Papa menghubungi

''Kapan kamu pulang, Mas?'' tanyaku menatap suamiku lekat saat aku sudah mulai tenang, mimpi ku tadi seakan nyata, aku merasa begitu bahagia karena aku bisa bertemu dengan Mama meskipun hanya lewat mimpi.

Mas Edward telah melepaskan pelukannya pada tubuh ku, kini Mas Edward duduk di sisi tempat tidur seraya menggenggam tangan ku. Ia juga memijit lengan ku.

''Barusan Sayang. Pak Herman mengabari Mas, dia mengatakan kalau kamu terlihat tak bersemangat hari ini. Dia juga mengatakan kalau wajah kamu terlihat pucat. Mendengar itu membuat Mas merasa khawatir makanya Mas cepat-cepat pulang ke rumah,'' jelas Mas Edward.

''Emang kerjaan kamu di kantor udah enggak ada lagi?'' tanyaku lagi, karena biasanya Mas Edward pulang pukul empat atau lima sore, sementara sekarang baru pukul dua siang.

''Pekerjaan Mas di kantor masih banyak, Sayang. Tadi saat Mas sedang meeting, Pak Herman mengabari Mas tentang kondisi kamu, Mas langsung saja mencari alasan supaya Mas bisa segera pulang, supaya Mas bisa segera bertemu dengan mu, Mas benar-benar begitu mengkhawatirkan kamu,''

''Masih peduli juga kamu sama aku?'' sindir ku.

''Masih lah Sayang. Kalau tidak peduli ngapain kemarin Mas repot-repot meminta orang suruhan Mas untuk menghajar pria lancang itu. Semua itu Mas lakukan karena Mas mencintai dan peduli terhadap kamu,''

''Tapi kamu itu terlalu berlebihan dan keterlaluan Mas. Apa kamu lupa kemarin kamu juga mengatakan kalau aku suka caper sama cowok-cowok di kampus? Aku masih merasa sakit hati mendengar kata-kata mu itu Mas!'' ucapku menatap Mas Edward tidak suka.

''Maaf, Sayang. Mas kalau udah marah emang suka gitu, suka kelepasan saat bicara,'' wajah Mas Edward tampak memelas. Ia mengecup punggung tanganku berulangkali.

''Lain kali jangan kamu ulangi lagi,''

''Siap Sayang,'' sahut Mas Edward seraya mengangkat tangan nya ke kening, senyumnya mengembang, hingga giginya yang putih berbaris rapi bisa aku lihat. Mendengar itu aku tersenyum karenanya, lalu setelah itu ia berkata lagi, ''Ya sudah sekarang kamu berisitirahat lah, biar Mas pijit tangan dan kaki kamu, seperti nya kamu kecapean, Sayang,''

''Iya, aku emang capek, Mas. Capek hati dan pikiran karena ulah kamu,'' aku menyindir suamiku lagi, bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin dia melakukan kesalahan yang sama kedepannya.

''Mas berjanji setelah ini Mas tidak akan berulah lagi dengan main hakim sendiri,'' Mas Edward mengangkat jari kelingking nya ke hadapan aku.

''Baiklah, aku pegang janji mu itu,'' sahut ku, lalu aku menautkan jari kelingking ku pada jari suamiku, jari kami saling bertautan. Setelah itu kami sama-sama tersenyum, senyum karena kami sudah baikan. Kami tidak diam-diam man lagi.

''Apa kamu sudah makan Sayang?'' tanya Mas Edward.

''Belum, aku cuma sarapan pagi aja tadi,'' jawab ku.

''Kamu kok lalai banget sih mengisi perut mu. Makanya kamu terlihat lemas banget,''

''Aku enggak berselera makan, Mas,''

''Ya sudah, biar Mas ke bawah sebentar, Mas akan ambilkan makanan untuk mu, dan Mas juga akan menyuapi kamu, biar kamu berselera makan nya karena di suapi oleh cowok tampan seperti Mas,''

''Iih, kepedean,'' aku mencubit kecil pinggang suamiku yang tertutup kemeja berwarna putih. Mas Edward mengusap pucuk kepala ku.

''Mas, kamu bisa menemani aku ke makam Mama besok? Soalnya aku rindu banget sama Mama,'' ungkap ku.

''Iya, besok Mas akan menemani kamu. Kalau begitu Mas ke bawah sebentar,''

''Uhum,'' aku mengangguk kecil.

Mas Edward berlalu dari dalam kamar, dan beberapa menit setelah itu dia datang lagi dengan membawa sepiring makanan beserta minuman juga.

Mas Edward menyuapi aku dengan begitu sabar dan telaten, aku tidak menyangka ternyata seorang CEO yang terkenal dingin seperti Mas Edward juga bisa bersikap romantis dan sangat baik terhadap istrinya ini.

Saat aku sedang mengunyah makanan yang ada di dalam mulutku, tiba-tiba ponsel ku yang ada di atas kasur di samping ku berdering nyaring dengan layar nya yang menyala, aku mengambil ponselku lalu melihat siapakah yang telah melakukan panggilan terhadap aku.

''Papa,'' mataku menyipit melihat nama Papa yang tertera di layar ponsel. Aku tidak menyangka ternyata Papa yang menghubungi aku.

''Angkat saja Sayang,'' ucap Mas Edward, karena aku yang tak kunjung mengangkat panggilan dari Papa. Aku masih diam melihat layar yang masih menyala-nyala.

Entah mengapa perasaan aku menjadi tak enak, tumben-tumbenan Papa menghubungi aku, sementara kemarin saat aku menghubungi nya dan mengirim pesan kepada nya berulangkali tak kunjung ia respon.

''Ya sudah aku angkat ya, Mas,''

''Iya,'' Mas Edward tersenyum simpul menatap ku.

Aku pun lalu mengangkat panggilan dari Papa, begitu panggilan sudah terhubung, aku mendengar suara Papa terdengar marah.

''Amira, kamu kenapa bersikap kurang ajar kepada Kakak mu saat di kampus tadi?!'' mendengar apa yang dikatakan oleh Papa seketika membuat dada ku terasa sesak, ternyata Papa menghubungi aku hanya karena Arumi, mungkin Arumi sudah mengadu kepada Papa dan Tante Irma. Iya, mulai dari sekarang rasanya aku sudah tidak sudi lagi memanggil Tante Irma dengan sebutan Mama. Karena menurut ku dirinya sama sekali tidak ada pantas pantas nya aku panggil dengan sebutan itu. Kalau dia orang baik, dia tidak akan mungkin membuat hubungan antara aku dan Papa semakin renggang. Dan sekarang lihatlah, semenjak Papa menikah dengan Tante Irma, Papa sudah berani membentak aku.

''Pa, jadi Papa menghubungi aku cuma karena ingin membahas hal yang tak ada penting-penting sama sekali,'' sahut ku dengan suara gemetar.

''Amira, sudah, kamu jangan mengalihkan topik pembicaraan, kamu harus menjelaskan kepada Papa kenapa kamu sudah berani bersikap kurang ajar kepada kakak mu sendiri di depan orang banyak,'' ucap Papa lagi dengan nada keras, hingga aku sedikit menjauhkan ponsel yang aku pegang dari telinga.

''Pa, apa tidak ada sedikit rindu yang Papa rasakan kepada aku? Apa Papa tidak ingin tahu bagaimana kabar anak mu ini? Kemarin Papa ke mana saja saat aku menghubungi dan mengirim pesan kepada Papa? Kenapa Papa mengabaikan aku?''

''Amira! Sudah jangan lebay kamu! Kamu itu sudah besar dan sudah bersuami, kamu bukan lagi tanggung jawab Papa. Buat apa Papa menanyakan hal yang tak penting seperti yang kamu katakan itu! Sekarang cepat katakan kepada Papa kenapa kamu telah membuat Arumi marah dan sedih karena sikap mu yang kurang ajar itu!'' kali ini air mataku benar-benar sudah menetes, aku tidak menyangka Papa tega berkata hal demikian. Mas Edward yang ikut menyimak percakapan kami terlihat memerah wajahnya.

''Papa, yang salah itu Arumi duluan, dia yang menyapa ku dengan nada sinis! Yang lebay itu Arumi, karena tadi aku tidak melakukan apa-apa kepadanya! Bisa-bisanya dia mengadu yang tidak-tidak kepada Papa!'' jawabku dengan suara serak.

''Lagian kamu ngapain pakai acara kembali kuliah segala, buang-buang waktu saja. Kamu, punya suami kaya raya itu di manfaatkan dengan benar, bukan malah capek-capek kuliah lagi,'' kali ini aku benar-benar sudah tidak mengenali sosok Papa lagi. Papa telah berubah. Aku tidak bisa berkata-kata lagi, lidahku seakan kelu, Mas Edward mencoba merebut ponsel dari pegangan tangan ku, ia sepertinya hendak membalas perkataan Papa, tapi aku sudah memutuskan panggilan.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!