Seperti biasanya, dengan semangat Laras pergi ke ATM terdekat, untuk mengambil semua uang ayahnya. Dengan menaiki motor butut yang diberi oleh sepupu ayahnya.
Laras tak pernah mau tahu uang itu dari siapa, yang penting kebutuhan dan keinginannya terpenuhi.
Sambil menunggu antrian di mesin ATM, Laras berselancar lagi di dunia maya. Salah satu hobi Laras selain menulis.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Mungkin itu kalimat kiasan yang tepat untuk Rasyid.
Kedua putrinya cukup eksis di jagad maya. Kecuali Ayu, bukan karena usianya saja yang masih terlalu belia, dia juga belum memiliki ponsel sendiri.
Selesai mengantri, Laras kembali memacu motornya kembali ke rumah.
"Ini, Yah. Laras ambil semua." Laras memberikan semua uang ayahnya.
Rasyid mengambilnya lalu menghitung dengan teliti. Laras masih duduk di lantai, di dekat Rasyid biasa menghabiskan waktunya.
"Ini kamu beli nasi padang empat bungkus. Ini buat beli rokok ayah dua bungkus, sisanya belikan gula dan kopi. Jangan lupa kalau ada sisa lagi belikan mie instant. Ini nanti buat uang jajan kalian. Dan sisanya buat kamu belanja besok pagi. Katanya mau masak." Rasyid membagi-bagi uangnya hingga habis tak bersisa.
"Iya, Yah," jawab Laras dengan patuh. Laras tak pernah menentang omongan ayahnya. Berbeda dengan Niken, adiknya. Dia sering sekali harus menerima pukulan dari ayahnya karena tak menurut.
Laras mengantongi uang ayahnya. Lalu kembali keluar untuk membeli nasi padang.
"Kak! Mau kemana?" tanya Ayu yang melihat Laras menstater motor.
"Beli nasi padang!" jawab Laras agak kencang, karena suara motor sudah terdengar.
"Ayu ikut!" Ayu langsung memakai sandal jepitnya.
"Enggak usah. Kamu tunggu saja di rumah. Kamu kan belum mandi." Laras langsung tancap gas.
Ayu memandang kepergian kakaknya dengan kecewa. Lalu melepas lagi sandal jepit bututnya dan kembali memainkan boneka-bonekanya.
"Ayu enggak jadi ikut kakak?" tanya Rasyid.
"Enggak boleh sama kakak," jawab Ayu sambil terus memainkan bonekanya.
Rasyid mengacak rambut keriting Ayu yang sudah berantakan, jadi makin acak-acakan.
"Iih. Ayah! Entar kakak bilang kalau Ayu belum mandi kalau rambut Ayu berantakan!" Ayu merajuk.
"Memangnya kamu sudah mandi?" tanya Rasyid. Dia jarang melihat anaknya mandi, karena bangunnya saja jam sebelas siang. Itu paling cepat. Kadang sampai jam dua siang Rasyid baru menggeliatkan tubuh gempalnya.
Rasyid membalik jam tidurnya. Malam dia begadang di medsos. Karena itulah saatnya perempuan-perempuan kesepian berkeliaran di jagad maya.
Jika pun perempuan-perempuan itu bersuami, tengah malam adalah waktu yang tepat setelah pasangan mereka tidur.
Kalau kebetulan di rumah tak ada makanan apapun, anak-anaknya harus menahan lapar sampai Rasyid bangun.
Rasyid akan sangat marah kalau tidurnya diganggu. Ketiga anaknya yang sudah hafal perangai Rasyid tak ada yang berani mengganggu.
"Belum!" Niken yang baru keluar dari kamar langsung menyahut. Lalu mendekati Ayu dan ikut mengacak rambut Ayu.
"Kakak! Nanti rambut Ayu berantakan!" teriak Ayu kesal.
"Memang rambut kamu sudah berantakan. Weekkk." Niken menjulurkan lidahnya dan pergi begitu saja.
Ayu cemberut. Dia tak berani lagi protes dengan sikap usil kakaknya. Karena jelas dia akan kalah.
Tak lama, Laras datang. Dia membawa dua kantong plastik. Dan memarkirkan motornya di teras samping rumahnya.
"Niken!" panggil Laras.
"Iya, Kak!" sahut Niken dari ruang tamu.
"Ini bantuin! Ngapain aja sih, kamu?" bentak Laras.
"Mau tau aja!" Niken meraih kantong plastik yang berisi empat bungkus nasi padang. Lalu meletakannya di lantai tanpa alas.
Niken ke dapur mengambil empat buah sendok dan segelas air putih untuknya sendiri.
"Woy! Makan, nih makan. Nasi padang coy!" Niken memanggil semua penghuni rumah untuk makan bersama.
Salah satu kelebihan keluarga Rasyid, mereka selalu makan bersama-sama. Dan belum mulai kalau masih ada yang belum datang.
"Yang bener dong Kak, kalau manggil! Begini nih." Rasyid bersiul dengan keras.
"Tuh, kan. Pada datang!" ucap Rasyid. Lalu mulai membuka bungkusannya.
"Ini sama aja semua, Kak?" tanya Rasyid. Karena biasanya punya dia dibedakan.
"Ini yang punya Ayah. Nasinya double." Laras mengambil bungkusan yang ada di depan Ayu.
"Kamu gimana sih, dek. Bego banget jadi anak." Niken yang duduk di sebelah Ayu, menoyor kepala Ayu dengan kencang.
"Udah tau itu punya Ayah!" lanjutnya.
"Ayu kan enggak tau," sahut Ayu.
"Ya enggak tahulah. Orang kamu memang bego!" Laras menimpali.
"Eeh! Kalian ngapain sih, mau makan aja ribut terus!" hardik Rasyid yang merasa terganggu.
Langsung ketiga anaknya terdiam. Dan memulai makannya masing-masing.
"Udah pada berdoa belum?" tanya Rasyid. Padahal dia sendiri kalau mau makan, langsung lep saja.
"Udah, Yah...!" jawab ketiga anaknya bersamaan.
Mereka makan dengan tertib. Rasyid paling tidak suka anak-anaknya bercanda saat makan.
Rasyid menghabiskan makanannya tanpa menyisakan satu butir nasi pun. Bahkan tulang dari ayam bakarnya bersih, tak ada sisa sedikitpun daging yang menempel.
"Eeekkkhhh!" Rasyid bersendawa dengan kencang.
"Kak, ada tusuk gigi enggak?" tanya Rasyid. Kebiasaannya setelah makan, selalu mencongkel-congkel sisa makanan di giginya. Yang lalu akan ditelannya lagi. Katanya biar ketemu teman-temannya di dalam perutnya.
"Enggak ada, Yah. Kemarin sama si Ayu dibuat mainan, malah dipatah-patahin," jawab Laras.
"Emang dasar bego ini anak!" Niken menoyor kepala Ayu lagi.
"Iih...! Kakak!" teriak Ayu yang kesal. Dia selalu yang disalahkan. Padahal kemarin yang matah-matahin Niken. Dan Ayu diancam tidak boleh mengadu pada Rashid.
"Niken! Kamu jangan nakal sama adikmu, kenapa sih?" Rasyid juga kesal karena Niken sering sekali mengganggu Ayu.
"Ya udah kamu ambilkan lidi di depan, Kak," perintah Rasyid pada Laras.
"Lidi apaan, Yah?" tanya Laras tak mengerti.
"Lidi yang dipakai buat nyapu halaman itu," jawab Rasyid.
"Kan kotor, Yah. Udah buat nyapu, juga."
"Dicuci dong! Punya inisiatif, kek!" Rasyid mulai naik darah.
Laras yang sudah hafal karakter ayahnya, segera berlari ke samping rumah. Diambilnya satu batang lidi lalu dia lap dengan serbet yang biasa buat mengelap motor.
"Nih, Yah."
Rasyid melihat lidinya yang sudah bersih, lalu mematahkannya. Dan mulai mencongkel-congkel giginya.
"Niken! Ayah buatkan kopi, Nak." perintah Rasyid sambil terus asik mencongkel dan menyesap giginya.
"Ayu saja, Yah. Niken mau nyuci sendok!" Lalu Niken berjalan ke dapur. Padahal meja buat bikin kopi juga ada di dapur, tapi dasar Niken pemalas.
"Ayu mau kan bikinin kopi buat Ayah?" tanya Rasyid dengan lembut.
Ayu mengangguk. Meski baru berusia sepuluh tahun, tapi Ayu pintar membuat kopi. Kata Rasyid, kopi buatan Ayu enak.
"Ini, Yah." Kopi buatan Ayu sudah siap. Rasyid meletakan di sebelah dua bungkus rokoknya.
Rasyid menghisap rokok sambil duduk selonjoran. Kaosnya sudah dilepas. Hingga terlihatlah perut buncitnya.
Rasyid benar-benar melewati hidupnya tanpa harus kerja keras lagi. Mau makan apa saja tinggal calling perempuan-perempuan simpanannya.
Badannya pun makin subur. Gemuknya gemuk patungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments