Terjebak Cinta Mbak-Mbak
...Hai, hai .......
...Ketemu lagi sama othor nggak keren 😅...
...Kali ini aku ceritain tentang kehidupannya Abizar sama Kezia, ya. Disarankan baca dulu novel 'Magic Love' agar kalian lebih paham sama alurnya. Ikutin sampai tamat, ya. Haturnuhun 🙏🥰...
...Happy Reading...
...****************...
"Yeay ... kita lulus!" Sorak sorai terdengar begitu ramai di depan papan pengumuman kelulusan di sebuah universitas negeri di ibu kota.
"Bi, kita rayain kelulusan ini, yuk!" ajak seorang teman Abizar yang bernama Sona.
"Ke mana?" tanya Abizar waspada. Ia tidak ingin mengeluarkan uang banyak karena harus berfoya-foya.
"Kita makan di restoran yang paling enak dan mahal makanannya, gimana?" usul teman Abizar yang lainnya. Mereka berempat, terdiri; Abizar, Sona, Agung, dan Komar. Empat sekawan, tetapi tidak pernah jajan bareng. Lantaran Abizar selalu memisahkan diri. Ia takut jika teman-temannya itu akan memintanya untuk membayar. Ia lebih baik pulang, dan makan di kafenya secara gratisan. Begitulah seorang Abizar yang sangat perhitungan dengan uang.
"Bayarnya gimana?" Abizar tampak mengernyitkan keningnya.
"Yaelah ... bayar masing-masing, lah. Takut banget kita minta bayarin sama lo!" tukas Agung. Ia sangat tahu kalau temannya itu terlalu perhitungan atau bakhil dalam hal mentraktir.
"Kalian aja, deh, yang pergi. Gue nggak ada—" Kalimat Komar terhenti saat Agung menyikut bahunya, dan memberikan kode sebuah kedipan mata.
"Ikut aja!" kata Agung sambil menaikkan sebelah alisnya. Komar hanya terdiam. Ia masih mencerna rencana apa yang temannya sembunyikan.
"Gimana, Bi? Jangan bilang kalau lo nggak punya duit juga! Lo, kan, anak orang kaya. Kafe lo aja gede. Tapi kita nggak mau makan di kafe lo. Udah bosen."
"Iya, ayo! Siapa takut?" seru Abizar menanggapi perkataan Sona. Kali ini ia setuju, karena mungkin ini adalah masa terakhirnya di kampus itu.
"Gitu, dong. Kapan lagi kita bisa makan bareng, kan? Setelah lulus nanti, mungkin kita bakalan sibuk sendiri-sendiri."
Mereka berempat pun pergi ke suatu restoran terkenal di kota itu. Tiba di sana setelah berkendara dengan motor sport masing-masing tiga puluh menit lamanya. Hanya Komar yang menumpang di motornya Agung. Lelaki itu memang berasal dari keluarga biasa saja.
"Gue mau makan makanan yang paling mahal." Agung langsung berkomentar ketika mereka sudah membuka menu makanan yang tersedia.
"Gue juga," sahut Sona, "lo gimana, Mar?" tanyanya pada Komar yang masih bingung mencari menu makanan yang paling murah di buku menu tersebut.
"Gue yang—"
"Udah, samain aja sama gue." Agung langsung menyela. Dia menggagalkan niat Komar untuk memilih makanan termurah di restoran tersebut.
"Tapi—" Komar tak berani membantah lagi, saat melihat pelototan mata dari Agung.
"Gue juga samain aja," kata Abizar yang merasa santai dengan harga makanan di sana. Dia adalah anak konglomerat, uang segitu tidak ada apa-apanya jika untuk keperluannya sendiri.
Perusahaan keluarga Abizar berhubungan dengan pemberdayaan finansial yang mencakup berbagai layanan keuangan. Perusahaan induk perbankan yang dikelola oleh papanya, sudah memiliki ratusan cabang di berbagai negara, dan berpusat di Jepang sana. Bahkan aset kerjasamanya sudah merambah ke berbagai negara Asia. Dimulai dari penanaman modal, sampai manajemen aset yang dikumpulkan untuk menguasai indeks saham.
Abizar bukannya tidak ingin menggeluti bisnis sang papa, ia hanya perlu menyiapkan dirinya saja. Setelah lulus kuliah, mungkin dirinya juga akan belajar berbisnis dengan sang papa di Negeri Sakura. Sampai saat ini, Abizar masih betah tinggal di Indonesia.
Teman-temannya tahu semua itu. Meskipun lelaki itu sedikit low profile, tetapi kafe yang dia punya sangat terkenal di kalangan para mahasiswa. Walaupun bukan kafe miliknya saja, ada tiga orang lain yang berperan sebagai pemilik kafe tersebut.
Setelah beberapa saat kemudian, sesi makan mereka pun selesai. Abizar dan teman-temannya sudah merasa kenyang.
"Gue ke toilet bentar, ya," pamit Agung setelah mengelap bibirnya dengan tisu, lantas menarik tangan Komar agar mengikuti dirinya, "lo ikut gue! Gue takut nyasar," serunya yang tidak mendapatkan penolakan dari Komar, walaupun dengan raut bingung yang terpancar.
Lima menit kemudian, Sona pun menginterupsi hal yang sama. Kini, Abizar hanya duduk sendiri. Menanti teman-temannya sambil main game di ponselnya yang canggih. Hingga kedatangan seorang pelayan yang membawa bill pembayaran di tangannya, membuat Abizar tersentak dan langsung mendongakkan pandangan. Pelayan itu memberikan bill di tangannya kepada Abizar. Totalnya sekitar lima jutaan.
"Sebentar, ya, Mbak! Teman-teman saya belum kembali dari toilet," kata Abizar sambil menampilkan senyuman.
"Maaf, Mas. Tapi teman-temannya udah pada pulang, dan mereka bilang Mas yang akan bayar semuanya."
Abizar tentu saja terkejut, seperti tersambar petir di siang bolong. Kedua matanya melotot tajam, menatap pelayan tersebut. "Apa? Mereka udah pulang? Jadi saya yang harus bayar semuanya?" cecar Abizar sambil menunjuk piring kosong yang belum dibereskan. Pelayan itu menganggukkan kepalanya, mengiyakan.
"Nggak bisa gitu, dong, Mbak. Saya keberatan. Teman-teman saya bilangnya mau bayar sendiri-sendiri. Saya mau bayar punya saya saja kalau gitu." Abizar mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan. Ia berniat membayar makanan yang dimakannya saja, "berapa total punya saya? Tadi saya makan yang ini, ini, dan ini," imbuh Abizar sambil menunjuk bill yang ditulis oleh pelayan.
"Maaf, Mas, nggak bisa. Mas harus tetap bayar semuanya," tolak pelayan itu.
"Kenapa nggak bisa? Yang makan, kan, mereka!" Abizar meninggikan suaranya. Membuat pelayan itu sedikit takut kepadanya.
"Ada apa ini?"
Keberanian Abizar yang sudah menggunung tiba-tiba menciut, saat pandangannya melihat sosok kekar datang menghampiri mejanya.
"Ini, Pak. Mas ini nggak mau bayar," terang pelayan pada seorang laki-laki yang merupakan atasannya.
"Eh, bukan nggak mau bayar, tapi saya cuma nggak bisa bayar semuanya. Soalnya bukan saya aja yang makan, tapi teman-teman saya juga," tukas Abizar menjelaskan.
"Tapi teman-teman Mas ini sudah pulang, Pak. Mereka berpesan kalau Mas ini yang bakalan bayar," jelas pelayan itu lagi. Sang atasan pun mengerti, karena hal ini seringkali terjadi. Ia pun menoleh pada Abizar lagi.
"Saya tidak mau tahu, Pak. Anda harus bayar semuanya. Jika tidak, saya akan laporkan Anda pada polisi." Pemilik restoran itu pun mengancam Abizar.
Abizar tidak bisa berkutik lagi setelah mendengar ancaman tersebut. Ia pun terpaksa mengeluarkan koceknya lebih dalam untuk membayar semuanya. Dalam hatinya ia mengumpat kasar, dan mengutuk teman-temannya sendiri. Berani-beraninya mereka menipu Abizar seperti ini.
*****
"Hey, Bi."
Kedatangan Abizar ke kafe disambut oleh teman sekaligus saudara jauhnya yang bernama Devan. Mereka sama-sama pemegang saham di kafe tempat tinggal Abizar sekarang. Setelah ditipu teman-temannya, Abizar memutuskan kembali ke kafe dengan keadaan kesal dan uring-uringan.
Abizar melirik seorang perempuan yang usianya kira-kira sebaya dengan saudaranya tersebut. Lebih tua darinya sekitar enam tahun. Perempuan itu tengah duduk di sebelah Devan, dan terlihat menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas kosong. Sepertinya hatinya sedang kacau.
Kaki Abizar melangkah mendekati Devan dan temannya. Pandangannya masih tertuju pada perempuan asing yang baru pertama kali dia lihat. "Lo bawa cewek ke sini, Bang? Gue laporin Bang Alfath, loh. Tempat rahasia kita dipakai buat mesum sama Bang Devan."
Uhuk! Uhuk!
Perempuan yang dimaksudkan terbatuk mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Abizar. Minuman haram tersebut baru sedikit masuk ke kerongkongannya. Hatinya yang sedang panas, seolah kembali terbakar oleh ucapan Abizar. "Hey, anak kecil! Kalau ngomong dijaga, ya! Aku di sini cuma numpang minum. Devan juga mau pulang," sembur perempuan itu memarahi Abizar.
"Eh, siapa yang anak kecil? Gue?" Abizar menunjuk wajahnya sendiri.
"Iyalah, siapa lagi?" Ucapan perempuan itu semakin menyulut api. Abizar merasa sakit hati.
"Woy! Napa jadi berantem, si?" Devan menjadi penengah dan melerai pertikaian yang hampir saja terjadi.
Setelah semuanya terdiam, Devan menepuk pundak Abizar lalu berkata, "Gue nitip dia, ya! Kalau dia mabuk tolong anterin dia pulang."
"Aku nggak bakalan mabuk." Perempuan itu terdengar menyanggah.
"Iya ... gue, kan, bilangnya kalau," tegas Devan.
"Gue juga ogah nganterin dia! Kenapa nggak lo aja, sih, yang anterin?" tolak Abizar cepat. Pasalnya, ia tidak mau direpotkan oleh seorang mbak-mbak yang mabuk minuman. Hatinya sudah cukup kesal dengan kelakuannya teman-temannya tadi. Abizar tidak mau menambah rasa kesalnya lagi. Ia merasa ini adalah hari kesialannya.
"Gue ada perlu mendadak. Nyokap nyuruh gue pulang," seru Devan dengan nada pelan.
"Yaelah, bikin repot aja, sih," dengus Abizar.
"Lo anterin dia pulang, nanti gue kasih lo imbalan," titah Devan memberikan penawaran kepada Abizar. Jika saja Alfath tidak sedang ada urusan keluarga. Devan tidak mungkin meminta bantuan pada lelaki tajir, tetapi perhitungan ini. Alfath adalah pemilik saham ketiga di antara empat orang yang menanam saham di sana. Lebih tepatnya, lelaki itu berperan sebagai koki terhebat yang mereka punya. Sikap Alfath lebih dewasa, karena memang usia Abizar yang paling muda di antara mereka.
"Imbalannya apa dulu?" tanya Abizar sedikit tertarik. Semoga saja bisa menggantikan uangnya yang harus keluar gara-gara membayar makanan tadi.
"Pokoknya ada. Lo pasti suka," ujar Devan, lalu mengambil kunci mobilnya di atas meja dekat minuman Kezia. "Gue pulang dulu. Emak gue udah nunggu," pamit Devan.
"Zee, pulang sama Abi, ya. Jangan nyetir sendiri!" Devan beralih pada perempuan yang bernama Kezia, tetapi tidak mendapatkan respon apa-apa.
...****************...
Next 👉
Jangan lupa like, gift, dan komentarnya 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
mbak_miss38
Abizar anak konglomerat tapi pelit 😭, duit lima jeti kagak ada apa-apanya keles, gak bakalan miskin
2023-06-10
0
Isma Ismawati
Semangat kakak
2023-06-10
1
AdindaRa
Awal ceritanya menarik banget kak. 😍
2023-06-10
0