BAB 18 - Mas Fahri?

"Baiklah Mas! Aku akan tidur denganmu!"

Ku katakan itu antara yakin dan ragu. Aku yakin karena kasihan dengannya, tapi ragu karena memang kami tidak pernah tidur bersama.

Mas Fahri tersenyum. "Sekalian, semua pakaianmu pindahkan ke lemari yang masih kosong di kamarku."

Kembali, aku tidak bisa menolak. "Baik, Mas."

Waktu tidur tiba. Mas Fahri yang sudah duduk di atas kasur menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya. "Sayang, sini."

Aku yang sudah gusar sejak tadi semakin dibuatnya panik. mungkin sangat nampak jelas di matanya saat ini.

"Jangan takut, aku tidak akan berbuat macam-macam," tuturnya yang membuatku sedikit lega.

Aku yang masih berpakaian lengkap dengan jilbab berjalan mendekat ke arahnya. Mengambil posisi di sebelah Mas Fahri dan langsung berbaring memunggunginya.

"Posisi tidurnya koq gitu?" protesnya.

Ck!

Mas Fahri, benar-benar, sudah dikasih hati minta jantung!

Andai saja kamu nggak sakit, sudah kusleding kamu Mas!

"Maaf Mas, hidungku sebelah mampet, jadi akan lebih nyaman jika posisi tidurku seperti ini."

"Benarkah? Kamu sakit? Sudah minum obat belum?"

Aku suka perhatianmu Mas. Tapi, kamu melakukan itu karena kamu pikir aku ini Arumi kan?

Aku masih tetap pada posisi. "Oh, sudah koq Mas, tenang aja." Padahal aku sama sekali tidak ada minum obat, karena memang aku sedang tidak sakit.

Maafkan aku sudah berbohong, ya Mas?

Sesaat kemudian, kantuk menyerang kedua mataku dan tak terasa aku mulai terlelap.

Lirih, sangat lirih. Antara sadar dan mimpi aku mendengar Mas Fahri mengucapkan sesuatu.

"Zahira, maafkan aku karena sudah bertindak sejauh ini."

****************

Keesokan harinya.

Seperti biasa aku sudah terbangun dari tidur saat waktu sebelum subuh. Membuka mata, mengedarkan pandangan ke segala arah baru aku sadari bahwa aku berada di kamar Mas Fahri.

Mas Fahri masih tidur dengan posisi menghadap ke arahku. Ranjang yang tidak terlalu luas membuat posisi kami lumayan dekat. Aku membalik badan menatap ke arahnya.

Melihatnya tertidur begitu membuatku semakin kasihan. Semoga ingatanmu segera kembali ya, Mas.

Aku kembali berbalik badan hendak beranjak dari posisi berbaringku, namun tiba-tiba tangan Mas Fahri menahanku. Dengan lembut dia merengkuh tubuhku dan memelukku dari belakang.

Spontan terkejut aku memekik. "Mas!"

"Katanya kamu istriku? Masa istri nggak mau dipeluk suaminya? Cuma pengen peluk saja," bisik Mas Fahri di telingaku.

mendengar penuturannya membuatku pasrah dan diam. Walaupun sebenarnya aku sangat menginginkan ini, tapi sebagai diriku sendiri, bukan sebagai Arumi.

"Sayang, maafin aku ya," ucapnya lagi.

"Maksudmu apa Mas?" Aku tidak paham. kenapa bangun tidur langsung bermaaf-maafan?

"Emmm, ya sudah. Kalau kamu mau bangun, silakan," ucap Mas Fahri lagi mengurai pelukan.

Aku langsung berdiri. Tanpa menoleh ke arah mas Fahri aku berjalan keluar kamar.

Tapi, kalau diingat-ingat, akhir-akhir ini Mas Fahri tidak pernah memanggilku dengan nama wanita itu lagi.

Mas Fahri lebih sering memanggilku sayang. Apa mungkin dia memang sesayang itu kepada Arumi? Sampai dia melupakan namanya dan hanya mengingat satu kata saja, sayang!

Ahhh. Entahlah. Kenapa aku malah mikirin kisah cinta mereka.

Setelah sholat Subuh di kamar tamu yang biasa kutempati, aku langsung menuju dapur untuk membuat sarapan.

"Sayang, masak apa?"

Aku langsung menoleh ke arah suara. melihat Mas Fahri bisa berjalan membuatku sangat terkejut. "Mas! kamu sudah bisa jalan?"

Mas Fahri tersenyum kecil. "Iya, sambil latihan. masa mau tiduran di kamar terus. kan capek juga."

Aku mendekat ke arahnya dengan membawakan kursi kayu dari meja makan. "Sini Mas, duduklah di sini." Aku tidak ingin melihatnya berlama-lama berdiri sedang kakinya belum sembuh betul.

"Terimakasih, Ra," ucapnya yang langsung membuat kedua mataku melebar.

"Ra?"

"Ra? Apa? Apa maksudmu?" sahut Mas Fahri malah balik bertanya. Entah kenapa Mas Fahri terlihat salah tingkah.

Tapi, tadi aku benar-benar mendengarnya mengucapkan itu. 'Terimakasih, Ra.'

Aaahh mungkin memang aku yang salah dengar.

Ya sudahlah. lebih baik aku kembali ke depan kompor dan melanjutkan memasak.

Tidak perlu waktu lama, aku sudah menyelesaikan memasak menu sarapan spesial hari ini. Kepiting asam manis lengkap dengan sambal goreng dan oseng mie.

Mas Fahri yang sedari tadi duduk di tempat yang agak jauh dariku memasak perlahan menghampiriku di meja makan.

"Hemmm, aromanya sedap sekali. Kamu masak apa Sayang?"

Aku tersenyum ke arahnya. "Ini Mas. Ada kepiting asam manis."

"Waaahhh, enak nih! Mau dong."

"Boleh, Mas. Duduklah."

Mas Fahri nampak antusias. Dia menarik kursi, duduk kemudian langsung meraih piring yang ada di hadapannya.

"Wahhhh, masakanmu benar-benar enak!" pujinya.

"Terimakasih, Mas. Tapi makannya pelan-pelan dong, nanti kesedak."

"Hehe, maaf."

Maaf?

"Maaf untuk apa Mas?"

kenapa mulai tadi pagi Mas Fahri meminta maaf terus?

"Ah, tidak apa-apa," sahutnya sambil tersenyum kemudian kembali melanjutkan makan.

"Mas, bagaimana kondisi kakimu? Apa sudah mendingan?"

"Iya, lumayan. sudah lebih kuat dan tidak terasa sakit seperti sebelumnya," terang Mas Fahri. Ia masih terus melahap hidangan yang ada di hadapannya.

Alhamdulillah, jika keadaan Mas Fahri berangsur membaik. Artinya, aku akan bisa masuk kerja lagi.

"Sayang," panggilnya padaku yang kali ini terasa berbeda.

Ada apa dengan tatapan mata itu?

"Ada apa Mas?"

"Mmm, nggak jadi deh." Lama Mas Fahri berpikir, namun kenapa ujung-ujungnya nggak jadi deh?

"Mas, kenapa kamu sering begitu? Kalau memang ada yang ingin disampaikan, sampaikan saja." Aku ingin mengurangi sedikit beban di pikirannya. Mungkin saja ada satu hal yang besar yang disimpannya? Atau mungkin dia ingin mengatakan hal rahasianya dengan Arumi? Mengingat saat ini aku adalah Arumi baginya.

Yah, walaupun pada awalnya aku membenci keadaan ini. tapi, melihat sikap Mas Fahri yang berubah lembut dan tidak pedas seperti dulu, membuatku bersyukur.

Aku tidak perlu berbicara kesal lagi kepadanya. Dan ia pun tak perlu malas atau kasar lagi padaku.

kulihat wajah Mas Fahri yang seketika berubah tegang, serius. Seperti ia sedang menahan sesuatu. "Emm, sebenarnya memang ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu. Tapi, nanti saja," ucapnya lagi. mungkin ia masih menunggu waktu yang tepat. atau mungkin Mas Fahri masih ragu untuk mengatakannya padaku.

Malam kembali tiba. Ini adalah malam kedua kami tidur seranjang. Walaupun kami hanya sekedar tidur di satu tempat yang sama namun itu berhasil membuatku gusar setiap kali aku menuju ke pembaringan.

Mas Fahri sudah tertidur lebih awal.

Aku yang baru saja menyudahi sambungan teleponku dengan mama dan papaku mulai berjalan mendekat ke arahnya.

Kembali, aku merebahkan tubuhku di sisi Mas Fahri dengan posisi memunggunginya.

Sepertinya Mas Fahri benar-benar sudah tertidur. Dan itu membuatku sedikit tenang.

Aku meraih selimut dan menutup sebagian bawah tubuhku sampai ke dada. Aku mulai menutup kedua mata menuju ke alam mimpi.

Namun, tiba-tiba Mas Fahri kembali melakukan hal yang sama seperti tadi pagi.

Tangannya merengkuh tubuhku dan memelukku dari belakang. Napasku tercekat. Aku ingin menolak namun aku tak bisa. Aku takut dengan keadaan mentalnya yang mungkin akan semakin terluka.

"Hiks, hiks."

Suara isakan itu sangat jelas bersumber dari sesorang yang sedang memelukku dari belakang.

"Ada apa Mas?" tanyaku penasaran. Mungkin saat ini dia ingin mengatakan hal yang dari kemarin-kemarin tak bisa ia ucapkan.

Mas Fahri kembali diam.

"Ada apa Mas?" tanyaku lagi. Aku sudah sangat siap mendengar apa yang ingin disampaikannya.

Pelan, Mas Fahri mulai berkata. " Maafkan aku, Zahira."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!