan! Karena kita saat ini sedang dalam proses perjodohan!
...Perjodohan apa? Siapa yang bilang? Apa hubungan kita sudah pasti ditentukan? Belum bukan? Dan apakah Mas sudah bilang pada istri mas, kalau Aku bersedia jadi istri muda mas asalkan dia memberikan izinnya? Belum bukan? Berarti kita belum ada kesepakatan! Jadi tidak ada keharusan untuk Aku menceritakan tentang kisah hidupku padamu!...
Soleh terdiam. Juriah gadis pintar.
Kata-kata yang dirangkainya begitu lugas dan tegas. Sangat jelas memberi gambaran kalau Juriah adalah sosok perempuan yang kuat dan hebat.
Tidak seperti Amel...
Lagi dan lagi, Soleh mulai membanding-bandingkan Juriah dengan Amelia.
Diliriknya sang istri yang masih sesegukan meredam tangisnya sendiri.
Soleh malas untuk memberikan Amelia kalimat penghiburan. Dan dia hanya bisa menggelosorkan badannya lagi ke atas ranjang. Membiarkan Amelia duduk termenung sendiri di depan meja makan.
........
Hari menjelang siang. Jemuran Amelia belum sempat dijemurkan karena hati dan tubuhnya kadung lemas setelah menerima panggilan telepon dari Sang Ibu Mertua.
Bahkan sampai kini, tiang jemurannya masih tergeletak di atas tanah. Tanpa ada yang peduli membetulkan posisinya lagi.
Amelia sendiri hanya menyibukkan diri dengan benang wol warna-warni. Ia ingin menghibur hatinya yang luka dan jiwanya yang kecewa.
Soleh bangun setelah bedug di masjid berbunyi dan lantunan adzan Dzuhur berkumandang dari toa masjid.
"Punya duit malah dipake buat beli benang!" omel Soleh pada Amelia.
Soleh memang sering memarahi kegiatannya merajut. Padahal beberapa kali hasil rajutannya itu Amelia jual dan menghasilkan uang. Taplak meja, kaos kaki bayi, kaos rajut, rata-rata pernah beberapa kali dipesan tetangga sekitar yang melihat kebolehannya dalam menganyam benang wol menjadi barang bernilai seni tinggi.
Dan Amelia merajut untuk memulihkan kondisi kejiwaannya yang sedang terluka hingga sembuh kembali.
Amelia menaruh benangnya dan bergegas menuju kamar mandi.
"Mari kita sholat berjamaah!"
Mata Amelia membulat dan merebak. Sungguh ajakan yang langka, yang Soleh ucapkan selama sepuluh tahun Ia berumah tangga.
Seketika hati Amel bersorak bahagia. Semoga sang Suami semakin baik dan Istikomah dalam menjalankan ibadahnya. Begitu doa dalam hatinya.
Amelia dan Solehudin untuk pertama kalinya sholat bersama.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments