"Di saat Hafiz lihat Mamak nangis," sahut Hafiz.
Ucapan Hafiz membuat air mata Khadijah semakin berderai, Hafiz kembali menghapusnya. "Mamak jangan nangis, Mamak harus bahagia. Mamak harus tersenyum terus," titah Hafiz.
Khadijah hanya sanggup mengangguk sambil terpaksa untuk tersenyum. "Janji sama Hafiz, Mak."
Sungguh, ini adalah pilihan yang sulit bagi Khadijah. Bagaimana ia bisa tersenyum di saat melihat putranya kesakitan seperti itu? Akan tetapi, untuk membuat Hafiz tidak kecewa, Khadijah memberikan jari kelingkingnya sebagai pertanda untuk janji kepada putranya.
"Mak, gimana pun hasilnya nanti. Percayalah, Hafiz sangat menyayangi Mamak."
"Hafiz ngomong apa, Nak? Hafiz harus sembuh, Hafiz nggak boleh ngomong begitu."
"Mak, kalau Mamak sudah nggak sanggup hidup dengan Ayah, lepasin saja Ayah, Mak. Riska pasti bisa mengerti. Sudah cukup sakit yang Mamak derita selama ini!"
"Hafiz, kamu ngomong apa, Sayang? Ayah sama Mamak baik-baik saja, kami akan selalu bersama membesarkan anak-anak Mamak yang hebat ini."
"Hafiz tahu semuanya, Mak. Hafiz sudah besar, Hafiz tahu apa yang terjadi selama ini."
Khadijah terdiam, rupanya anaknya mengetahui sakit yang ia pendam selama ini. "Kamu jangan banyak bicara lagi ya, sekarang sebaiknya kamu tidur."
"Hafiz takut tidur, Mak. Hafiz takut nggak bisa melihat senyum Mamak lagi."
"Jangan buat Mamak sedih, Nak." Khadijah berusaha susah payah menahan tangisannya.
Hafiz memilih untuk tersenyum sambil memeluk ibunya sampai ia tertidur. Infus yang terpasang di tubuhnya sangatlah perih, namun ia tidak ingin membuat ibunya sedih melihat kesakitan dirinya.
***
Tiga hari sudah Hafiz di rumah sakit, dokter mengatakan jika kondisinya mulai membaik. Hafiz juga sudah mau makan, hanya saja hasil tes darahnya belum keluar.
"Dok, bagaimana anak saya?"
"Siang nanti hasil tes nya keluar, tunggu sebentar ya, Bu ..."
Khadijah pun mengangguk, melihat putranya sudah mau makan saja dia sudah amat senang. Perkembangan Hafiz lumayan pesat beberapa hari ini. Hal itu membuatnya juga berselera makan sampai-sampai ia selalu memesan nasi bungkus pada Malik untuk di bawa ke rumah sakit.
"Assalamu'alaikum," ucap seorang laki-laki yang amat ia cintai sambil membawa dua bungkus nasi.
"Bagaimana kabar Hafiz?"
"Hafiz baik-baik saja kok, Yah, 'kan Hafiz anak Ayah sama Mamak," celetuk Hafiz sambil tersenyum.
"Iya dong, Hafiz itu kebanggaan Ayah." Malik menimpalinya sambil mendekat ke arah putranya.
"Riska dimana, Yah? Kok nggak di ajak? Hafiz rindu sama Riska."
"Riska juga rindu sama kamu, tapi ini 'kan rumah sakit, nggak baik untuknya. Kamu lekas sembuh, biar bisa jumpa dengan Riska lagi."
"Yah, kalau Hafiz nggak sempat jumpa dengan Riska, sampaikan salam sayang Hafiz untuknya ya ..."
"Memangnya kamu mau kemana?"
"Ke istana, jauh pokoknya."
"Biar Ayah saja yang ke istana, Hafiz di sini saja jagain Mamak."
"Ayah yang jagain Mamak, jangan Ayah buat Mamak nangis lagi. Awas kalau Ayah jahatin Mamak, nanti Hafiz pukul."
"Ayah sayang sama Hafiz," Malik memeluk putranya sambil menahan tangis. Belakangan ini Hafiz suka sekali asal bicara membuat Malik berpikir kejauhan tentang putranya.
"Kata dokter hasilnya baru siang nanti keluarnya, Bang." Khadijah memecahkan keheningan, walaupun hatinya juga ikut sakit mendengar percakapan kedua jagoannya tersebut.
Malik mengangguk, "Kamu makanlah dulu, biar Abang yang jaga Hafiz."
"Kenapa nggak Abang dulu yang makan?"
"Abang masih kenyang, lagian kamu harus sehat terus, Dijah."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments