Laras dan Niken segera turun dari tempat tidur, lalu berlari ke kamar Ayu.
Meski mereka sering menjahili bahkan membully Ayu, tapi sebenarnya mereka sangat sayang.
Laras segera menyentuh dahi Ayu. Jauh lebih panas dari saat dia menggantikan pakaian Ayu tadi.
"Niken! Belikan es batu buat mengompres Ayu!" perintah Laras dengan panik.
"Uangnya mana?" tanya Niken. Dia tak punya uang sepeserpun.
Laras merogoh kantong celananya. Lalu menemukan dua coin lima ratusan.
"Nih!"
Niken mengambil uang recehan itu dan berlari ke warung milik Yanti.
"Bu. Ada es batu?"
Kebetulan Yanti ada di dalam warungnya.
"Ada. Mau berapa?" tanya Yanti tak acuh. Dia sudah hafal semua anak-anak Rasyid. Apalagi dengan anak keduanya ini yang bengal, menurut Yanti.
"Satu, Bu. Cepetan! Adik saya lagi demam. Ini mau buat kompren dia!" sahut Niken panik.
Yanti tak tersentuh sedikitpun dengan ucapan Niken. Karena dia pernah beberapa kali dikelabuhi anak bengal ini.
"Nih! Dua ribu!" Yanti menyerahkan sebuah es batu tanpa diberi kantong plastik.
Niken mengambilnya, lalu meletakan uang recehnya di atas toples permen.
"Kurangnya nanti, Bu!"
Niken langsung melesat meninggalkan warung Yanti, bagai pesawat jet.
"Dasar anak kurang ajar!" sungut Yanti sambil mengambil uang recehan Niken.
"Siapa, Bu?" tanya Beni, anak Yanti yang seusia Laras.
"Itu, si Niken. Anaknya Rasyid. Nyebelin!"
Beni tersenyum melihat ibunya yang kesal.
"Namanya juga anak-anak, Bu. Biarkan saja," ujar Beni.
"Anak-anak gimana? Dia sudah SMA gitu kok. Ayahnya saja yang enggak bisa ngajar anaknya. Jadi kurang ajar begitu, kan?" omel Yanti.
"Sstt. Jangan menghakimi orang lain, ah. Enggak baik." Lalu Beni masuk kembali ke dalam. Kalau dia meladeni omongan ibunya, bukannya berhenti tapi malah akan menjalar ke mana-mana. Seperti api yang disiram bensin.
Sementara Niken, sudah sampai di depan kamar Ayu.
"Nih, Kak." Niken malah menaruh es batunya di lantai. Tangannya kebas dan mati rasa karena menahan dingin.
"Bawa sini! Kok malah ditaruh di lantai!" Laras sudah menyiapkan baskom yang diisi air biasa dan handuk kecil.
"Sebentar, Kak. Tanganku kaku rasanya." Niken mengibas-ngibaskan tangannya lalu mengeringkan tangannya dengan kaos yang dipakainya.
Niken mengambil kembali es batu yang diletakan di lantai tadi.
"Jangan dibuka plastiknya, Kak. Nanti kan bisa buat bikin es teh," ucap Niken.
"Ya udah kamu masak air buat bikin tehnya. Kayaknya di dapur masih ada teh celup sachet."
Niken mengangguk lalu bergegas ke dapur. Laras mulai mengompres dahi Ayu.
"Dingin, Kak," kata Ayu lalu menjauh kan dahinya.
"Jangan begitu. Lepaskan handuknya. Ini biar panas badan kamu turun."
Laras mengambil lagi handuknya lalu meletakan kembali di dahi Ayu. Ayu menurut meski dahinya terasa dingin.
Rasyid masuk ke kamar sambil membawa ponselnya.
"Tangan kamu taruh di dahi Ayu dulu, Ras. Ayah mau foto," ucap Rasyid. Lalu membuka kamera ponselnya.
Cekrek!
"Sebentar, sekali lagi." Rasyid mengambil foto mereka lagi dari sudut yang berbeda.
Kalau soal ambil foto dengan angle yang pas, Rasyid jagonya.
"Mau buat apa, Yah?" tanya Laras yang sudah berakting seolah dia sedang sibuk merawat adiknya yang sedang sakit.
"Sudah diam. Mau tau aja." Lalu Rasyid keluar lagi dari kamar.
"Yah, fotonya kirim ke Laras, ya?"
"Mau buat apa?" tanya Rasyid yang sudah sampai di pintu.
"Mau tau aja!" sahut Laras membalas jawaban Rasyid tadi.
Rasyid tertawa tergelak. Lalu duduk lagi di lantai, singgasana ternyamannya.
"Kamu ngapain, Niken?" tanya Rasyid melihat Niken sibuk di dapur, dari tempatnya duduk.
"Bikin teh, Yah. Nanti kalau sudah dingin mau dikasih es batu."
Rasyid hanya tersenyum. Dia bangga dengan kreatifitas anak-anaknya meski hidup dalam kekurangan.
"Udah dikirim, Yah?" tanya Laras yang sudah keluar dari kamar Ayu.
"Apanya?" Rasyid mengerutkan dahinya.
"Iih, Ayah! Fotonya yang tadi!" sahut Laras dengan kesal.
"Ooh. Iya sebentar." Rasyid membuka galery-nya. Lalu mengirimkan beberapa foto yang diambilnya tadi.
Kling!
Kling!
Kling!
Tiga buah foto terkirim di ponsel Laras. Laras tersenyum melihat hasil jepretan Rasyid.
Lalu segera mengedit foto-foto itu. Kepandaian yang diajarkan oleh Rasyid dengan menggunakan aplikasi.
"Hhh! Sempurna!" gumam Laras. Lalu memposting di medsosnya dengan caption : Cepat sembuh ya, adikku cayang. Lalu dikasih emoji love-love.
Setali tiga uang dengan Laras, Rasyid juga mengedit hasil jepretannya hingga terlihat sangat natural. Dan Rasyid mempostingnya juga.
Beberapa menit setelah posting, munculah notifikasi di akun medsosnya. Rasyid membiarkannya dulu. Dia akan menyaring dulu sebelum menjawab komentar-komentar mereka.
Dia buka satu persatu beberapa komen dari teman yang belum begitu dikenalnya.
"Hhh! Sip!" gumam Rasyid.
Lalu dia membalas komenan perempuan bergambar bunga lili di profil akun medsosnya.
"Makasih doanya, Bunda." Begitu jawaban Rasyid dengan menyertakan emoji love.
Lalu akun yang bernama Bunda Lili itu, membalas lagi komenan Rasyid.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Rasyid berganti komen lewat messenger. Dan berhasil!
Bunda Lili membalas messengernya. Dengan semangat Rasyid berbalas pesan dengan si bunda Lili.
Hingga terakhir, Rasyid mengirimkan pesan begini: Kita lanjut nanti malam ya, Bun. Aku mau ngurus Ayu dulu. Bye. Tak lupa emoji love.
Rasyid tersenyum penuh arti. Target selanjutnya sudah di tangan. Lalu Rasyid membuka foto-foto di akun target barunya. Dan menyimpannya di ponsel.
Dengan modal beberapa buah foto yang dicurinya itu, Rasyid akan menjadikannya umpan untuk menarik targetnya.
Rasyid mulai sibuk mengedit foto-foto itu dengan sempurna.
"Sip!" Rasyid tersenyum senang. Lalu menyeruput kopinya yang sudah dingin dan menyalakan rokoknya.
Indah sekali hidup ini. Bodohnya si Salma. Dia malah pergi meninggalkanku. Coba dia masih ada di sini, tidak perlu capek-capek kerja jadi ART. Dia bisa merawat anak-anak di rumah.
"Heh! Ayu!" Rasyid terkesiap teringat Ayu yang tadi demam.
Rasyid segera bangkit dan berdiri. Lalu masuk ke kamar Ayu.
Ayu masih terbaring tak berdaya. Wajahnya malah terlihat pucat, dan panas badannya makin tinggi.
Ayu mengigau tak jelas. Rasyid jadi semakin panik. Dia tak punya lagi uang sepeserpun. Bagaimana caranya dia menyembuhkan Ayu?
Ke dokter jelas tidak mungkin. Apalagi ke rumah sakit. Bisa-bisa Ayu disuruh opname. Uang dari mana untuk biaya opname?
Selama ini Rasyid tak pernah memiliki jaminan kesehatan apapun. Kerena KTP dan KK-nya pun tak jelas. Tak pernah diurus lagi sejak berpisah dengan Salma.
Rasyid berfikir keras, bagaimana caranya mendapatkan pengobatan untuk Ayu.
"Ayah kenapa?" tanya Laras yang masuk ke kamar Ayu. Dia akan mengganti kompresan Ayu.
"Ayu makin parah, Nak. Ayah tidak tau mesti bagaimana. Ayah sudah tak punya uang lagi," ucap Rasyid sedih.
Laras mendekat dan memeluk Rasyid yang tidak mengenakan kaos itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments