...Happy Reading...
...****************...
"Aaaah, dasar keras kepala. Kenapa kamu masih betah aja di dalam perut aku? Bagaimana caranya aku bisa menyingkirkan kamu, hah? Kamu nggak bisa membuat hidup aku hancur, dan kamu nggak bisa membuat keluargaku malu." Kezia meraung dalam kamarnya, lantaran tidak bisa membuat anak dalam kandungannya keguguran.
Ia sudah melakukan berbagai cara, memakan nanas muda, meminum jamu, serta berolahraga berat, agar kandungan tersebut luruh dari rahimnya. Namun, semua itu hanyalah sia-sia. Anak itu masih saja kuat berada di ruang kasih sayang Tuhan. Hal itu membuat Kezia jadi kesal.
Kezia sempat berpikir untuk pergi ke dokter untuk aborsi, tetapi ia takut melakukan itu. Selain takut orang tuanya akan tahu, hal itu terlalu beresiko pada tubuhnya nanti. Bagaimana kalau proses aborsi tersebut malah merusak tubuhnya? Ia tidak mau itu terjadi. Kezia hanya ingin kandungannya luruh secara alami.
"Kak Zee?"
Suara panggilan dari luar kamar Kezia membuat perempuan itu tercekat. Pandangannya langsung tertuju pada pintu. Kezia mengenal suara itu. Itu adalah suara Aruna—adik kandungnya.
"Kak Zee, kamu ada di dalam, kan?" panggil Aruna lagi.
Kezia bergegas menuju cermin. Mengusap wajahnya yang terlihat kusut, dan menghapus jejak air mata yang masih tersisa di sudut matanya. Kezia pun mencoba tersenyum. Berusaha menyembunyikan semua masalahnya yang kian menggunung.
"Ada apa?" tanya Kezia yang hanya melongokkan kepalanya keluar kamar. Ia tidak mengizinkan Aruna untuk masuk ke dalam. Bahkan untuk sekadar mengintip saja tidak dibiarkan.
"Katanya sakit?" tanya balik Aruna.
"Cuma sakit perut. Udah baikan, kok. Kamu istirahat sana! Kalau mau ke mana-mana, bilang, ya. Aku harus laporan sama pacar kamu." Kezia mendapatkan tugas dari bos sekaligus pacar adiknya untuk menjadi pengawal sementara, saat lelaki yang bernama Juno itu pergi ke Jepang. Ia merasa beruntung karena dibebaskan tugaskan dari pekerjaannya sebagai sekretaris di kantor Juno, lantaran Aruna tengah sakit karena insiden penculikan. Sebagai gantinya Kezia harus menjaga Aruna dan mengikuti ke mana pun adiknya itu pergi. Tentu saja semuanya harus dilaporkan, dan Kezia sangat tidak keberatan.
"Kamu ngumpetin apa, si?" Diperlakukan seperti itu, malah membuat Aruna semakin ingin tahu.
"Nggak ada apa-apa. Kamu terlalu kepo. Udah, pergi sana!" usir Kezia lagi.
Kezia berusaha menutup pintu kamarnya, tetapi tangan Aruna berhasil mendorong pintu tersebut dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Aku nggak percaya," seru Aruna sambil menyunggingkan senyuman meledek.
Kezia mendengkus, sambil memutar kedua bola matanya, malas. Ia sadar jika adiknya tersebut memang keras kepala. Namun, saat pandangannya tertuju pada sesuatu yang belum dia sembunyikan, wajahnya pun berubah tegang.
"Apa itu?"
Belum sempat Kezia bertindak, pandangan Aruna sudah berhasil menangkap sesuatu. Aruna melihat piring di atas kasur. Keduanya matanya menghunus tajam isi dari piring tersebut. Beberapa potong nanas muda yang sudah dipotong kecil-kecil dan siap disantap. "Katanya sakit perut? Kok, pagi-pagi udah makan kayak gitu?" sahut Aruna, tangannya menunjuk pada piring yang berisi buah nanas tersebut.
"Ehm ... itu ... ehm ... aku cuma lagi pengen aja. Tadi bibi yang ngasih." Kezia berkelit dengan gugup. Kedua matanya berpendar ke sembarang arah. Ia kebingungan.
Aruna semakin curiga dengan gerak-gerik kakaknya. Ia pun mencari sesuatu yang lain, yang mungkin bisa mengungkap kebingungan yang tersirat di wajah kakaknya tersebut. Aruna menemukan sesuatu yang aneh teronggok di atas meja.
"Aruna, jangan dilihat! Balikin sama aku!"
Aruna yang berhasil melihat benda aneh di atas meja tersebut, dan langsung menyembunyikannya ke belakang tubuhnya.
"Ah!"
"Maaf, maaf, aku nggak sengaja." Kezia merasa bersalah, karena gerakannya merebut benda tersebut membuat Aruna jadi kesakitan, karena lukanya mungkin tertekan. Ia pun melepaskan tubuh Aruna dan mundur satu langkah, dengan kedua tangannya mengambang di udara. Aruna tersenyum samar, lalu menengok benda yang tersembunyi di tangannya.
"Ini ... punya kamu?" Aruna mengacungkan benda yang ternyata alat tes kehamilan di hadapan Kezia, "jawab, Kak!" seru Aruna dengan sedikit nada tinggi, karena bibir Kezia masih saja terkunci. Tatapannya adiknya itu terlalu mengintimidasi.
"I—iya." Kezia menjawab gugup sambil menundukkan kepalanya.
"Siapa ayahnya?" tanya Aruna cepat.
Kezia masih membisu. Bibirnya terasa kelu untuk menyebutkan siapa ayah dari bayi itu. Pasalnya, Kezia juga tidak menginginkan bayi itu hadir ke dunia. Makanya dia berniat untuk menggugurkannya saja.
"Kamu nggak perlu tahu. Aku sedang berusaha untuk menghilangkan jejaknya. Aku jamin nama baik keluarga kita akan tetap terjaga."
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Kezia. "Gila, kamu!" Aruna melotot tajam penuh emosi. "Kamu mau nambah dosa dengan menggugurkan bayi itu, hah? Tega kamu, Kak! Bayi itu nggak salah."
"Lalu membiarkan bayi ini merusak segalanya. Merusak masa depan aku? Merusak nama baik keluarga kita, gitu? Lagipula bayi ini hanya hasil ketidaksengajaan. Malam itu aku mabuk, dan kejadian itu terjadi begitu saja. Aku bahkan baru pertama kali bertemu dengan lelaki itu."
"Astaga ... otakmu disimpan di mana, si, Kak?" Aruna terkesiap lagi. Keningnya sudah berkerut begitu dalam. Tidak habis pikir dengan kelakuan kakaknya yang ia kenal pendiam. "Kamu pikir dengan menghilangkan bayi itu, semuanya akan baik-baik saja? Suatu saat keluarga kita pasti tahu. Mereka bukan hanya kecewa, tapi akan sakit hati juga. Hati kamu akan terjerat dalam lubang penyesalan dan nggak akan bisa keluar, Kak."
Tubuh Kezia merosot ke lantai. Ia bersimpuh sembari menutup wajahnya dengan telapak tangan. Tubuhnya gemetar dengan isak tangis yang sesegukan. Bingung, takut, kesal, bersatu menyerang hatinya yang gamang.
"Terus aku harus gimana? Aku nggak mungkin melahirkan bayi dari laki-laki yang baru sekali aku temui. Dia juga sudah pergi ke luar negeri dan nggak akan kembali."
*****
Beberapa saat berlalu dalam tangis pilu. Akhirnya Kezia menceritakan semuanya pada adiknya. Ia bingung harus berbuat apa, sedangkan dirinya sudah menolak pertanggungjawaban lelaki yang sudah menghamilinya tersebut.
Namun, Aruna tetap meyakinkan Kezia, jika Abizar harus tahu dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Bagaimanapun anak itu tidak salah apa-apa. Dia tidak minta tumbuh di rahim siapa. Jika bisa memilih, mungkin seorang anak ingin lahir dari seorang ibu yang sangat menyayangi dan menginginkan kehadirannya. Bukannya seorang ibu yang malah tega ingin membunuhnya. Orang tuanya yang salah, tetapi kenapa sang anak yang harus menanggung akibatnya?
Tuhan itu adil. Ia menunjukan kekuasaan-Nya dengan membiarkan anak itu lahir.
"Aku gugurin aja, ya, janin ini? Aku nggak mau nikah sama si Abi." Kalimat itu menjadi boomerang bagi Kezia, lantaran ternyata sang mama tiba-tiba muncul dan langsung menimpali perbincangan mereka.
"Mama nggak pernah ngajarin jadi pengecut kayak gitu, Kezia!" seru Erna—mamanya Kezia, dengan raut wajah geram dan kecewa.
...****************...
...To be continued...
...Satu-satu dulu, ya, sambil nunggu novel ini di ACC ikutan lomba. Ceritanya mau ikutan event lomba novel tema "Terjerat benang merah". Do'ain, ya, man teman. Semoga novel ini bisa banyak pembacanya. Terima kasih atas dukungan kalian semua 🥰😘...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
marie_shitie💤💤
nah itu anugrah yg Allah berikan kepada janin selalu kuat jika hasil dari hubungan diluar nikah,,,
byk fakta nyata
2023-03-22
1
Widati Dati
sudah ku kirim bungan nya thor
2023-02-25
0
Kiki Sulandari
Hmmm....akhirnya kehamilan Kezia diketahui Aruna & Mamanya Kezia..
Lalu,bagaimana nasib Kezia & kandungannya?
2023-02-21
0