Rasyid terkejut mendengar teriakan Laras. Reflek dia tarik tangannya. Dan menghempaskan adiknya begitu saja.
Lalu tanpa rasa bersalah, Rasyid keluar dari kamar.
"Ada apa, Ras?" tanya Rasyid pada Laras yang masih mengatur nafasnya.
"En...Enggak, Yah," jawab Laras.
"Enggak kok teriak-teriak!" sahut Rasyid.
Laras menundukan wajahnya malu. Ingin rasanya Laras menjawab ada anak buaya yang sedang olah raga di balik sarung kumal Rasyid.
Tapi tentu saja sebagai gadis yang beranjak dewasa, Laras malu mengatakannya.
"Buatin Ayah kopi, sana!" perintah Rasyid. Lalu dia duduk di sofa butut sambil menyalakan rokoknya yang tinggal sebatang.
Laras langsung meninggalkan tongkat pelnya. Dia lebih baik membuatkan kopi dari pada harus bertatapan dengan Rasyid.
Laras masih mengingat dengan jelas, mimik wajah Rasyid tadi saat memainkan anak buayanya.
Hii....Laras bergidig ngeri.
"Aku bikinin teh panas dong, Kak," pinta Niken setelah keluar dari kamar mandi.
"Enak aja! Bikin sendiri!" Laras menuangkan air panas ke dalam gelas yang sudah diberi kopi dan sedikit gula.
"Sekalian, Kak," rengek Niken.
"Airnya abis!" Laras meninggalkan Niken yang cemberut di dapur.
"Nih, Yah." Laras meletakan gelas kopi di atas meja tamu.
Dia masih belum berani menatap wajah Rasyid.
"Kenapa pakai gelas ini?" tanya Rasyid.
"Cangkir Ayah belum dicuci," jawab Laras lalu pergi meninggalkan Rasyid. Rasyid masih belum peka dengan perubahan sikap Laras barusan.
Dengan santai dia seruput kopinya.
"Akh...!"
Rasyid mengambil ponsel yang semalam ditinggalkannya di atas meja tamu. Masih ada beberapa persen batrenya.
"Ras! Ayah ambilakan charger!" teriak Rasyid. Karena bisa dipastikan, sebentar lagi ponselnya qoid.
"Lagi dipakek!" jawab Laras dari dalam kamarnya.
Rasyid berdiri dan menuju kamar Laras.
"Yang punya Ayah mana?" tanya Rasyid.
"Ayah kan selalu pinjam chargernya Niken," jawab Laras.
"Hape Niken mati. Siniin dulu chargernya!"
Laras mencabut charger yang selalu menancap di terminal kuningan meski tak ada yang memakainya.
Niken yang mendengar, jadi ingat dengan ponselnya yang kecemplung ke kolam renang bersama dirinya.
"Yah! Hape Niken gimana?" tanya Niken dari dapur.
"Nanti siang bawa ke tukang service teman Ayah!" jawab Rasyid.
Niken tersenyum senang. Niken tak tahu kalau Rasyid cuma asal ngomong saja.
Rasyid kembali ke ruang tamu. Dia menancapkan chargernya, lalu sibuk mencari sesuatu.
"Nyari apaan, Yah?" tanya Niken yang ingin memastikan kembali soal ponselnya.
"Rokok Ayah. Kamu lihat enggak?"
"Enggak. Abis, kali," sahut Niken.
Rasyid mengintip bungkus rokoknya. Lalu tersenyum aneh dan menepuk dahinya.
"Oh iya. Ayah lupa. Belikan sana!"
Niken menengadahkan tangannya.
"Uangnya?"
"Minta Laras. Dia yang bawa uang Ayah semuanya," sahut Rasyid.
Laras yang mendengarnya dari kamar, tidak terima. Dia keluar dari kamar dan menghampiri Rasyid.
"Uang apa, Yah? Kan udah abis buat bayar utang Ayah di warung bu Yanti!" sahut Laras.
"Oh iya. Ayah lupa! Berarti Ayah sudah tak punya utang lagi di sana?" tanya Rasyid. Laras mengangguk.
"Ada, Yah. Kemarin Niken beli es batu kurang seribu," sahut Niken.
"Heleh! Cuma seribu. Enggak akan membuat si Yanti jadi miskin. Lagian cuma air juga. Kamu sekarang ke sana lagi, Ken. Bilang Ayah minta rokok lagi dua!" perintah Rasyid.
"Enggak mau ah, Yah. Bu Yanti kalau ama Niken galak banget. Kakak aja. Kalau ketemu Beni kan lumayan. Kali aja malah digratisin." Niken langsung pergi meninggalkan Rasyid. Dia sampai melupakan niatnya semula ingin menanyakan soal ponselnya.
"Idih, ogah! Enak aja!" Laras pun kembali ke kamarnya.
Rasyid jadi naik darah. Dilemparnya gelas berisi kopi yang baru diseruputnya sedikit.
"Anak-anak kurang ajar!" teriak Rasyid.
Laras dan Niken segera masuk ke kamar dan bersembunyi di sana.
Rasyid mengatur nafasnya yang terengah-engah saking emosinya. Lalu menghempaskan nafasnya dengan kasar.
Rasyid yang tak bisa hidup jauh dari rokok dan kopi, merapikan sarungnya dan mengenakan kaos yang semalam ditinggalkan di sofa.
Dengan gagah dia melangkah ke warungnya Yanti.
"Assalamualaikum!" sapa Rasyid pada Yanti yang sedang menyapu lantai warungnya.
"Waalaikumsalam. Eh, Bang Rasyid. Tumben ke sini sendiri?" Yanti meletakan sapunya.
"Iya. Kangen sama pemilik warung yang paling cantik sekampung!" jawab Rasyid. Yang tentu saja membuat wajah Yanti merona.
"Bisa aja si Abang ini," sahutnya malu-malu.
"Eh, beneran. Tanya aja sama pak RT kalau enggak percaya." Kalimat Rasyid persis seperti tulisan yang ngetop di sticker whatsapp.
"Jeng Yanti enggak ke pasar?" tanya Rasyid sok akrab.
"Udah pulang, Bang. Ini kan udah siang," jawab Yanti.
"Oh iya, Abang lupa. Coba kalau tadi minta anterin ama Abang. Pasti Abang anterin." Ibarat orang mancing, Rasyid mulai melemparkan jorannya.
"Beneran Abang mau nganterin aku ke pasar?" tanya Yanti yang sudah ge er.
"Beneran. Masa Abang boong sih?" Rasyid memainkan matanya. Yanti semakin malu-malu kucing.
Yanti janda yang ditinggal kabur suaminya bertahun-tahun lalu, memutuskan untuk tetap sendiri. Mengasuh anak semata wayangnya sendiri. Dia trauma dengan sikap kasar suaminya dulu.
Tapi entah kenapa kalau di goda Rasyid, hatinya serasa porak poranda. Meskipun dia tak suka dengan sifat anak-anak Rasyid yang bandel dan menyebalkan.
Rasyid yang sudah tak bisa lagi menahan keinginannya merokok, langsung to the point meminta pada Yanti. Di hitung utang ya nanti akan dibayarnya kalau sudah punya uang, dikasih cuma-cuma juga syukur Alhamdulillah.
Walaupun kenyataannya Yanti akan menagihnya pada anak-anak Rasyid kalau datang ke warungnya.
"Udah, rokok aja?" tanya Yanti.
"Nawarin, nih?" tantang Rasyid. Yanti hanya tersenyum simpul.
"Sama obat turun panas deh. Ayu panasnya enggak turun-turun. Padahal semalam sudah Abang belikan obat yang mahal," ucap Rasyid berbohong.
"Oh, kasihan banget." Lalu Yanti mencarikan obat untuk Ayu.
"Coba kasih obat ini aja, Bang. Siapa tau panasnya turun." Yanti memberikan satu strip obat turun panas.
Rasyid membacanya. Diminum setelah makan. Rasyid berfikir, kapan mau minumnya kalau hari ini saja dia tak punya uang sepeserpun untuk membeli makanan.
"Ini diminum setelah makan, ya?" tanya Rasyid, seolah dia tak begitu tertarik.
"Iya, Bang," jawab Yanti.
"Waduh! Padahal sekarang Laras sedang sibuk mengarang novelnya yang lagi kejar tayang. Paling bisanya masak nanti siang," ucap Rasyid lalu meletakan kembali obat itu di atas etalase.
"Eh, ini dibawa saja, Bang. Sebentar, aku ambilkan makanan buat Ayu. Aku tadi masak capcay." Yanti masuk ke dalam.
Dan kembali lagi membawa satu kotak makanan.
"Ini buat makan Ayu, Bang. Biar dia bisa minum obat ini secepatnya." Yanti meletakan obat di atas kotak makanan agar dibawa sekalian oleh Rasyid.
Rasyid memandangnya seolah tak peduli.
"Sama mie instant-nya empat deh. Abang kan juga belum makan." Nah, kan. Dikasih hati malah ngelunjak.
Meski berat hati, Yanti yang sudah terlanjur terkena kail dari Rasyid, memberinya juga empat bungkus mie instant.
Rasyid tersenyum penuh kemenangan. Tak tiknya benar-benar jitu. Bukan cuma dua bungkus rokok yang didapatnya. Makan pagi buat anak-anaknya pun aman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments