"Ayah, kita harus bagaimana? Ayu makin panas." Laras menangis di pelukan Rasyid.
"Kamu tungguin Ayu dulu. Ayah mau cari uang." Rasyid membangunkan Niken yang masih tidur lelap.
"Niken! Bangun. Ikut Ayah!" seru Rasyid di dekat telinga Niken.
Niken kalau tidur sudah mirip kebo mati. Suara Rasyid yang cukup keras pun tak akan mengusiknya.
"Niken! Buruan. Ayah mau mandi dulu!" teriak Rasyid lagi.
"Iya, Yah!" Niken menggeliat dan membuka mata sebentar, setelah tahu Rasyid pergi, dia membalikan badannya dan memeluk guling kesayangannya lagi.
Rasyid bergegas mandi. Asal kena air saja sudah cukup buatnya.
"Laras! Ambilkan Ayah handuk!" Kebiasaan Rasyid kalau mandi tak pernah membawa handuk. Dia akan berteriak memanggil siapapun untuk mengambilkannya.
Laras yang mendengarnya, menggerutu. Kebiasaan!
"Nih, Yah!" Laras mengulurkan tangannya ke dalam kamar mandi. Matanya menatap ke arah lain. Takut melihat senjata Rasyid yang pernah tak sengaja dilihatnya.
Rasyid meraih handuk kumal miliknya. Lalu melilitkan di perut buncitnya. Dan dengan santai berjalan mendahului Laras.
"Yah, bolong tuh handuknya." Laras melihat bokong Rasyid sedikit terlihat dari lubang handuk.
"Ya kamu sudah tau handuk bolong dikasihkan ke Ayah," sahut Rasyid tanpa rasa risi.
"Itu kan handuk Ayah sendiri!" jawab Laras.
"Pinjem punya kamu kan bisa!" sahut Rasyid sambil terus berjalan ke kamarnya.
Bukannya menutupi bagian tubuhnya yang terlihat, Rasyid malah langsung membuka handuknya setelah mengambil CD-nya.
"Ih, Ayah!" seru Laras yang juga masuk ke kamar Rasyid.
"Ya kamu ngapain masuk ke sini?" Rasyid tanpa rasa risi melanjutkan memakai pakaiannya.
"Kan Laras mau nungguin Ayu." Laraspun bukannya keluar dari kamar, malah rebahan di sebelah Ayu. Dia kembali membuka ponselnya dan menjawab komenan teman-temannya di akun medsosnya.
"Mana Niken?" tanya Rasyid setelah rapi.
"Auukk!" jawab Laras cuek. Matanya tak beralih sedikitpun dari ponselnya.
"Kebangetan tuh anak. Kayaknya minta disiram pake air!" rutuk Rasyid.
"Eh, jangan Yah! Nanti kasurku basah!" sergah Laras yang tidur satu tempat tidur dengan Niken.
"Ya sudah, bangunin sana. Bilang kalau Ayah sudah siap." Rasyid juga berjalan keluar ke tempat kaca cermin untuk memastikan penampilannya.
Dengan kesal, Laras berdiri dan menuju ke kamarnya.
"Mana lagi kacanya?" Rasyid kebingungan mencari kaca.
"Ras! Mana ini kacanya?" tanya Rasyid pada Laras yang baru saja keluar dari kamar.
"Di kamarku, Yah. Heheh." Laras ke kamarnya membangunkan Niken yang masih terlelap. Rasyid pun menyusul mengambil kaca cermin yang tadi dipakai anak-anaknya untuk membuat video tik tok.
"Kalau habis pakai, dibalikin dong," gumam Rasyid. Lalu membawa kaca cermin itu dan mengembalikan ke tempatnya.
"Eh, Niken! Bangun! Tuh mau diajak Ayah makan di luar!" Laras membohongi Niken agar segera bangun. Karena hanya makanan saja yang mampu membangunkan Niken.
Niken langsung membuka matanya dan duduk.
"Serius, Kak?" tanya Niken bersemangat.
Laras hanya mengangkat bahunya. Lalu meninggalkan Niken yang masih belum kumpul nyawanya.
"Niken...! Cepetan!" Teriak Rasyid dari depan kaca.
"I...Iya, Yah!" Niken langsung turun dari tempat tidurnya.
"Kita mau makan di mana, Yah?" Niken semakin yakin karena melihat Rasyid yang sudah klimis.
Rambut basah yang disisir ke belakang. Dan jenggot panjangnya yang juga dia sisiri biar rapi. Meskipun nanti bakal kena angin juga.
"Gampang nanti. Udah buruan siap-siap!"
Niken langsung ke kamar mandi untuk cuci muka. Biar wajahnya terlihat lebih segar.
"Ras! Mana topi Ayah?"
Rasyid punya kebiasaan memakai topi baret kalau bepergian. Begitu juga Niken, dia tak pernah meninggalkan topi bucketnya.
"Di kamar Laras juga, Yah! Tadi malam dipakai Niken!" seru Laras dari atas tempat tidur Ayu.
"Ken! Sekalian ambilkan topi Ayah!" ucap Rasyid pada Niken yang mau masuk ke kamar.
"Nih!" Niken memberikan dulu topi Rasyid biar enggak ngomel terus.
Kebiasaan Rasyid juga, kalau mau pergi ribetnya melebihi emak-emak. Dia harus tampil meyakinkan, agar orang menganggap hidupnya sudah mapan.
"Ras! Jaga Ayu yang bener. Nanti Ayah pulang bawa obat buat Ayu."
"Iya, Yah. Pulangnya bawain makanan, ya?" sahut Laras.
"Makanan mulu dipikirin. Badanmu jadi gendut, baru tau rasa!" Rasyid keluar dan segera menstater motornya.
"Ayo naik!" perintah Rasyid pada Niken.
Niken langsung nyemplak di belakang Rasyid.
Baru jalan beberapa meter dari rumahnya, motor tiba-tiba mati.
"Waduh! Kenapa ini?" Rasyid dan Niken turun dari motor.
"Bensinnya kali, Yah!"
"Kemarin kan Ayah baru beli satu liter?"
"Ya kan udah dipakai kemana-mana," jawab Niken.
"Kemana-mana bagaimana? Ayah enggak pergi kemana-mana, kok?" Rasyid mengingat-ingat.
"Iya, Ayah enggak kemana-mana. Tapi Laras kan kemana-mana pakai motor." Niken yang suka kesal pada Laras, mengadu.
"Ah. Rese itu anak. Pakai motor enggak mau isiin bensin. Kayak gini kan Ayah juga yang repot. Mana Ayah enggak ada uang sama sekali, lagi!" Rasyid mengomel sendiri.
Niken bersorak dalam hati. Sukurin kamu, Kak. Nanti pasti bakal diomelin Ayah.
Terpaksa Rasyid berjalan kaki sambil menuntun motor. Niken yang mendorong dari belakang.
Niken tak berani bertanya mau sampai mana mendorong motornya. Karena muka Rasyid sudah asem.
Sampai di kios bensin terdekat, Rasyid berhenti. Niken bingung, bukannya tadi Rasyid bilang enggak punya uang? Kenapa sekarang malah berhenti di kios bensin?
"Bu. Bensinnya dua liter."
Ibu-ibu penjual bensin segera mengisikan.
"Berapa, Bu?" tanya Rasyid sambil pura-pura merogoh kantong celananya.
"Dua puluh lima ribu, Pak," jawabnya.
Rasyid pura-pura panik. Si pemilik kios bensin menatap sambil mengerutkan keningnya. Niken tak kalah bingungnya. Karena tau Ayahnya jarang membawa dompet.
"Bu. Saya ambil dompet dulu, ya? Rumah saya dekat kok. Nih, anak saya nunggu di sini," ucap Rasyid sambil menatap wajah pemilik kios dengan tajam, membuat si ibu itu tersipu malu.
"Iya, Pak. Bawa dulu saja, enggak apa-apa," jawab si ibu malu-malu.
"Beneran nih, enggak apa-apa?" Rasyid semakin dalam menatapnya, bahkan dengan senyuman paling manisnya.
"Iya, Pak. Enggak apa-apa." Si ibu itu merasa terbang melayang ditatap Rasyid seperti itu.
Meski Rasyid berbadan subur, tapi wajah Rasyid yang masih berdarah timur tengah, membuatnya punya daya tarik tersendiri bagi kaum perempuan.
"Masya Allah! Ibu makin cantik saja. Kayaknya kita seumuran ya, Bu? Eh, maaf. Siapa nama Ibu?"
"Saya Wati, Pak. Panggil saja Mbak Wati," jawab Wati.
"Oh iya, Mbak Wati. Masya Allah nama yang cantik sekali, secantik orangnya. Awet muda lagi."
Wati tersenyum malu. Sementara Niken sudah jengah dengan akal bulus Rasyid yang bukan hanya kali ini saja di dengarnya.
"Ya sudah, Mbak Wati yang cantik, saya permisi dulu. Nanti pulangnya saya mampir ke sini. Ini saya mau ambil uang di rumah teman saya. Assalamualaikum, Cantik."
"Waalaikumsalam." Wati sampai lupa menanyakan nama.
Rasyid dan Niken segera berlalu dari kios bensin itu.
"Ayah hebat! Lumayan dua liter!" puji Niken.
"Siapa dulu dong...Ayah gitu, loh!" sahut Rasyid bangga, dan terus melajukan motornya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments