Pencarian Cinta

Pencarian Cinta

Telepon Nyasar

"Lihat, tuh, si Menik juga yang sekolah SMA-nya sambil mondok bisa punya cowok, masa kamu enggak, sih, Na?"

Pertanyaan yang mengandung sindiran dari mulut Luna, tapi bukan Luna Maya itu sontak saja membuat Anna seketika membisu. Saat itu perasaannya diliputi perasaan minder, malu, serta rasa percaya dirinya seketika nyungsep melesak menembus bumi. Ingin rasanya saat itu juga ia menyumpal mulut temannya itu dengan kain serbet bekas lap ingusnya mantan. Biar tahu rasa!

Sepersekian detik setelah mendengar nyinyiran dari teman gak ada akhlaknya itu Anna pun larut dalam kecamuk hatinya sendiri.

'Duh ... iya, ya, kenapa sudah setua ini aku tidak pernah diberi kesempatan seperti temen-temen yang lain? Ditaksir lawan jenis, pedekate, lalu pacaran, ada yang perhatian setiap detik, setiap, menit, setiap waktu. Selalu ada yang SMS sudah makan belum? sudah mandi belum? deesbe, de'elel.' dalam hati kecilnya Anna membatin ngenes.

Sebenarnya pertanyaan serupa bukan kali pertama yang didengar gadis yang baru lulus sekolah SMA itu. Karena hanya dirinyalah yang hingga saat ini nyaris tak punya cerita cinta seperti halnya teman yang lainnya.

Teman sekelasnya kebanyakan sudah mulai berpacaran semenjak mereka duduk di bangku kelas dua SMP. Sedangkan Anna saat itu hanya bisa menjadi Mak comblang teman sebangkunya sendiri. Sedangkan dirinya tak ada satu laki-laki pun yang melirik kepadanya.

***

Hari-hari yang dilalui Anna sedikit ada perubahan semenjak ia memiliki telepon genggam jadul pemberian sang kakak ipar yang saat itu sedang pulang ke kampung halaman.

"Teh, ini hapenya buat Anna aja ya, boleh gak?" Anna bertanya penuh harap kepada kakak perempuannya yang sudah memiliki satu anak itu.

"Buat apa?"

"Biar kita selalu bisa komunikasi kalau pas Teteh udah pulang ke Jakarta lagi. Nanti kan, Teteh bisa telepon emak setiap hari," rayu Anna berharap teh Aini, kakanya itu merelakan ponselnya.

Setelah melewati negosiasi yang cukup lumayan alot akhirnya sang kakak pun memberikan hape jadul itu kepada sang adik. Tentu saja setelah sebelumnya teh Aini meminta izin terlebih dulu kepada suaminya.

Melalui benda mungil itu kini waktu yang dilalui oleh Anna menjadi sedikit mengurangi perasaan jenuhnya. Karena ia mulai merasa punya hiburan meski itu hanya ponsel berlayar hitam putih dengan hanya beberapa fitur aplikasi di dalamnya. Tak ada kamera untuk sekadar selfie dan berfoto ria, apalagi jaringan internet yang bisa mengakses informasi lainya.

Anna mulai menyimpan beberapa nomor telepon teman-temannya yang sudah memiliki ponsel terlebih dulu darinya.

***

Ramadhan, 2009

Anna baru saja terbangun dari tidurnya. Tak berapa lama telepon jadulnya berdering nyaring pertanda ada nomor yang menghubunginya. Gadis berambut legam itu tertegun sejenak saat dilihat nomor yang sedang menelponnya itu tanpa nama alias nomor baru yang sebelumnya tak pernah ia simpan di hapenya sendiri.

Dengan perasaan ragu didorong rasa penasaran yang tinggi Anna pun mulai memijit tombol jawab.

"Hallo, Assalamualaikum sama siapa?" tanya Anna berbasa-basi.

"Ieu sareng Ita sanes?" ("Ini sama Ita bukan?")

Terdengar suara seorang lelaki asing dari arah sebrang sana menanyakan sebuah nama yang Anna sendiri tak mengenalnya.

"Sanes ieu mah sareng Anna." ("Bukan. Ini sama Anna.")

Anna memberikan jawaban apa adanya. Setelah berbasa-basi lama kelamaan percakapan antara Anna dan lelaki bernama Lukman pun itu semakin terlihat akrab dan lebih intens.

Saat pertama kali mendengar suara, nada berbicara dan setiap kalimat yang keluar dari pria bernama Anna itu tanpa sadar sudah menjadi daya tarik tersendiri untuk Lukman yang memang menurutnya karakter perempuan yang selama ini ia dambakan seolah semua ada di diri Anna.

Pun begitu sebaliknya. Anna merasa nyaman tiap kali mendengar setiap kalimat yang terucap dari mulut lelaki yang sedang mengajaknya berbicara walaupun hanya via telepon itu.

Suasana hati Anna selalu merasa berdesir halus tiap kali menerima telepon dari pria yang kini berstatus santri pondok salafiyah itu.

Lukman pun berjanji setelah Idul Fitri nanti dirinya akan mengusahakan untuk mendatangi Anna ke kediamannya. Untuk membuktikan jika dirinya benar-benar ingin mengenal sosok Anna lebih dekat.

"Tapi, jangan kaget, ya, kalau nanti pas datang ke rumahku Kakak disuruh duduk di amben palupuh. (Amben palupuh itu lantai rumah panggung yang terbuat dari bilahan bambu) Karena di rumah orang tuaku gak ada sofa empuk seperti di rumah orang-orang kebanyakan," ujar Anna kemudian.

"Gak masalah. Yang penting orang yang di rumahnya bisa menerima tamunya nanti dengan tulus," jawab Lukman sekaligus meyakinkan Anna jika dirinya tak kan pernah memandang seseorang dari segi kemewahan dan limpahan materi lainnya yang dimiliki orang tersebut.

Baginya bisa kenal dengan seseorang yang baik, dan tulus itu sudah merupakan anugerah terindah dalam hidupnya.

Lukman pun berniat jika mereka nanti sudah dipertemukan ia akan mengajak tukar pinjam ponselnya dengan ponsel milik Anna. Walaupun sebelumnya Anna berusaha menolaknya karena ia merasa tak enak hati karena ponsel yang ia punya hanyalah ponsel jadul yang di dalamnya hanya ada aplikasi tambahan senter, radio dan game ular selain pungsi utamanya untuk SMS-an dan melakukan panggilan.

Apalagi saat Anna tahu jika ponsel Lukman merupakan keluaran terbaru yang harganya hingga mencapai jutaan rupiah karena sudah dilengkapi dengan kamera video dan aplikasi internet juga.

"Apa Kakak gak keberatan jika nanti hape bagus Kakak harus ditukar dengan hapeku yang jelek ini." Anna memastikan.

"Gak apa-apa. Sekalian nanti tukar pinjam sama kartunya juga." Lukman menjawab tanpa ragu. Yang membuat Anna sedikit melonjak kaget.

"Serius sama kartunya juga?"

"Kenapa? Takut, ya,? Kalau nanti cowoknya nelepon yang ngangkat orang lain?"

"Owh, enggak, kok, bukan ... bukan begitu maksudku, emh .... " Kalimat Anna menggantung.

"Terus?" desak Lukman.

"Gimana nanti kalau orang tua atau keluarga Kakak nelepon terus yang ngangkat aku?" tanya Anna.

"Ya, tinggal bilang aja hapenya lagi dipegang sama teman," jawab Lukman memberikan arahan.

"Owh ... Teman, ya," gumam Anna seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri.

"Maunya?" pancing pria berusia 27 tahun itu kemudian.

"Ya, teman aja. Memang kita temenan, kan?" Anna menjawab sedikit salting. Jika saja mereka sedang berbicara berdua sambil bertatap muka secara langsung pasti akan terlihat dengan jelas jika pipi Anna kini sedang bersemu merah.

"Lebih dari teman juga itu malah lebih baik mungkin." Lukman menggoda Anna yang sontak saja membuat hati Anna semakin berdebar halus.

"Tapi, aku sekarang sedang tidak berada di rumah, Kak?"

"Lha, emang Anna saat ini sedang tinggal di mana, gitu?"

Terpopuler

Comments

Yeyen Marfuah

Yeyen Marfuah

keren

2023-02-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!