Seusai sholat, tiba-tiba Riska masuk ke kamar mereka. "Mamak ..." teriak Riska sambil berlari.
"Ada apa, Nak? Kenapa lari-lari?"
"Bang Hafiz, Mak. Bang Hafiz badannya panas banget."
"Apa!" Pekik Khadijah, wanita itu langsung menuju kamar anaknya.
"Hafiz, yang mana yang sakit, Nak?"
"Dingin, Mak. Badan Hafiz rasanya dingin semua."
Khadijah mengambil selimut yang paling tebal, kemudian memberikannya pada anaknya. Sementara Malik kini sedang mengambil air untuk mengompreskan kening anaknya.
"Mak, Hafiz mau sekolah. Hari ini Hafiz ada ujian," pinta Hafiz.
"Nggak bisa, Nak. Kamu jangan sekolah dulu, badan kamu panas semua."
"Tapi, Mak --"
"Ayah akan minta izin sama guru kamu, jangan khawatir ya, Nak." Ucap Malik yang baru saja sampai ke kamar. "Jah, ini kompresnya, Abang mau beli obat sama penyegar di tenggorokan dulu tempat Wak Santi," lanjutnya.
"Mak, Riska juga nggak sekolah ya ..." Sepertinya putrinya malah mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Khadijah tak bisa berpikir panjang lagi, ia hanya mengangguk karena sangat panik sekarang. Sementara Malik sudah sampai di warung Wak Santi. Syukurlah, Wak Santi sudah buka warung di pagi buta.
"Wak, ambil Paracetamol untuk anak sama penyegar yang botol lima."
"Siapa yang sakit, Lik?"
"Hafiz, Wak."
"Ini ada termometer, coba di cek."
"Terima kasih, Wak."
"Sama-sama, kalau panasnya sampai 39°C bawa ke dokter saja. Minta mobil sama krani teknik."
"Iya, Wak. Makasih ya, Wak."
***
Tiga hari sudah Hafiz panas dingin, siang suhu badannya normal tetapi saat malam kembali panas membuat Malik dan Khadijah menjadi panik. Kemarin Hafiz sudah di bawa ke klinik, tetapi dokter yang menjaganya mengatakan jika Hafiz hanya kelelahan saja.
Melihat sang anak tak kunjung sembuh, mereka pun memutuskan untuk membawa ke rumah sakit umum yang berada di kota. Kedua orang tua dari Malik dan Khadijah pun datang, mereka sangat mengkhawatirkan cucunya tetapi karena terbatasnya jumlah orang yang boleh masuk, akhirnya mereka memilih menunggu di rumah Malik dan Khadijah.
"Bagaimana kondisi anak saya, dok?"
"Kita ambil darahnya dulu ya, Pak ... Bu ..."
"Baik, dok. Terima kasih," jawab Malik dan Khadijah bersamaan.
Tim medis pun mengambil darah Hafiz sesuai dengan prosedurnya. Setelah itu mereka pergi keluar ruangan. Khadijah tak henti-hentinya mengucapkan istighfar sambil Sholawatan, hatinya selalu mendoakan agar putranya lekas sembuh.
"Dijah, Abang beli makan dulu. Kamu mau makan apa?"
"Dijah nggak selera, Bang."
"Kamu harus tetap makan, Dijah. Hafiz membutuhkan kamu, jadi kamu harus tetap sehat."
"Dijah nggak lapar, Bang. Hafiz saja belum makan, Dijah nggak bisa makan lihat Hafiz lemas begini."
"Kalau kamu sakit yang ngerawat anak kita siapa?"
"Ya sudah, beli saja nasi padang."
"Lauknya?"
"Terserah Abang."
Cup!
Malik mencium sekilas kening istrinya, "Abang keluar dulu, kamu jangan nangis terus."
Khadijah hanya membalas dengan mengangguk saja, ia kembali menatap putranya yang sedang tidur tetapi terus mengigau. 'Hafiz harus sembuh, Nak. Hafiz itu kekuatan Mamak.' Begitulah gumaman Khadijah sambil menatap putranya.
Tak lama kemudian Hafiz terbangun, ia melihat ibunya senang menangisinya. Hafiz pun tersenyum sambil menghapus air mata ibunya, "Mamak jangan nangis," pinta Hafiz dengan suara pelan.
Khadijah buru-buru menghapus air matanya, ia juga tidak ingin terlihat lemah di mata anak-anaknya. Namun, melihat anak-anaknya sakit itulah salah satu kelemahannya.
"Mamak nggak nangis kok, siapa bilang Mamak nangis."
"Mamak bohong sama Hafiz!"
Khadijah tersenyum, "Di bagian mana yang sakit, Nak?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments