...Hai, hai .......
...Ketemu lagi sama othor nggak keren 😅...
...Kali ini aku ceritain tentang kehidupannya Abizar sama Kezia, ya. Disarankan baca dulu novel 'Magic Love' agar kalian lebih paham sama alurnya. Ikutin sampai tamat, ya. Haturnuhun 🙏🥰...
...Happy Reading...
...****************...
"Yeay ... kita lulus!" Sorak sorai terdengar begitu ramai di depan papan pengumuman kelulusan di sebuah universitas negeri di ibu kota.
"Bi, kita rayain kelulusan ini, yuk!" ajak seorang teman Abizar yang bernama Sona.
"Ke mana?" tanya Abizar waspada. Ia tidak ingin mengeluarkan uang banyak karena harus berfoya-foya.
"Kita makan di restoran yang paling enak dan mahal makanannya, gimana?" usul teman Abizar yang lainnya. Mereka berempat, terdiri; Abizar, Sona, Agung, dan Komar. Empat sekawan, tetapi tidak pernah jajan bareng. Lantaran Abizar selalu memisahkan diri. Ia takut jika teman-temannya itu akan memintanya untuk membayar. Ia lebih baik pulang, dan makan di kafenya secara gratisan. Begitulah seorang Abizar yang sangat perhitungan dengan uang.
"Bayarnya gimana?" Abizar tampak mengernyitkan keningnya.
"Yaelah ... bayar masing-masing, lah. Takut banget kita minta bayarin sama lo!" tukas Agung. Ia sangat tahu kalau temannya itu terlalu perhitungan atau bakhil dalam hal mentraktir.
"Kalian aja, deh, yang pergi. Gue nggak ada—" Kalimat Komar terhenti saat Agung menyikut bahunya, dan memberikan kode sebuah kedipan mata.
"Ikut aja!" kata Agung sambil menaikkan sebelah alisnya. Komar hanya terdiam. Ia masih mencerna rencana apa yang temannya sembunyikan.
"Gimana, Bi? Jangan bilang kalau lo nggak punya duit juga! Lo, kan, anak orang kaya. Kafe lo aja gede. Tapi kita nggak mau makan di kafe lo. Udah bosen."
"Iya, ayo! Siapa takut?" seru Abizar menanggapi perkataan Sona. Kali ini ia setuju, karena mungkin ini adalah masa terakhirnya di kampus itu.
"Gitu, dong. Kapan lagi kita bisa makan bareng, kan? Setelah lulus nanti, mungkin kita bakalan sibuk sendiri-sendiri."
Mereka berempat pun pergi ke suatu restoran terkenal di kota itu. Tiba di sana setelah berkendara dengan motor sport masing-masing tiga puluh menit lamanya. Hanya Komar yang menumpang di motornya Agung. Lelaki itu memang berasal dari keluarga biasa saja.
"Gue mau makan makanan yang paling mahal." Agung langsung berkomentar ketika mereka sudah membuka menu makanan yang tersedia.
"Gue juga," sahut Sona, "lo gimana, Mar?" tanyanya pada Komar yang masih bingung mencari menu makanan yang paling murah di buku menu tersebut.
"Gue yang—"
"Udah, samain aja sama gue." Agung langsung menyela. Dia menggagalkan niat Komar untuk memilih makanan termurah di restoran tersebut.
"Tapi—" Komar tak berani membantah lagi, saat melihat pelototan mata dari Agung.
"Gue juga samain aja," kata Abizar yang merasa santai dengan harga makanan di sana. Dia adalah anak konglomerat, uang segitu tidak ada apa-apanya jika untuk keperluannya sendiri.
Perusahaan keluarga Abizar berhubungan dengan pemberdayaan finansial yang mencakup berbagai layanan keuangan. Perusahaan induk perbankan yang dikelola oleh papanya, sudah memiliki ratusan cabang di berbagai negara, dan berpusat di Jepang sana. Bahkan aset kerjasamanya sudah merambah ke berbagai negara Asia. Dimulai dari penanaman modal, sampai manajemen aset yang dikumpulkan untuk menguasai indeks saham.
Abizar bukannya tidak ingin menggeluti bisnis sang papa, ia hanya perlu menyiapkan dirinya saja. Setelah lulus kuliah, mungkin dirinya juga akan belajar berbisnis dengan sang papa di Negeri Sakura. Sampai saat ini, Abizar masih betah tinggal di Indonesia.
Teman-temannya tahu semua itu. Meskipun lelaki itu sedikit low profile, tetapi kafe yang dia punya sangat terkenal di kalangan para mahasiswa. Walaupun bukan kafe miliknya saja, ada tiga orang lain yang berperan sebagai pemilik kafe tersebut.
Setelah beberapa saat kemudian, sesi makan mereka pun selesai. Abizar dan teman-temannya sudah merasa kenyang.
"Gue ke toilet bentar, ya," pamit Agung setelah mengelap bibirnya dengan tisu, lantas menarik tangan Komar agar mengikuti dirinya, "lo ikut gue! Gue takut nyasar," serunya yang tidak mendapatkan penolakan dari Komar, walaupun dengan raut bingung yang terpancar.
Lima menit kemudian, Sona pun menginterupsi hal yang sama. Kini, Abizar hanya duduk sendiri. Menanti teman-temannya sambil main game di ponselnya yang canggih. Hingga kedatangan seorang pelayan yang membawa bill pembayaran di tangannya, membuat Abizar tersentak dan langsung mendongakkan pandangan. Pelayan itu memberikan bill di tangannya kepada Abizar. Totalnya sekitar lima jutaan.
"Sebentar, ya, Mbak! Teman-teman saya belum kembali dari toilet," kata Abizar sambil menampilkan senyuman.
"Maaf, Mas. Tapi teman-temannya udah pada pulang, dan mereka bilang Mas yang akan bayar semuanya."
Abizar tentu saja terkejut, seperti tersambar petir di siang bolong. Kedua matanya melotot tajam, menatap pelayan tersebut. "Apa? Mereka udah pulang? Jadi saya yang harus bayar semuanya?" cecar Abizar sambil menunjuk piring kosong yang belum dibereskan. Pelayan itu menganggukkan kepalanya, mengiyakan.
"Nggak bisa gitu, dong, Mbak. Saya keberatan. Teman-teman saya bilangnya mau bayar sendiri-sendiri. Saya mau bayar punya saya saja kalau gitu." Abizar mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan. Ia berniat membayar makanan yang dimakannya saja, "berapa total punya saya? Tadi saya makan yang ini, ini, dan ini," imbuh Abizar sambil menunjuk bill yang ditulis oleh pelayan.
"Maaf, Mas, nggak bisa. Mas harus tetap bayar semuanya," tolak pelayan itu.
"Kenapa nggak bisa? Yang makan, kan, mereka!" Abizar meninggikan suaranya. Membuat pelayan itu sedikit takut kepadanya.
"Ada apa ini?"
Keberanian Abizar yang sudah menggunung tiba-tiba menciut, saat pandangannya melihat sosok kekar datang menghampiri mejanya.
"Ini, Pak. Mas ini nggak mau bayar," terang pelayan pada seorang laki-laki yang merupakan atasannya.
"Eh, bukan nggak mau bayar, tapi saya cuma nggak bisa bayar semuanya. Soalnya bukan saya aja yang makan, tapi teman-teman saya juga," tukas Abizar menjelaskan.
"Tapi teman-teman Mas ini sudah pulang, Pak. Mereka berpesan kalau Mas ini yang bakalan bayar," jelas pelayan itu lagi. Sang atasan pun mengerti, karena hal ini seringkali terjadi. Ia pun menoleh pada Abizar lagi.
"Saya tidak mau tahu, Pak. Anda harus bayar semuanya. Jika tidak, saya akan laporkan Anda pada polisi." Pemilik restoran itu pun mengancam Abizar.
Abizar tidak bisa berkutik lagi setelah mendengar ancaman tersebut. Ia pun terpaksa mengeluarkan koceknya lebih dalam untuk membayar semuanya. Dalam hatinya ia mengumpat kasar, dan mengutuk teman-temannya sendiri. Berani-beraninya mereka menipu Abizar seperti ini.
*****
"Hey, Bi."
Kedatangan Abizar ke kafe disambut oleh teman sekaligus saudara jauhnya yang bernama Devan. Mereka sama-sama pemegang saham di kafe tempat tinggal Abizar sekarang. Setelah ditipu teman-temannya, Abizar memutuskan kembali ke kafe dengan keadaan kesal dan uring-uringan.
Abizar melirik seorang perempuan yang usianya kira-kira sebaya dengan saudaranya tersebut. Lebih tua darinya sekitar enam tahun. Perempuan itu tengah duduk di sebelah Devan, dan terlihat menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas kosong. Sepertinya hatinya sedang kacau.
Kaki Abizar melangkah mendekati Devan dan temannya. Pandangannya masih tertuju pada perempuan asing yang baru pertama kali dia lihat. "Lo bawa cewek ke sini, Bang? Gue laporin Bang Alfath, loh. Tempat rahasia kita dipakai buat mesum sama Bang Devan."
Uhuk! Uhuk!
Perempuan yang dimaksudkan terbatuk mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Abizar. Minuman haram tersebut baru sedikit masuk ke kerongkongannya. Hatinya yang sedang panas, seolah kembali terbakar oleh ucapan Abizar. "Hey, anak kecil! Kalau ngomong dijaga, ya! Aku di sini cuma numpang minum. Devan juga mau pulang," sembur perempuan itu memarahi Abizar.
"Eh, siapa yang anak kecil? Gue?" Abizar menunjuk wajahnya sendiri.
"Iyalah, siapa lagi?" Ucapan perempuan itu semakin menyulut api. Abizar merasa sakit hati.
"Woy! Napa jadi berantem, si?" Devan menjadi penengah dan melerai pertikaian yang hampir saja terjadi.
Setelah semuanya terdiam, Devan menepuk pundak Abizar lalu berkata, "Gue nitip dia, ya! Kalau dia mabuk tolong anterin dia pulang."
"Aku nggak bakalan mabuk." Perempuan itu terdengar menyanggah.
"Iya ... gue, kan, bilangnya kalau," tegas Devan.
"Gue juga ogah nganterin dia! Kenapa nggak lo aja, sih, yang anterin?" tolak Abizar cepat. Pasalnya, ia tidak mau direpotkan oleh seorang mbak-mbak yang mabuk minuman. Hatinya sudah cukup kesal dengan kelakuannya teman-temannya tadi. Abizar tidak mau menambah rasa kesalnya lagi. Ia merasa ini adalah hari kesialannya.
"Gue ada perlu mendadak. Nyokap nyuruh gue pulang," seru Devan dengan nada pelan.
"Yaelah, bikin repot aja, sih," dengus Abizar.
"Lo anterin dia pulang, nanti gue kasih lo imbalan," titah Devan memberikan penawaran kepada Abizar. Jika saja Alfath tidak sedang ada urusan keluarga. Devan tidak mungkin meminta bantuan pada lelaki tajir, tetapi perhitungan ini. Alfath adalah pemilik saham ketiga di antara empat orang yang menanam saham di sana. Lebih tepatnya, lelaki itu berperan sebagai koki terhebat yang mereka punya. Sikap Alfath lebih dewasa, karena memang usia Abizar yang paling muda di antara mereka.
"Imbalannya apa dulu?" tanya Abizar sedikit tertarik. Semoga saja bisa menggantikan uangnya yang harus keluar gara-gara membayar makanan tadi.
"Pokoknya ada. Lo pasti suka," ujar Devan, lalu mengambil kunci mobilnya di atas meja dekat minuman Kezia. "Gue pulang dulu. Emak gue udah nunggu," pamit Devan.
"Zee, pulang sama Abi, ya. Jangan nyetir sendiri!" Devan beralih pada perempuan yang bernama Kezia, tetapi tidak mendapatkan respon apa-apa.
...****************...
Next 👉
Jangan lupa like, gift, dan komentarnya 🙏
...****************...
"Mbak, minumnya jangan banyak-banyak! Nanti kalau mabuk, ribet gue nganterinnya," cetus Abizar setelah Devan pergi dari kafe tersebut.
Kezia melirik ketus, "Terserah aku, lah. Aku akan bayar semua minuman yang aku beli di kafe ini," cetusnya, lalu menenggak satu gelas minuman beralkohol di tangannya. Lidahnya menjulur keluar, lantaran rasa aneh yang menyerang indera perasanya tersebut. Kerongkongannya terasa terbakar. Jujur, baru pertama kali perempuan itu meminum minuman seperti itu. Ia belum terbiasa dengan rasanya. Namun, hal tersebut tak membuat Kezia berhenti. Ia malah menambah minumannya lagi.
"Nggak biasa minum, pengin minum." Abizar tertawa melihat mimik wajah Kezia yang terlihat lucu.
"Bukan urusan kamu. Pergi sana!" ketus Kezia mengusir Abizar.
"Dih, yang harusnya pergi itu, Mbak. Ini kafe punya gue." Abizar melipat tangannya di depan dada.
Kezia mendengkus. Lalu kembali menenggak minuman yang rasanya begitu menyengat, dan kali ini perempuan itu sontak tersedak.
Abizar menarik salah satu sudut bibirnya. Ia tersenyum remeh melihat kerapuhan seorang Kezia. Ia yakin jika perempuan itu sedang ada masalah, tetapi lari pada minuman keras adalah cara penyelesaian yang salah.
"Gue ke kamar dulu, deh. Nanti kalau mau pulang, ketuk aja pintunya. Kamar gue sebelah sana." Abizar menunjukkan letak kamarnya di area privasi kafe tersebut. Tempat itu memang sengaja dibuat sebagai tempat istirahat ke empat pemilik kafe, dengan dilengkapi kamar pribadi masing-masing.
Kezia melayangkan pandang pada arah telunjuk Abizar, lalu berkata 'iya', sebagai jawaban.
Abizar pun pergi, tetapi belum sempat ia menyentuh pintu kamarnya, Kezia memanggilnya lagi. "Ada apa?" tanya Abizar tepat di depan pintu kamarnya.
"Namamu siapa tadi? Abi?" tanya Kezia. Ia sempat mendengar Devan mengatakan nama pemuda tersebut sebelum lelaki itu pergi.
"Iya, nama gue Abi, Abizar," jawab Abizar tanpa bertanya balik siapa nama perempuan itu, karena Abizar sudah tahu dari Devan.
Kezia terdiam sejenak, ia ingat nama Abizar adalah saudara sepupu dari orang yang dia cintai. "Kamu ... sepupunya Juno, kan?" tanyanya terdengar lebih lirih dari sebelumnya.
Abizar mengernyit heran dengan perubahan mimik wajah Kezia yang tiba-tiba muram. Padahal baru beberapa detik yang lalu wajah itu terlihat sangar.
"Iya, memangnya kenapa?" Abizar melayangkan tatapan penuh selidik. Kakinya melangkah mendekati Kezia lagi. Ia terlalu kepo dengan urusan pribadi kakak sepupunya yang bernama Juno itu. Lelaki yang menjadi penyumbang dana terbesar di kafe tersebut, merupakan mangsa empuk untuk Abizar mendapatkan uang tambahan. Mungkin saja ada rahasia di antara mereka, dan rahasia itu bisa dijadikan sebagai bahan ancaman. Kan, lumayan bisa nambah uang jajan. Mumpung perempuan itu sedang setengah sadar.
"Bilangin, ya, sama sepupu kamu itu! Jadi cowok jangan sok kegantengan. Dia itu brengsek!" Kezia sudah mulai berkata ngawur. Sudah beberapa gelas minum beralkohol masuk ke dalam tubuhnya. Hal itu membuat Kezia sedikit kehilangan kesadaran. Ia tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan.
Abizar tersenyum kecut. Sepertinya dia suka arah pembicaraan Kezia. Lelaki itu malah membuat Kezia semakin hanyut dalam halusinasinya. Abizar ikut duduk di sofa dan menuangkan minuman beralkohol pada gelas Kezia yang sudah kosong.
"Ayo, Mbak, minum lagi! Ceritain sama gue, ada masalah apa di antara kalian berdua. Kali aja, kan, gue bisa bantu," seru Abizar dengan seringai tipis di bibirnya.
Kezia yang sudah tersesat dalam keterpurukan lantaran patah hati, hanya bisa meminum minuman haram itu lagi dan lagi. Membuat Abizar bersemangat untuk bertanya sesuatu yang bisa dijadikan kelemahan Juno. Ia pikir hal tersebut bisa menjadi ladang uangnya kelak.
Namun, perkiraan Abizar tidak sesuai ekspektasi. Kezia malah bersikap tidak tahu diri. Semakin perempuan itu mabuk, semakin kacau pula perkataan perempuan tersebut.
"Juno, kenapa kamu jahat banget sama aku?" racau Kezia. Tangannya dengan lancang meraba pipi Abizar. Menyangka jika lelaki itu adalah lelaki yang sudah menyakiti hatinya.
"Apa aku kurang cantik? Atau aku kurang sexy? Kenapa kamu lebih memilih perempuan itu daripada aku, Juno?" racau Kezia lagi.
"Mbak, lo mau ngapain?" Abizar merasa terjebak dengan rencananya sendiri. Dadanya kembang kempis saat tubuh Kezia kini berada di atas pangkuannya. Jantungnya berdebar begitu kencang. Darahnya tiba-tiba berdesir hebat ketika tubuh Kezia semakin merapat. Jakunnya turun naik menelan saliva, saat gesekan di bawah sana membuat yang tadinya tidur jadi terjaga.
"Kamu tahu, Juno. Aku sangat mencintai kamu. Dari dulu ... duluuuuu ... sekali. Tapi kenapa kamu nggak pernah bisa melihat itu? Kamu hanya menganggap aku sebagai sahabatmu. Aku nggak mau!" Kezia kembali duduk tegak, lalu memukul-mukul dada bidang Abizar tanpa tenaga.
Abizar hanya mengerjap. Menatap Kezia dengan tatapan sulit diartikan. Tubuhnya sudah dikuasai oleh sesuatu yang bergejolak. Ia ingin sekali berontak, tetapi sentuhan dari Kezia membuat dirinya sulit untuk menolak. Seolah hati dan akal sehatnya sedang bergulat. Abizar merasa terjebak.
"Aku rela memberikan apa pun buat kamu, Juno. Asalkan kamu mau menerima aku sebagai pacar kamu."
Abizar kembali tersentak saat Kezia meracau seperti itu. Bukan karena kata-katanya, melainkan dari caranya perempuan itu berbicara. Tubuhnya sengaja dirapatkan dengan dada Abizar, sehingga Abizar mampu merasakan embusan napas halus yang keluar dari hidung Kezia. Abizar seolah hanyut dalam buaian penuh rayu. Sebagai seorang lelaki normal, sangatlah wajar jika tubuh Abizar merasakan kenyamanan. Gemuruh rasa yang terbakar dalam aliran darahnya tidak bisa ditahan lagi. Denyut di bagian bawahnya semakin tak terkendali. Apalagi saat tangan Kezia mulai menjelajahi bagian dalam bajunya, membuat pandangan Abizar dipenuhi kabut asmara.
"Mbak, kalau sikap lo kayak gini terus. Jangan salahkan gue kalau terjadi—"
Kalimat Abizar sontak terhenti. Lantaran bibirnya dibekap oleh Kezia dengan bibirnya sendiri. Kedua mata Abizar sontak membulat sempurna, tetapi tak bisa dipungkiri rasa kenyal bibir itu membuatnya terlena.
"Oke, ini lo yang minta, Mbak. Jangan nyesel, ya!" ucap Abizar sambil menekan tengkuk leher Kezia. Membuat pertautan bibir mereka semakin dalam saja.
Kegilaan Kezia semakin mengganas. Akal sehatnya telah digadaikan pada minuman keras. Ia seperti serigala betina yang buas, yang akan menyerang mangsanya sampai dirinya puas.
Begitu pun dengan Abizar. Pikiran lelaki itu sudah diliputi rasa yang membuncah, yang menarik akal sehatnya. Keduanya sama-sama terbuai oleh bisikan sesat menuju kenikmatan sesaat.
Abizar mengikuti gerakan Kezia. Bibir mereka pun saling berbagi saliva. Kezia terus menyerukan nama Juno di setiap gerakannya. Abizar tidak peduli, yang penting hasratnya bisa terpenuhi.
Malam semakin larut ketika mereka melakukan penyatuan. Keduanya seperti terbuai dan tidak cukup sekali menebar kehangatan. Kezia yang masih dikuasai oleh minuman keras terus saja menggoda Abizar dengan berbagai cara.
Abizar tak kalah siap. Ia membopong tubuh Kezia ala brides style untuk memenuhi keinginan perempuan tersebut. "Kita pindah ke kamar!" ucap Abizar dengan semangat yang membara.
Beruntung teman-temannya tidak ada yang datang, sehingga tempat rahasia mereka bisa Abizar gunakan dengan leluasa. Terlebih di kamar pribadinya. Abizar dengan bebas menggeksplor tubuh Kezia. Kejadian itu berulang tanpa jeda, hingga keduanya kelelahan dan tertidur di ranjang yang sama.
...****************...
next👉
Jangan lupa like, gift, dan komentarnya 🙏
...****************...
Malam panas itu pun berlalu dengan peluh yang bercucuran. Hanyut dalam buaian fatamorgana yang berujung penyesalan. Dering suara ponsel yang menggema di ruangan tersebut mengganggu mimpi penghuninya. Namun, tak membuat Abizar terjaga dari tidurnya.
"Aaaaaaah ...." Suara jeritan itu membuat tubuh Abizar seketika terperanjat, lalu duduk tegak. Ia menutup telinganya saat suara teriakan itu malah semakin naik beberapa oktaf.
"Apa, sih, Mbak? Berisik banget pagi-pagi!" seru Abizar dengan menunjukkan wajah bantal tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Bukannya menjawab, Kezia malah melemparkan bantal tepat di belahan pahanya Abizar, guna menutupi sesuatu yang menjulang di antara keduanya. Sebab, Abizar duduk tanpa memakai celana.
"Eh?" Abizar yang baru berhasil mengumpulkan nyawanya yang sempat tersebar, jadi berubah tegang. Kejadian panas semalam kembali ia kenang. "M–Mbak ... gue ... beneran nggak sengaja. Semalam Mbak mabuk dan maksa gue buat ngelakuin itu ... jadi—"
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Abizar. Lelaki itu meringis sambil memegangi pipinya yang terasa kebas. "Dasar brengsek! Cowok mesum! Kamu, kan, bisa nolak aku?!" sembur Kezia sambil memukul tubuh Abizar dengan menggunakan bantal secara membabi buta.
Abizar berusaha menghalangi pukulan itu dengan menyilangkan kedua tangannya di atas kepala. "Mau gimana lagi, Mbaknya maksa terus," teriak Abizar di sela kesibukannya menghadang serangan Kezia.
Kezia yang sudah lelah memukul Abizar pun akhirnya menghentikan aksinya. Tangisnya pun pecah di sana. Abizar pun merasa bersalah, ia mencoba menyentuh pundak Kezia dengan niat ingin mentransfer kesabaran yang dia punya.
"Sabar, Mbak, ini ujian!" cetusnya dengan sedikit usapan.
"Ujian kepalamu!" Kezia langsung menepis tangan Abizar dengan kasar. Bahkan kembali melayangkan beberapa pukulan pada lengan Abizar.
"Aduh, Mbak! Mukulnya pake bantal aja, deh! Sakit, nih." Abizar memekik kesakitan.
"Aaargghh!" Kezia memekik histeris. Ia mengacak rambutnya frustrasi, lalu memeluk kedua lututnya sambil menangis. Menenggelamkan kepalanya di balik lutut itu. Kezia menangis tersedu-sedu. Pundaknya bergetar hebat, menandakan penyesalannya yang teramat.
"Aku akan tanggungjawab, kok, Mbak. Mbak mau nikahnya kapan?" Kalimat itu pun terlontar dari mulut Abizar. Membuat Kezia sontak mendongakkan pandangan.
"Kamu kira segampang itu, hah?" sentaknya kemudian.
"Lah, terus mau gimana? Semuanya udah terjadi, nggak bisa dibalikin lagi. Kalau mau diulang, bisa aja, sih ... aww!" Satu pukulan mendarat lagi di bahu Abizar. Sebagai hukuman atas mulutnya yang kurang ajar.
Kezia mencoba mengumpulkan kesabaran. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Benar kata Abizar, semua yang sudah terjadi tidak akan bisa dikembalikan lagi. Semuanya kesalahan hanya bisa disesali, dan sebaiknya diperbaiki.
"Lupakan spaja!"
"Hah?" Abizar mengernyit heran, "maksudnya?" tanyanya tidak mengerti.
"Aku bilang lupakan aja! Lupakan semua kejadian semalam, dan lupakan kalau kamu pernah bertemu aku sebelumnya. Lupakan semua ini! Kita sebelumnya tidak saling kenal, dan setelah ini ... akan tetap sama. Anggap saja ini sebuah kecelakaan!" tutur Kezia panjang lebar.
Abizar melongo takjub mendengar itu. Biasanya, seorang perempuan yang sudah direnggut mahkotanya akan langsung minta pertanggungjawaban, tetapi Kezia malah meminta untuk melupakan.
"Tapi—"
"Nggak ada tapi-tapi! Harusnya kamu senang," tukas Kezia melotot tajam. Abizar pun diam.
Kezia membalut tubuhnya dengan selimut, lalu bergerak perlahan menahan rasa nyeri yang di bagian intinya yang kian berdenyut. Menjuntaikan kakinya ke lantai, lalu memungut pakaiannya yang tersebar berantakan. Kezia berniat untuk membersihkan badan.
"Apa ada kamar mandi di kamar ini?" tanya Kezia dengan ketus. Abizar hanya mengangguk, lalu mengangkat tangannya untuk menunjukkan letak kamar mandinya di mana. Kezia pun mengikuti petunjuk Abizar. Namun, sembari berjalan Kezia berkata lagi pada Abizar, "pake celanamu! Jijik aku lihatnya."
Kepala Abizar sontak menunduk, mengangkat bantal yang dia pangku lalu memperlihatkan sesuatu yang berdiri kaku. "Jijik katanya? Padahal semalam dia begitu menikmati," gumam Abizar sambil mencebikkan bibirnya.
Setelah selesai mandi dan bersiap diri, Kezia pun pergi. Beruntung waktu masih terlalu pagi, sehingga suasana kafe masih sepi. Belum ada karyawan yang datang, karena kafe buka mulai jam sembilan.
Kini, tinggallah Abizar yang tercenung sendirian. Ia tidak menyangka jika Kezia akan mengatakan keputusan tersebut setelah kehormatannya terenggut. Ia jadi berpikir, jika Kezia sudah terbiasa dengan kejadian semalam.
"Mungkin Mbak Zee udah biasa dengan hal begini, dan gue bukan orang pertama yang udah nyentuh dia," ujar Abizar sambil menghela napas kasar. Namun, prasangkanya langsung dikalahkan oleh fakta yang membuatnya tercengang. Ketika sepasang indera penglihatannya menangkap cairan berwarna merah menempel di sprei tempat tidurnya. Ia yakin darah itu milik Kezia. Darah yang keluar saat pertama kali keperawanannya direnggut olehnya.
Namun, jika memang keputusan Kezia seperti itu, Abizar hanya bisa menerimanya dengan senang hati, itu artinya ia terbebas dari tanggung jawab untuk menikahi. Lagipula, Abizar tidak mau menikahi perempuan yang tidak pernah dia cintai.
*****
Waktu berlalu begitu cepat. Abizar yang sudah mengambil sertifikat kelulusannya harus pergi ke Jepang atas permintaan sang papa. Ia disuruh membantu meneruskan perusahaan omanya, sekalian belajar bisnis di sana.
Sebulan berlalu meninggalkan kenangan. Entah itu kenangan manis ataupun menyakitkan. Begitupun dengan Kezia, perempuan itu merasakan sesuatu yang berbeda-beda dengan tubuhnya. Ia merasa tubuhnya jadi cepat lelah, walaupun ia tidak mengerjakan apa-apa. Apalagi saat dirinya tidak mendapatkan tamu bulanan seperti biasanya. Membuat hati dan pikiran Kezia semakin ketar-ketir dibuatnya.
"Bagaimana kalau ternyata aku hamil?" gumam Kezia bermonolog sendiri, sambil mondar-mondir di kamarnya.
"Nggak, itu nggak boleh terjadi. Masa aku harus mengandung bayi dari laki-laki bau kencur itu. Dia lebih pantas jadi adikku, ketimbang jadi papa dari anakku. Lagipula papa dan mama pasti marah jika tahu aku sudah hamil di luar nikah. Nama baik keluarga ini pasti akan tercemar." Kezia berpikir sambil mengigit kuku jarinya, "lebih baik aku pastikan dulu," imbuh Kezia lalu berjalan menuju kamar mandi sambil membawa alat tes kehamilan yang sudah dia beli.
Beberapa menit kemudian, Kezia keluar dari kamar mandi dengan wajah muram. Alat tes kehamilan itu menunjukan dua garis samar, yang artinya Kezia hamil beneran.
Sejak tahu dirinya hamil, Kezia segera mencari Abizar. Dari adiknya dia tahu, jika Abizar sudah pergi ke Jepang bersama Juno—pacar dari adiknya tersebut. Katanya, Abizar juga akan menetap di sana. Kezia jadi resah karena Abizar sudah tidak lagi tinggal di Indonesia.
Terbesit satu ide dalam otaknya Kezia. Perempuan itu ingin menambah kadar dosanya dengan cara menggugurkan janin yang ada dalam rahimnya. Segala cara ia lakukan untuk mengeluarkan bayi tersebut. Mulai dari makan makanan yang dilarang dikonsumsi ibu hamil, sampai meminum jamu peluruh kandungan. Kezia benar-benar sudah hilang akal. Perempuan itu sangat tega berbuat demikian. Namun, semua yang dilakukannya hanya sia-sia, karena anak dalam kandungannya masih baik-baik saja.
...****************...
...to be continued.......
Jangan lupa like, gift, dan komentarnya 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!