Amelia akhirnya dengan sangat malu menunggu pembeli lain hingga selesai berbelanja demi untuk bernegosiasi dengan Ibu Saodah, pemilik warung yang tak jauh dari rumah kontrakannya.
"Ya ampun, Neng! Ga apa-apa, sok aja. Kayak yang baru kenal aja. Ibu percaya koq sama Neng Amel. Selama ini juga gak pernah punya hutang khan, silakan, ambil aja butuhnya apa. Biar Ibu buatkan bon. Akhir bulan bisa di bayar! Banyak koq tetangga lain yang ngontrak pada begitu! Asalkan bayarnya bener, pasti ibu kasih ngutang!"
Ini yang paling Amelia cemaskan. Berhutang lima puluh ribu rupiah, tetapi obrolan jadi panjang kali lebar meleber kemana-mana.
Tetapi daripada Ibu serta Bapak Mertua lebih panjang ocehannya dari Bu Saodah si pemilik warung, Amelia hanya bisa pasrah menerima nasib ini.
Selepas dari warung, Amelia segera memasak untuk menjamu makan siang Mariana serta Anta yang sedang beristirahat di kamar tidur.
Sebenarnya Amelia sudah bertekad untuk puasa bahkan sudah membaca niat sehabis sholat subuh. Tetapi akhirnya dibatalkan karena pastinya setelah makan, Ibu mertuanya akan meminta Amel untuk memijat seluruh tubuh.
Amelia butuh tenaga yang besar karena pastinya keringat akan jatuh bercucuran di pori-pori kulit sekujur badan.
Jika Ia teruskan berpuasa, pasti tenaganya lemah dan bentakan Mariana akan langsung menghujam di jantung. Amel tidak inginkan itu.
Dia berharap kedua mertuanya hanya menginap satu dua malam seperti biasanya setelah mendapat uang sangu dari putra pertama mereka.
Benar saja, selesai makan siang Mariana sudah memberinya kode.
Wanita paruh baya itu terlihat menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Kemudian mengeluhkan pinggangnya yang sakit dengan alasan terlalu capek bekerja di rumahnya.
Padahal posisinya sama seperti Amelia. Hanya IRT yang tidak bekerja. Begitu juga dengan Anta. Sejak kena PHK massal tujuh tahun yang lalu di perusahaan tekstil tempatnya bekerja, bapak mertua Amelia itu tidak lagi bekerja.
Mereka hanya keliling memungut uang dari keempat putra-putrinya yang sudah menikah dengan diktator seorang wajib memberikan uang sangu sebesar lima ratus ribu per bulan untuk biaya hidup mereka berdua.
Soleh sang suami adalah putra pertama mereka, mau tidak mau harus jadi pelopor anak yang baik bagi ketiga adik-adiknya.
Amelia juga tidak bisa melarang. Apalagi Anta memberikan sebuah dalil yang isinya kalau anak laki-laki masih memiliki kewajiban membahagiakan orang tua dan memberi nafkah lahir meskipun sudah menikah.
Selama sepuluh tahun Amelia bungkam meskipun sebenarnya hati kecilnya ingin berontak.
Sebagai seorang istri, Ia harus bisa menempatkan diri dengan baik. Menjadi istri yang penurut, dan juga tidak tambah membebani Soleh. Apalagi suaminya adalah pria yang setia dan tidak suka berbuat yang aneh-aneh selama ini.
Ditambah dia pun tidak bekerja. Hanya diam di rumah dan mendoakan agar sang suami senantiasa sehat dan diberikan rezeki yang berlimpah dari Allah SWT.
Hari itu Amelia harus sediakan ekstra tenaga serta hati yang luas seluas samudera.
Perkataan ibu mertuanya yang julid, serta ocehan bapak mertua yang pedas mau tidak mau harus Amelia terima.
Sebagai menantu yang baik, Ia mencoba legowo mendengar ocehan serta sindiran keduanya yang semakin menyakitkan.
Pukul setengah enam menjelang malam, Solehudin pulang dari bekerja.
Wajahnya terlihat lelah dan tubuhnya juga tampak lemas karena pekerjaan yang menumpuk dan tekanan atasan yang kian besar.
"Amel! Apa kamu ini tidak bisa mengurus suami sampai keadaannya jadi jauh lebih tua dari umurnya?" semprot Anta merasa kasihan pada putra sulungnya itu.
Amelia yang canggung semakin tergagap. Untungnya Soleh segera mengambil alih pembicaraan dengan mengatakan kalau dirinya seperti ini bukanlah tekanan dari Amelia sebagai seorang istri. Melainkan dari pekerjaannya yang kian berat.
Amelia berusaha memperlihatkan caranya mengurus dan memberikan kenyamanan kepada Solehudin dihadapan Mariana dan Anta.
Harapannya adalah agar mertuanya bisa menilai sendiri kalau keluarga kecil mereka dalam keadaan baik-baik saja selama ini, walau belum ada seorang anak yang hadir menjadi perekat hubungan suami istri.
Selepas makan malam pukul tujuh, kedua pasangan suami istri beda generasi itu duduk-duduk mengobrol santai di teras rumah dengan camilan dan segelas kopi serta teh manis sebagai minumannya.
"Soleh, kamu sudah berumah tangga selama sepuluh tahun!"
"Iya, Pak!"
"Bapak sama Ibu ada yang mau dibicarakan secara serius kali ini!"
Solehudin duduk tegak. Ia mulai menyimak ucapan bapaknya dengan seksama. Begitu juga Amelia, yang sedang mengupas mangga simanalagi yang Soleh beli di perjalanan pulang dari kerja.
"Soleh!"
"Ya, Pak?"
"Menikahlah lagi!"
Amelia merasakan sakit di bagian ulu hatinya mendengar perkataan Bapak mertuanya itu.
Solehudin, sang suami justru tertawa mendengar Anta bicara.
"Mbok ya kalo guyon tuh yang elegan dikit lah, Pak!" timpal putra sulungnya itu dengan gaya khasnya.
Solehudin memang pribadi yang humoris dan suka sekali bercanda. Temannya banyak, jiwanya juga lebih rileks dan lebih lepas dibandingkan Amelia yang seorang introvert.
Tentu saja penerimaan ucapan bapaknya ditanggapi dengan santui sekali, berbeda dengan Amelia yang langsung gemetar dan ketar-ketir setelah mendapati perkataan sang bapak mertua.
"Aku ini serius, Solehudin!"
Suara Anta kali ini lebih tegas dengan nada bicara yang kuat.
Soleh masih tersenyum-senyum menanggapinya.
"Ya lucu saja kalau bapak bilang serius! Selama ini bapak juga suka guyon bukan? Suka godain Mbakyu Karti, tukang jamu keliling yang sering menawarkan jamu kuat buat bapak tapi kenyataannya hanya guyonan saja!" balas Soleh membuat Mariana, ibunya mendelik.
"Hahaha...!" sontak Soleh tertawa lepas.
Amelia hanya menunduk, melanjutkan kembali tangannya mengupas kulit buah mangga. Lalu mengirisnya masuk pinggan yang ia sediakan.
"Pulanglah dulu ke kampung akhir bulan ini! Aku dan bapaknya Siti Juriah sudah membicarakan pernikahan kalian yang akan digelar awal bulan depan!"
"Hahh???"
Soleh terperangah. Amelia memekik kaget. Jari tangannya berdarah terkena mata pisau yang tajam. Ia pun menghentikan kegiatan mengiris buah mangga dan bergegas ke dapur mencuci tangannya yang mulai berlumuran darah.
"Amel!"
Soleh beranjak dari duduknya. Ia berjalan cepat menuju Amelia yang sedang mencuci tangannya di bawah kucuran air mengalir dari kran wastafel dapurnya.
Soleh meraih jemari Amelia. Mengh+sap jari telunjuk kanan Sang istri yang luka kena sayatan tajamnya pisau dapur.
"Ga apa-apa koq, Bang! Cuma luka kecil!" tutur Amelia dengan senyuman.
Bukan tanganku yang terluka parah, Bang! Tapi hati ini, tersayat oleh ucapan bapakmu yang tidak masuk akal itu! Gumam hati kecilnya. Berharap Sang Suami mendengar dan segera menjawab bapak mertuanya yang telah membuat keputusan tanpa kompromi lebih dahulu itu.
"Hei, Soleh! Kamu koq ga dengerin ucapan bapak?!" tegur Anta marah karena anaknya terlihat acuh cuek bebek dengan ucapannya.
"Apa sih, Pak?! Amel nih tangannya berdarah kena pisau! Cobalah untuk bersimpatik sedikit!" jawab Soleh mulai gem+s dengan perkataan Anta, bapaknya.
"Yaelah! Tibang kena pisau sedikit, sudah manja! Bagaimana kalau masuk ruang operasi dibelek-belek itu kulit. Cengeng betul jadi perempuan!" Kini Mariana ikutan nimbrung menimpali komentar Soleh soal luka sayat di tangan Amelia.
"Hhh... Ibu, tolong jangan jadi provokator!"
Mata Anta membelalak.
"Soleh! Jangan bentak Ibumu karena lebih membela perempuan yang membuat hidupmu susah terus itu!"
"Bang!..."
Amelia menggeleng pelan. Berharap sang suami tidak lanjutkan ucapan yang semakin membuat pusing kepalanya.
Soleh menghela nafas. Hanya Amelia yang bisa meredam emosinya. Dan dia kembali duduk di sebelah Ibu serta Bapaknya.
Berdiskusi dengan hati setengah karena obrolan ini mulai meresahkan jiwa kedua pasutri muda itu.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓
maknya soleh berrti kl kena piso ga meringis ya mgkn bs jadi dia hepi kegirangan atau bisa salto
2023-04-01
0
Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓
gemas kali ya 😄
2023-04-01
0
Dewi
lanjut kak! ❤️
2023-03-18
1