Segelas kopi panas dan beberapa potong pisang goreng yang Amel beli dari tukang gorengan keliling menjadi hadiah untuk suami tercinta yang siang ini menjadi imam shalat Dzuhur-nya.
Berkali-kali hati Amelia bersyukur mengucapkan kalimat hamdalah.
Soleh juga mencium pucuk kening Amelia dengan lembut. Membuat hati Sang Istri menghangat berbalut kebahagiaan.
"Bang..., terima kasih banyak atas perhatian Abang padaku. Aku sayang banget sama Abang..."
Soleh tersenyum. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya sepatah pun kecuali suara seruput kopi panas yang nikmat di siang bolong yang menyengat.
"Amel..." Akhirnya keluar juga suara Soleh setelah hampir setengah jam dia asyik dengan kopi dan pisang gorengnya. Menemani lamunan kosongnya tentang Juriah yang masih gadis tetapi sudah melahirkan itu.
"Iya, Bang?"
"Apakah kamu tidak memikirkan keadaan kita di masa tua nanti?"
"Maksud Abang?"
"Bagaimana kalau kita nanti hanya berdua saja sampai kakek nenek? Bagaimana jika kita benar-benar tidak diberi keturunan oleh Allah SWT sampai maut yang memisahkan?"
Amelia hampir tersedak air ludahnya sendiri.
"Ma_maksudnya?..."
"Siapa yang akan mengangkat tubuh kita nanti kalau kita mati? Lalu siapa yang mengadzaninya juga kalau bukan anak, darah daging kita sendiri?"
"Mengapa berfikir terlalu jauh begitu, Bang? Semua sudah Allah yang tentukan. Percayalah!"
"Dan kamu pasrah saja, padahal Allah sudah memberikan banyak tanda?"
"Aku tidak mengerti maksud Abang..."
"Ck. Ya, Aku lupa, kamu hanya sekolah sampai SMP saja. Jadi wajar, otakmu tidak sampe ke sana!"
Deg.
Nyeri jantung Amelia. lagi-lagi Soleh mencemooh pendidikannya yang hanya sebatas Sekolah Menengah Pertama saja.
"Sekali lagi Aku meminta, izinkan Aku menikahi gadis yang bukan perawan itu, Amelia."
Dug dug dug dug dug dug dug dug dug
Jantung Amel bergemuruh.
Berdebar sangat kencang hingga bibirnya bergetar menahan kegundahan hati yang semakin nyata di raut wajah serta tatapan mata yang kembali berkaca-kaca.
"Abang sudah siap untuk poligami?" tanya Amelia setelah berhasil menguasai emosi jiwanya.
"Ini bukan masalah siap atau tidak siap, Amelia. Ini masalah tugas, hak dan kewajiban."
Amelia berusaha menahan diri untuk tidak nyerocos mengomentari perkataan Sang Suami. Dia belajar sabar. Menunggu Soleh menyampaikan niat dan tujuannya untuk melakukan poligami.
"Apa Abang merasa tertekan oleh Bapak dan Ibu? Apa..., Abang merasa terbebani oleh desakan mereka?"
"Itu salah satunya. Tetapi yang utama adalah niatku membahagiakan semua orang. Termasuk kamu, Amelia!"
"Abang menikah lagi, apakah itu suatu kebahagiaan untukku? Begitukah?"
Jatuh lagi air mata Amelia. Soleh mulai muak melihat istrinya yang teramat cengeng padahal Ia belum sepenuhnya menjalankan pernikahan kedua.
"Ck. Hapus air matamu! Kita sedang diskusi, bukan sedang memberimu pukulan dan tamparan!"
"Tapi perkataan Abang sudah merupakan pukulan dan tamparan yang sangat keras, Bang!"
"Berarti kau wanita lemah! Tidak seperti gadis itu! Yang kuat menjalani hidupnya yang sudah Tuhan gariskan sebagai perempuan yang dicemooh warga sekampung karena diperk+sa, hamil dan melahirkan anak dari lelaki biadab yang menggagahinya!"
Amelia memejamkan mata.
Soleh sudah mulai memuji-muji perempuan lain selain dirinya. Salahkah jika Amelia emosi dan cemburu buta.
Prak
Tangan Amel menggebuk meja makan hingga kopi Soleh yang tinggal setengahnya pun tumpah dan terguling gelasnya.
Soleh terdiam.
Amelia lebih kaget lagi dengan tindakannya yang agak brutal.
"Dia cantikkah?"
Soleh tak bergeming.
Pertanyaan Amelia tidak segera digubrisnya.
"Apakah gadis itu cantik?" tanya Amelia lagi. Kali ini istrinya itu sampai mendekatkan wajahnya ke wajah Soleh. Kedua bola mata mereka saling beradu.
"Cantikkah?"
Soleh mendengus dan beranjak dari duduknya.
"Tunggu! Bang, jawab pertanyaanku! Kalau dia cantik, lebih cantik dari Aku,... Aku terima kekalahanku!"
Kini Soleh kembali menatap Amelia. Dengan tangan kokoh menangkap dagu lancip sang istri yang dulu begitu Ia kagumi.
"Ini bukan masalah kalah atau menang! Ini adalah hak dan kewajiban seorang hamba Allah yang dilahirkan ke dunia lewat campur tangan kedua orang tua!"
"Betul. Seratus persen betul perkataan mu. Tidak ada manusia yang lahir tanpa orang tua kecuali nabi Isa AS. Tapi sekali lagi Aku tekankan, apa kamu sanggup melakukan keadilan jika sampai terjadi poligami?"
"Siti Aisyah pun yang seorang wanita mulia, cantik, soleha, berbudi pekerti luhur dan memiliki banyak kelebihan pun ikhlas menerima takdir-Nya yang harus dipoligami Rosulullah!"
"Stop, Bang! Kamu sudah kebablasan karena berani membandingkan dirimu dengan Baginda Rosulullah dan membandingkan Aku dengan Siti Aisyah RA!"
"Untuk itu kita sekarang harus belajar ikhlas! Belajar tawaddu dari beliau! Semoga kita bisa jadi lebih baik lagi kedepannya dengan semua ujian ini!"
"Kamu bilang ini ujian? Ujian apa, Bang? Ujian kesetiaan? Ujian rumah tangga? Ujian campur tangan mertua yang ingin hancurkan pernikahan kita?"
"Lalu maumu apa, Amelia? Apa kamu bisa menjamin kita bisa bayarkan semua hutang bapakku pada bapaknya si Juriah itu? Atau... kamu bisa menjamin hidupku kedepannya juga jika dalam waktu tiga bulan kedepan Aku masih sebagai seorang pengangguran? Hahh?!?"
Amelia kembali memikirkan ucapan Soleh suaminya.
"Dengarkan penjelasanku, Amelia. Aku justru memikirkan dirimu. Memikirkan kita kedepannya. Sudah pernah kukatakan sebelum Aku pulang ke kampung halaman. Ini hanyalah sebuah kesepakatan antara kita bertiga. Cobalah pakai otakmu untuk berfikir! Aku hanya minta kesediaanmu berbagi selama tiga tahun. Hanya tiga tahun, Amelia. Dan kita lanjutkan hidup setelah tiga tahun itu dengan tenteram dan damai. Hanya Kau dan Aku! Kita berdua!"
Benar juga. Benar juga semua ucapan Bang Soleh. Tapi, tapi apakah Aku harus siap merelakan berbagi suami dengan perempuan lain meskipun suamiku menjamin hidupku kedepannya?
Soleh mencium bibir merah Amelia yang basah terkena lelehan air mata.
"Bagaimana mungkin Aku bisa mencintai wanita lain seperti Aku mencintaimu, Amelia! Bagaimana bisa... setelah begitu banyaknya ujian dan kesetiaan kita lewati bersama?! Kamu tidak mempercayai Aku yang telah sepuluh tahun bersamamu dalam suka maupun duka?"
Amelia tak percaya, Soleh menitikkan air mata.
Sang Suami me++mat bibirnya lagi dengan penuh nafsu dan syahw+t yang membara.
Soleh memanggul tubuhnya menuju ranjang tidur kayu mereka yang mulai rapuh. Hingga terdengar suara decitannya yang menyakitkan telinga.
Pria itu melepaskan satu persatu lembaran penutup tubuh istrinya. Menyentuh lembut ceruk lehernya hingga sang istri menggeliat terpancing bir+h+nya.
Bibir Soleh makin gencar menelusuri lekukan tubuh Amelia hingga memuncah keinginan bercinta. Mulai dari pucuk kepala, hingga turun terus dan berdiam sebentar di atas puncak gunung kembar yang membusung.
Tangan kanannya pun turut bergerilya mengusap lembut sekali bagian sensitif, hingga perlahan basah rembes melewati rongga-rongga yang sudah cukup lama tidak tersiram air kenikmatan. Puncaknya adalah mereka melakoni hubungan halal sepasang suami istri.
Siang itu menjelang sore, ranjang kayu tempat tidur mereka berderit berkali-kali. Menjadi saksi bisu penyatuan dua insan yang sedang memadu kasih.
Seperkian menit, Amelia lupakan kesedihan ucapan Soleh yang baru saja meminta izinnya untuk menikah lagi.
Yang ada kini hanyalah rasa ingin menumpahkan seluruh kebahagiaan kepada Sang Suami tercinta, sehingga melupakan sejenak beban berat yang keluarganya berikan beberapa hari ini.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
cerita poligami memang bikin hati nyesek
2023-04-26
0
Video Song
Palingan juga suaminya yg mandul, atau gak kena guna2, atau gak authornya yg sesat. 😁🤣🤣🤣🤣
2023-03-01
1