Dua Minggu sudah Pak Rojali dan Bu Maimunah berkunjung, akhirnya mereka kembali ke kampung halaman. Malik dan Khadijah sudah menawarkan diri untuk mengantarkan mereka tetapi keduanya enggan menerimanya. Kini rumah terasa sepi kembali, hanya anak-anak yang menjadi penghibur dirinya.
Malam telah tiba, seperti biasa Khadijah membawakan segelas kopi beserta cemilannya ke teras rumah. Khadijah melihat suaminya murung, tak seperti biasanya.
"Apa ada masalah, Bang?"
"Anak-anak dimana? Apa sudah tidur?"
"Mereka nonton tv."
Malik mengangguk, ia menatap ke arah depan. Khadijah sedikit kesal karena pertanyaan nya tidak di jawab oleh Malik.
"Abang dan Lily sudah putus."
"A--apa?"
"Iya, itu karena abah sama emak ada di rumah. Abang jadi nggak ada waktu buat ngehubunginya terus dia marah dan minta putus."
"Oh," hanya itu jawaban dari Khadijah. Apa lagi yang bisa di katakan wanita itu selain kata oh, berani sekali suaminya mengatakan hal yang sangat sensitif padanya. Hatinya sakit karena suaminya terang-terangan mengumbar kedekatannya pada orang lain, namun di satu sisi ia juga bahagia karena hubungan keduanya sudah berakhir.
"Cuma oh? Nggak mau ucap apa gitu?"
"Memangnya Abang mau Dijah bilang apa? Sabar ya, Bang? Semangat ya, Bang? Gitu? Abang sadar nggak, walaupun Abang bilang hanya teman curhat tapi itu sudah nyakitin hati Dijah."
"Dijah, kita 'kan menikah karena--"
"Terpaksa? Di jodohkan? Okay, Bang. Tapi kita sekarang punya anak. Mereka sudah besar-besar. Abang punya anak perempuan, harusnya Abang berubah kali ini. Taubat Bang sebelum Allah marah!" Khadijah masuk ke kamar setelah mengatakan itu.
Malik terdiam menatap kepergian istrinya. Malam ini ia merenungi segalanya yang telah ia perbuat. Kini ia menyadari apa yang ia lakukan memang salah. Kembali lagi ia tatap foto Khadijah dan juga Lily yang baru saja ia sandingkan. Di antara keduanya masih cantikan istrinya, hanya saja Lily lebih langsing dan terlihat seksi karena bajunya yang ketat. Kembali lagi ia bandingkan dengan kesabaran, ia menyadari jika istrinya 'lah yang sangat sabar.
'Ya Allah, ternyata selama ini aku sering menyakiti istriku.' Batin Malik menatap langit-langit.
***
Pagi ini ia membelai istrinya, mengecupnya berulang kali sampai wanita itu terbangun. "Selamat pagi!" Sapa Malik sambil tersenyum.
Khadijah berulang kali mengucek matanya, merasa takut jika ini semua hanya mimpi. "Kamu nggak mimpi, Dijah," ucap Malik lagi.
Khadijah duduk, ia melihat jam dinding yang kini menunjukkan pukul empat subuh. "Ada apa, Bang?"
"Kok ada apa?" Tanya Malik sambil mengerutkan alisnya.
"Abang nggak seperti biasanya, Abang kesambet kah?"
Malik malah terkekeh, "Abang mau minta maaf, selama ini sudah nyakitin kamu. Abang kira ini nggak masalah dalam pernikahan."
"Simpan saja maaf Abang kalau Abang masih mau mengulangi lagi."
Malik menunjukkan jari kelingkingnya, "Janji! Abang janji untuk tidak menyakiti lagi."
"Kalau Dijah ada salah bilang, Bang. Dijah bakal berusaha buat memperbaikinya."
"Dijah nggak salah, Abang yang khilaf. Dijah mau 'kan maafin Abang?"
"Dijah mau, Bang."
Keduanya pun berpelukan, tak hanya itu ... Malik mengambil kesempatan untuk melakukan olah raga sebelum melaksanakan sholat subuh. Khadijah pun menyukainya, karena ia juga merindukan olah raga tersebut. Berkeringat sebelum matahari terbit membuat sensasi yang berbeda baginya.
Setelah puas, mereka menyudahinya. Khadijah pun pergi ke kamar mandi, setelah itu Malik juga ikut mandi dan melaksanakan sholat fardhu nya. Khadijah tersenyum, karena akhirnya Allah menjawab semua do'anya. Ternyata benar, mengaduh kepada Allah adalah cara terbaik untuk merubah seseorang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments