Matahari tertutup awan kelabu yang seperti siap menumpahkan air kapan saja, angin berhembus dingin, cukup untuk membuat tangan mendekap diri sendiri agar terasa hangat
Layla terpaksa memberhentikan motornya di pos ronda kosong tepi jalan, bukan karena mogok tapi karena awan kelabu sudah menjatuhkan beban yang dikandungnya. Bisa saja ia menerobos hujan, tapi buku-bukunya yang akan basah. Selain itu, ia mulai merasa tak enak badan sejak bangun tadi pagi, kalau terkena hujan sekarang, sudah dipastikan dirinya akan sakit
Sebuah moge hitam berhenti juga didepan pos ronda, laki-laki berjaket kulit hitam itu membuka helm full face yang menutup wajahnya hingga Layla bisa mengenali laki-laki itu, laki-laki yang membuat kedua sepupunya merasakan rasa cinta
Sepertinya laki-laki itu tak mengenalinya atau memang ia sudah menunjukkan sikap aslinya yang cuek kepada perempuan seperti cerita Zara dan Yasmin. Yang pasti laki-laki itu langsung duduk dan terlihat mengusap rambutnya yang basah tanpa menyapa Layla
Layla justru bersyukur akan hal itu, ia memajukan tubuhnya sedikit ke tengah karena rembesan air hujan yang turun membasahi bagian pinggir
Hening, keduanya hanya menikmati suara hujan tanpa ada pembicaraan sama sekali, sudah sekitar lima belas menit dan belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti
"Kenapa?" Layla langsung berjingkat kaget saat mendengar suara Qais yang ternyata sudah ada didepannya
"Apanya yang kenapa?" Ia heran mendengar seseorang bertanya seperti itu, memangnya ia pikir kenapa hanya untuk satu pertanyaan?
"Kenapa aku ditolak?"
"Nolak apa? Bisa nggak kalau bertanya jangan setengah-setengah?!" Semprot Layla dengan suara kesal, udara dingin ternyata tak membuat hatinya cukup dingin untuk menjawab pertanyaan seperti itu
"Kenapa kamu nolak jadi pasanganku?"
"Pacaran itu dosa, mendekati zina" jawab Layla, padahal yang ia dengar dari Zara prinsip laki-laki itu tidak mengajak pacaran
"Kalau gitu ayo nikah"
"Kamu gila ya?! Aku masih sekolah" Layla tak habis pikir dengan laki-laki itu, ia tak ingin pacaran tapi bukan berarti ingin menikah juga sekarang
"Kalau gitu setelah kamu lulus SMA" sambil menikmati air hujan yang kian deras, Qais dengan santainya mengatakan itu
"Apa yang membuat kamu begitu mendekatiku? Padahal dari cerita yang aku dengar kamu anti dengan perempuan"
"Karena aku sudah memberikan hatiku padamu tiga belas tahun lalu. Aku tak ingin mengambilnya untuk diberikan pada orang lain, tapi aku ingin membuatnya bersatu dengan separuh hati yang ada padaku"
"Kisah cinta masa kecil, apa tidak terdengar terlalu konyol?" Kekeh Layla, ia bisa ingat sekarang, anak laki-laki berseragam merah putih yang menunduk dihadapannya memberi permen
"Bagi sebagian orang mungkin iya, tapi bagi aku tidak"
"Kita nggak mungkin bisa bersama" gumam Layla, namun masih bisa terdengar oleh Qais. Ia percaya kalau Allah bisa membolak balikkan hati hambanya, ia kemungkinan bisa menyukai Qais walaupun terkesan kurang menyukai laki-laki itu sekarang. Tapi untuk menyakiti perasaan dua sepupunya ia tak akan mungkin bisa melakukan itu
"Kenapa? Kamu nggak suka sama aku? Apa kamu nggak percaya kalau hati manusia bisa dibolak balikkan sang pencipta" Qais dengan lancar menyebut sang pencipta, padahal untuk menghadap padanya lima kali sehari saja kadang tak ia lakukan
"Bukan, tapi karena ada hati lain yang harus ku jaga"
"Kamu suka sama orang lain?" Nada bicara Qais terdengar berubah tak suka. Layla menggeleng sebagai jawaban
"Hati perempuan yang menyukai kamu" jawaban Layla membuat Qais tergelak tawa
"Yang suka aku banyak, sudah pasti itu bukan salah kamu"
"Tapi mereka adalah saudaraku" Layla hanya berani mengatakan itu dalam hatinya
"Kamu juga bukan tipeku" jawab Layla agar laki-laki itu tak melambung terlalu percaya diri
.
Sementara Bilal disisi lain juga mengalami nasib yang sama, ia terpaksa berteduh karena hujan deras yang tepat sekali mengguyur setelah pulang sekolah sedangkan jarak rumahnya masih cukup jauh dan lebih menjengkelkan, ia lupa membawa jas hujan, padahal biasanya benda itu tak pernah keluar dari jok motornya
Seorang gadis dengan pakaian batik yang sama dengan dirinya sedikit berlari dan menggunakan tasnya sebagai pelindung kepala dari air hujan. Gadis itu mengatur nafasnya dan berhenti di tempat yang diduduki Bilal
"KAMU!" Kedua orang itu berucap serentak, dengan mata sama-sama tak percaya
"Gadis preman?"
"Ustadz sombong?" ucap keduanya lagi-lagi serentak dengan panggilan yang berbeda
"Apa?" Dua orang itu langsung terdiam, lagi-lagi mereka mengatakan kata yang sama
"Ternyata kamu sekolah" bukan maksud Bilal menyindir tapi gadis itu seperti tersindir mendengar itu
"Iya, biar pinter ngitung hasil rampok" jawab Bela santai
Bilal tak bicara lagi, takut menyakiti hati gadis yang sedang memeras ujung bajunya yang basah saat ini. Pandangannya teralihkan pada tangan kiri gadis itu, tepatnya pada pergelangan tangan yang diperban. Artinya memang benar yang ia lihat dirumah sakit tiga hari lalu adalah gadis yang duduk disampingnya saat ini
"Hanya orang bodoh yang mau bunuh diri" gumamnya namun masih sedikit terdengar karena volume air hujan yang mengecil
"Urusannya sama kamu apa? Ini hidupku, terserah mau sampai kapan aku mengakhirinya"
"Kamu bukan tuhan yang mengawali dan mengakhiri, sekeras-kerasnya kamu menyakiti diri sendiri agar bisa hilang dari dunia ini, jika tuhan masih menginginkan nafasmu dan dzikir dari mulutmu, kau tak akan mati" jawab Bilal menatap hujan yang kembali deras, padahal sempat mengecil tadi
"Memang kamu percaya dia ada? Kamu percaya tuhan itu ada" Bilal beristigfar dalam hati mendengar itu
"Jika kamu tidak percaya tuhan, kenapa percaya pada surga dan neraka beberapa hari lalu saat kita bertemu" kini gadis itu yang terdiam, Bela juga ingat ia mengatakan itu pada orang tuanya tiga hari lalu
"Salah satu dzatnya yang maha adil, kenapa dia tidak adil untukku? Karena itu aku meragukannya" balas Bela sedikit terkekeh
"Kamu bukan satu-satunya manusia yang menganggap dia tidak adil, tapi semua manusia menganggap itu, bukankah artinya dia adil?" Tanya Bilal balik, ia pernah menganggap Rabb-Nya tak adil, kala bundanya pergi dan ia hanya bisa menahan rindu melihat anak lain yang memberikan hadiah istimewa pada ibu mereka di hari 22 desember. Sedangkan ia dan adiknya hanya bisa memberi doa dan setangkai bunga, padahal doa lebih besar dari segalanya.
"Kamu pernah menganggap dia tidak adil?" Tanya Bela, ia pikir laki-laki seperti Bilal tak pernah berpikiran seperti itu
"Tentu saja pernah"
"Tapi kalau dia ada kenapa dia menjauh dariku? Apa karena aku anak yang durhaka dan nakal? Bukankah ia seharusnya mengampuni semua itu?"
"Dia akan mengampuni dosa hambanya yang bertaubat. Dia tidak pernah menjauh, dia selalu dekat, sangat dekat kepada kita sampai kita tidak bisa melihatnya" Bilal jadi teringat kata-kata bundanya dulu saat ia bertanya tentang sang pencipta
"Hanya kadang kita sebagai hambanya terlalu sombong, berpikir bisa menyelesaikan semuanya sendiri sampai menjauh darinya. Kita yang menjauh bukan dia" lanjut Bilal membuat Bela terdiam
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
adara
lanjut ka
2023-02-16
1
melia
🥰🥰🥰🥰
2023-02-15
0