Niken yang ditinggal Rasyid di counternya Willy, semakin gelisah. Apalagi Rasyid tak juga kembali. Sementara Willy sendiri malah ikutan pergi juga.
Beberapa karyawan Willy tak ada satu pun yang ramah pada Niken. Kecuali seorang anak lelaki yang bernama Tanto, yang baru beberapa bulan bekerja di sana.
"Nama kamu siapa?" tanya Tanto.
Niken yang punya karakter urakan hanya menatapnya dengan jengah. Lalu turun dari kursi tinggi yang didudukinya.
Niken pura-pura sibuk melihat-lihat beberapa aksesoris. Tanto menatapnya sekilas, lalu kembali ke pekerjaannya.
Tak lama datang penjual ketoprak yang biasa mangkal sebentar di dekat counter Willy. Dua orang teman Tanto memesannya.
"Tan, kamu enggak pesan ketoprak?" tanya seorang temannya. Tanto sedang asik mereparasi hape.
Tanto mengangkat wajahnya. Lalu berjalan mendekati Niken yang sedang asik juga melihat-lihat aksesoris.
"Kamu mau ketoprak?" tanya Tanto pada Niken.
Niken menggeleng. Jelas saja, dia tak membawa uang sepeserpun.
"Aku traktir, ya?" tawar Tanto.
Niken yang tadi cuek, menatap wajah Tanto yang cukup ganteng. Lalu tanpa dikomando, cacing-cacing di perutnya langsung berbunyi. Seperti memaksa Niken untuk mengiyakan.
Tadi di rumah, Niken hanya makan mie instant saja tanpa tambahan apapun. Mendengar tawaran Tanto dan protes dari cacing-cacing di perutnya, Niken mengangguk.
Tanto tersenyum senang karena tawarannya diterima. Lalu memesan dua porsi ketoprak.
"Kamu pedas apa enggak?" Niken yang sangat suka pedas kembali mengangguk.
"Mau pakai cabe berapa?" tanya Tanto.
"Sepuluh!" jawab Niken sabil mengangkat kelima jarinya.
"Hah?" Tanto melotot mendengarnya. Dia saja yang paling pakai dua cabe sudah bakal megap-megap, ini malah minta lima.
"Yakin sepuluh?" tanya Tanto lagi. Niken mengangguk sambil tersenyum menampilkan gigi-giginya yang tak terlalu putih.
Dengan ragu, Tanto memesankan sesuai keinginan Niken.
"Busyet! Itu cewek apa kuntilanak, mintanya cabai sepuluh," komentar salah satu teman Tanto yang bernama Rusdi, yang sedang menunggu pesanannya di dekat tukang ketoprak.
Tanto hanya mengangkat bahunya. Dia juga masih tak habis pikir.
"Mas Tanto, nanti yang cabenya sepuluh, harganya beda ya? Harga cabe lagi mahal," ucap pak Wardi penjual ketoprak langganan Tanto.
Tanto mengangguk mengerti. Karena setahunya harga cabe di pasar memang sedang mahal-mahalnya. Dia sering mendengar ibunya di rumah mengeluh.
"Pak Wardi, nanti kalau pesananku selesai, dianterin ya? Tapi jangan sampai ketuker ngasihnya. Bisa pingsan saya makan pakai cabe segitu banyaknya," ucap Tanto. Lalu berjalan masuk kembali ke counter.
Tanto mengambil hape yang sedang digarapnya, lalu menarik kursi dan duduk di depan Niken. Jarak mereka dibatasi oleh sebuah etalase pajangan hape.
"Itu rusaknya kenapa?" tanya Niken penasaran. Karena kata Willy tadi, hapenya mati total dan tidak bisa diperbaiki.
"Oh. Ini cuma ganti LCD-nya saja. Pecah, tuh lihat." Tanto memperlihatkan LCD lama yang telah dilepasnya.
Niken manggut-manggut. Dan terus memperhatikan Tanto yang sibuk mengutak-atik hape.
Tak lama, pesanan ketoprak datang.
"Ini Mas Tanto. Ini yang biasa, ini yang cabenya sepuluh." Pak Wardi meletakan piringnya di atas etalase.
"Enggak ketuker kan, Pak?" Tanto ingin memastikan lagi.
"Enggak. Tenang aja," sahut Wardi. Lalu kembali ke gerobaknya.
"Ayo dimakan. Kalau kelamaan keburu medok." Tanto menaruh dulu garapannya di dalam etalase.
Niken menarik piringnya, lalu segera memakannya. Tanto memperhatikan Niken yang makan seolah tak punya rasa pedas sedikitpun.
"Kamu kok enggak kepedesan? Itu kan cabenya sepuluh," tanya Tanto penasaran.
"Enggak. Enak kok. Pedasnya pas." Niken kembali menyuap ketopraknya.
Tanto yang khawatir Niken bakal kepedesan, masuk ke dalam dan mengambil dua buah air mineral gelas.
"Nih. Nanti kalau kurang, aku ambilkan lagi." Tanto meletakannya di atas etalase.
Niken meraihnya satu dan segera meminumnya. Bukan karena kepedesan, tapi karena makannya terburu-buru jadi tenggorokannya terasa seret.
"Gila tuh cewek! Lidahnya udah mati rasa apa ya?" komentar Rusdi yang tadi mendengar.
"Emang kenapa?" tanya Herman, teman satunya lagi.
"Cabenya sepuluh!" sahut Rusdi.
"Itu sih bukan manusia. Tapi demit!" Lalu mereka tertawa sampai hampir tersedak.
"Kamu masih sekolah?" Tanto memulai lagi pedekatenya.
Niken hanya mengangguk. Karena mulutnya masih penuh makanan.
"Kelas berapa?" tanya Tanto yang terus memperhatikan wajah Niken. Meski terlihat tak terawat, tapi Tanto melihatnya wajah Niken cukup lumayan.
Niken hanya memberikan jawaban dengan mengangkat dua jarinya.
"SMA?" tanya Tanto lagi.
Niken menelan makanannya dan meraih minumannya yang tinggal setengah.
Setelah mengusap mulutnya yang belepotan dengan lengannya, Niken baru menjawab pertanyaan Tanto.
"Iya, Om. Aku kelas dua SMA!"
"Kok om, sih? Aku kan belum tua?" Tanto protes. Dia baru lulus SMK dua tahun lalu. Tak rela dirinya dipanggil om.
Rusdi teman Tanto yang mendengar, langsung nyeletuk.
"Wajah kamu ketuaan kali, Tan!" Lalu disambut tawa Herman yang juga ikut mendengar.
"Heh! Bookingin kamar aja kalau sekali lagi dia manggil om! Hahaha." Rusdi yang memang hobinya booking hotel melati bersama pacarnya, kembali nyeletuk.
"Berisik! Udah sana, ditunggu pak Wardi tuh! Suruh bayar sekalian yang kemarin!" balas Tanto. Karena tahu kalau Rusdi sering ngutang kalau makan.
"Udah! Tadi aku bilang tagihannya ikut kamu semua. Iya enggak, Man?" Rusdi melirik ke arah Herman.
"Akuur!" seru Herman.
Tanto langsung mendelik, hingga membuatnya hampir tersedak.
"Hati-hati Bro, kalau makan." Rusdi dan Herman terbahak kembali. Puas mereka mengusili Tanto yang sedang mencari mangsa baru.
Niken mengulurkan minuman karena kasihan melihat Tanto yang terbatuk-batuk.
"Makasih, ya," ucap Tanto. Niken mengangguk.
"Om! Om bisa memperbaiki hapeku enggak?" Niken mengeluarkan lagi hape dari kantong jaketnya.
"Aduh...Jangan panggil om, dong. Panggil abang aja," pinta Tanto.
"Abang tukang bakso! Hahaha!" Rusdi kembali terbahak. Tanto tak mempedulikan omongan Rusdi yang memang selalu usil.
"Ya. Abang bisa memperbaiki hapeku?" tanya Niken.
"Nah, gitu dong. Adem hati Abang, Neng."
Lalu Tanto mengambil hape dari tangan Niken. Tanto pun sengaja menyentuh sebentar tangan Niken.
Niken langsung menarik tangannya. Dan pasang wajah cemberut.
"Ih, makin menggemaskan." Tanto menowel hidung Niken. Niken menatap Tanto dengan garang.
"Kok ngelihatinnya begitu, sih? Mau diperbaiki enggak nih, hapenya?"
Niken langsung merubah mode galaknya jadi lebih jinak. Karena dia sangat membutuhkan hapenya untuk membuat video-video tik tok.
"Nah, gitu dong. Nanti kalau garapan Abang yang ini udah selesai, Abang cek ya?"
Niken mengangguk senang.
Dua teman Tanto yang mendengar, kembali terbahak-bahak.
"Udah jinak tuh, Man!" ucap Rusdi.
Tanto menoleh ke arah Rusdi sambil mengacungkan jari tengahnya.
Bukannya berhenti meledek, Rusdi malah semakin menjadi-jadi.
"Kayak surti tejo aja kamu, Tan!" seru Rusdi.
Tiba-tiba terdengar suara Herman menyanyikan sebuah lagu dengan nada sumbang.
"Diacungkan jari tengah, ke arah surti. Penuh dendam, dia bilang....."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments