Ayu langsung masuk kamar dan meringkuk di belakang tubuh tambun Rasyid, tanpa mengganti pakaiannya yang lembab.
Di rumah kontrakan Rasyid hanya ada dua kamar tidur. Satu untuk Rasyid dan Ayu, satunya untuk Laras dan Niken.
Setelah Ayu terlelap karena kelelahan, Rasyid membalikan tubuhnya. Tanpa membuka matanya, Rasyid yang sudah mengenali bau tubuh Ayu yang agak asem, memeluknya dengan erat.
Sesaat Rasyid terdiam, merasakan lembab pakaian Ayu. Sesaat kemudian dia membuka matanya, lalu tangannya memegang pakaian Ayu yang lembab.
Lalu tangannya naik ke dahi Ayu. Dahi Ayu panas. Ayu demam.
Rasyid panik dan langsung beranjak dari tidurnya. Dia membangunkan Ayu.
"Ayu, Sayang. Bangun, Nak. Ganti pakaianmu dulu."
Rasyid mengguncang bahu Ayu. Tapi Ayu bergeming. Rasyid terus saja membangunkan Ayu.
"Ayu, bangun."
Ayu hanya menggeliatkan tubuh kurusnya, tanpa membuka matanya.
"Laras!" teriak Rasyid panik.
"Iya, Yah!" sahut Laras yang baru keluar dari kamar mandi.
Laras bergegas masuk ke kamar Rasyid.
"Ada apa, Yah?" Laras mendekat.
"Gantikan pakaian adikmu. Pakaiannya lembab. Badannya juga panas." Rasyid keluar dari kamarnya.
Dengan malas, Laras membangunkan Ayu yang sudah lemas tak berdaya.
"Bangun! Ganti bajunya!" bentak Laras.
Karena Ayu tak juga bangun, terpaksa Laras melepaskan pakaian Ayu dan menggantinya dengan yang baru.
"Sudah, Yah," ucap Laras. Lalu meninggalkan Rasyid yang sedang menghisap rokoknya.
"Eh, jangan pergi dulu! Buatkan kopi!"
Laras menoleh.
"Kan tadi Ayah sudah ngopi!" sahut Laras.
"Udah abis!" jawab Rasyid sambil menyeruput kopinya yang hanya tinggal ampas.
Laras menghela nafasnya kasar. Lalu mengambil cangkir alumunium Rasyid.
Ceklek!
Ceklek!
"Yah...! Gasnya abis!" teriak Laras dari dapur.
"Ya beli lah!" sahut Rasyid dengan santai sambil membuka ponselnya.
Laras berjalan mendekati Rasyid. Lalu mengulurkan tangannya.
"Mana uangnya?"
"Uang kan sudah Ayah kasih ke kamu semua! Gimana sih?"
"Ayah yang gimana? Itu kan uang buat belanja besok!" sahut Laras.
"Dipakai dulu kan enggak apa-apa!"
"Terus buat belanja besok, bagaimana?" tanya Laras.
"Gampanglah. Lagi pula memangnya besok kamu masak enggak perlu gas?"
Laras menghentakan kakinya karena kesal. Lalu kembali lagi ke dapur untuk mengambil tabung gas yang kosong.
"Heh, Niken! Bangun kamu! Beliin gas!" Laras mengguncang bahu Niken yang baru saja tertidur.
"Aah, aku ngantuk. Kakak aja." Niken membalik tubuhnya dan memeluk guling kesayangannya yang sudah kempes.
"Dasar pemalas!" umpat Laras. Lalu dia ambil uang di kantong celananya.
Laras membawa tabung gasnya ke warung yang tak jauh dari rumah.
"Bu! Beli!" teriak Laras. Karena ibu tukang warungnya tak ada di tempat.
Yanti, perempuan setengah baya pemilik warung, keluar.
"Eh, Laras. Beli apa?"
"Gas, Bu," jawab Laras.
"Tapi bayar cash, ya? Yang kemarin ayahmu ambil rokok sama kopi belum bayar soalnya. Apa mau dibayar sekarang?"
"Enggak, Bu. Nanti saja Laras bilang ke ayah," sahut Laras.
Yanti hanya menghela nafasnya saja. Lalu mengambilkan tabung gas baru.
"Nih. Jangan lupa bilang ke ayah kamu. Aku kan juga butuh buat belanja lagi. Untungnya jual rokok itu kecil," omel Yanti.
"Iya, Bu. Ini uangnya." Laras menyerahkan lembaran lima puluh ribuan.
"Lah ini ada uang. Sekalian buat bayar saja, ya?"
"Jangan, Bu. Itu uang buat makan besok." Laras mulai enggak enak perasaannya. Karena sifat Yanti yang suka main potong saja.
Dan benar juga, Yanti hanya memberikan kembalian ke Laras lima ribu perak.
"Nih, kembaliannya lima ribu. Utang ayah kamu lunas!"
Laras hanya terdiam menatap uangnya yang hanya tersisa lima ribu perak.
Yanti kembali masuk ke dalam, tanpa bicara apa-apa lagi.
Dengan kesal Laras mengambil uang kembaliannya. Lalu menggenggamnya.
Impiannya besok mau masak spesial untuk menyambut kedatangan Tomi, kandas sudah. Dengan langkah lunglai Laras berjalan pulang.
Sampai di rumah, Rasyid sedang asyik dengan ponselnya.
"Yah!" panggil Laras.
"Mm!"
"Uangnya yang buat masak besok pagi, udah abis!" ucap Laras.
"Kok bisa?" Mata Rasyid tak beralih sedikitpun dari ponselnya.
"Bu Yanti langsung memotongnya. Katanya kemarin Ayah punya utang di sana!" jawab Laras dengan kesal, karena Rasyid tak mempedulikannya.
"Ya sudah. Yang penting utang Ayah sudah lunas, kan?"
"Yah! Acara Laras besok juga penting!" seru Laras yang semakin kesal.
Rasyid mengangkat wajahnya. Dia tatap wajah Laras lekat-lekat.
"Kamu tahu enggak? Kamu sudah mengganggu konsentrasi Ayah. Nih, Ayah jadi salah pencet. Sudah sana ke dapur! Ayah sudah haus!"
Laras tak berani membantah lagi, kalau Rasyid sudah meninggikan suaranya. Apalagi tatapan matanya seperti akan menelan Laras hidup-hidup.
Laras tidak mau dia akan menggantikan Ayu meringkuk di kamar mandi berjam-jam.
Laras memasang regulator kompor ke tabung gas.
Ceklek!
Belum menyala. Laras mengganti karet gasnya dengan yang lain.
Ceklek!
Masih belum menyala juga. Laras membuka lagi regulatornya. Lalu menggantinya dengan yang baru. Tapi malah berdesis.
Laras menggantinya lagi. Berkali-kali. Sampai akhirnya dia putus asa. Dan berjalan ke tempat Rasyid sedang mengedit foto perempuan dengan ponselnya.
"Yah! Gasnya enggak bisa dipasang!" ucap Laras.
"Enggak bisa dipasang apa kamu yang enggak bisa masang?"
Laras diam saja. Wajahnya cemberut. Kesal dengan pertanyaan Rasyid. Dia sudah setengah mati berusaha tapi diremehkan.
Rasyid yang juga sudah kesal karena diganggu terus, akhirnya berdiri. Lalu berjalan ke dapur dan memasangkan regulatornya.
Tok. Tok. Tok.
Rasyid mengetok pelan regulator yang sudah terpasang. Dan segera menyalakan kompornya.
Ceklek!
Api menyala sempurna. Rasyid menghela nafasnya. Begini saja mesti harus aku yang ngerjain, batin Rasyid dengan kesal.
"Laras! Nih, udah nyala!" Rasyid kembali ke singgasananya.
Laras berjalan ke dapur dan mulai memasak air untuk membuatkan kopi.
"Nih, Yah. Kopinya." Laras meletakan cangkir alumunium yang hanya dibuang ampas kopinya saja.
"Makasih, Cantik," ucap Rasyid sambil tersenyum.
Laras yang masih kesal, melengos dan kembali ke kamarnya. Dia akan melanjutkan tulisannya.
"Yah...Ayah..." Suara Ayu mengigau terdengar dari tempat Rasyid duduk.
"Iya, Nak!" sahut Rasyid tanpa beranjak dari duduknya.
Rasyid hanya duduk di lantai. Kalau harus bolak-balik berdiri, dia agak kepayahan. Badannya yang tambun cukup menyulitkannya.
"Yah...Ayah...." Suara Ayu kembali terdengar.
"Iya, Nak. Ayah di sini." Rasyid tetap tak beranjak.
Beberapa menit kemudian, Rasyid menangkap suara lenguhan dari kamarnya.
Dengan susah payah Rasyid berdiri dan masuk ke kamarnya. Dilihatnya Ayu yang gelisah meski masih memejamkan matanya.
Rasyid menyentuh dahi Ayu. Panasnya semakin tinggi. Aduh, bagaimana ini? Rasyid panik.
"Laras...! Niken....!" teriak Rasyid. Tapi kedua anaknya yang sudah tertidur, tak ada yang mendengar.
Rasyid berjalan ke kamar mereka.
"Laras! Niken! Bangun!" teriak Rasyid di dekat telinga mereka berdua.
Spontan Laras dan Niken terbangun.
"Ada apa, Yah?" tanya Laras yang baru saja terlelap.
"Ayu demam!" jawab Rasyid dengan berteriak.
"Hah...!" seru Laras dan Niken bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments