"Apa kamu bilang?! Bon Cabe??!" bentak Mas Fahri dengan wajah garang. Gigi gemeretak, tangan mengepal, dan deru napas mulai berpacu cepat.
Makanya, kalau mau menghina orang berpikir dulu. Giliran dihina balik, nggak terima kan?!
"Iya, karena setiap kata yang keluar dari mulutmu terasa sangat pedas!"
Aku tidak terima dengan julukan gadis culun yang diucapkannya padaku. Apa masalahnya sampai dia menggelari julukan itu. Bagaimana pun aku ini cukup cantik, tak sedikit pria teman sekelasku dulu yang naksir berat padaku.
Tapi, seenak jidatnya saja dia menjulukiku dengan gelar itu. Ish, aku tidak terima!
"Bon Cabe-Bon Cabe!? Kamu sudah keterlaluan mengataiku dengan merk sambal kering itu! Dasar Gadis Culun!"
Kembali, ucapan Mas Fahri mengena tepat di hatiku. Huh! Awas kamu Mas!
*****
Di Kantor baru tempatku bekerja.
"Ra, boleh masuk kan?" Iqbal yang tengah berdiri di ambang pintu tersenyum manis padaku.
Aku hanya mengangguk meng-iyakan ucapannya.
"Wajahmu kenapa? kayak sapi habis kena cucuk jarum," celetuk Iqbal. Dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku.
perkataan Iqbal malah kembali mengingatkan ku pada si Bon Cabe tadi pagi.
"Ra, koq malah ngelamun?"
"Ah, tidak ada apa-apa Iqbal, sahabatku yang tampan dan baik hati."
"Pekerjaanmu belum selesai ya? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat," tanya Iqbal lagi
"Mau ajak ke mana? Aku lagi badmood."
"Ada deh, kejutan," jawab Iqbal menyunggingkan senyuman terindahnya.
"Aku lagi Malas Bal," sahutku. Selain pekerjaanku yang belum selesai, hatiku masih sangat dongkol atas sikap Mas Fahri tadi pagi.
"Haisss, ini sudah waktunya makan siang Ra. Ayolah, sebentar saja, ya," rayu Iqbal setengah memaksa.
"Tapi kamu harus traktir aku," syaratku. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin iseng pada sahabatku ini.
"Boleh, berapa pun yang akan kamu makan nanti, pasti aku yang traktir."
"Koq makan sih Bal? Aku nggak laper!"
"terus maumu minta ditraktir apa?" tanya Iqbal antusias.
"Aku ingin main di time zone, boleh?" tiba-tiba lagi, aku ingin mengunjungi tempat yang biasa kami datangi itu.
Ya, aku dan Iqbal kerap menghabiskan waktu di berbagai tempat permainan itu. Walau hanya sekedar bermain satu permainan, atau kadang kami sampai harus lembur karena persaingan dan taruhan harus menyelesaikan semua permainan dengan angka kemenangan terbanyak. Siapa yang kalah dia yang akan membayar semua tiket yang sudah keluar.
Mendengar permintaanku Iqbal tersenyum manis. "Curang kamu Ra, belum main sudah minta ditraktir."
"Mau enggak?" tanyaku memastikan.
"Mau aja," jawab Iqbal langsung.
"Ya sudah, nanti malam habis Magrib jemput aku di rumah ya," saranku menentukan janji temu.
"Kenapa harus malam? Sekarang saja," ajak Iqbal yang langsung menarik lenganku.
"Tapi, ini pekerjaanku masih banyak Bal."
"Sudah, masih ada waktu besok kan?"
"Iya, tapi bagaimana dengan tanggung jawabku pada si Boss. Nanti kalau aku dipecat karena ini bagaimana?" Aku takut jika mendapat teguran dari pihak kantor karena tidak bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugasku.
"Sudahlah Ra, kamu nggak usah mikir itu. Nanti aku akan berbicara pada bos dan memintakan izin untukmu," desak Iqbal lagi yang akhirnya aku turuti. Baru jam dua belas siang kami keluar dari kantor.
"Bal, kita singgah ke Masjid dulu, Sholat Dzuhur," ajakku. Aku dan Iqbal sudah berada di atas motor gede yang sedang melaju perlahan.
"Siap," jawab Iqbal.
Beberapa menit berlalu, motor gede yang kami naiki berhenti perlahan di depan Masjid besar yang terletak disisi jalan.
Setelah sama-sama berwudhu, Iqbal maju di shaf pertama untuk menjadi Imam sholat kami.
Alhamdulillah, setelah berhari-hari aku selalu sholat sendiri, aku kembali bisa merasakan sholat berjamaah lagi. Sebenarnya aku sangat ingin Mas Fahri lah yang menjadi Imamku, tapi sepertinya itu tidak mungkin terjadi.
" Ra, yuk jalan lagi," ajak Iqbal sesaat setelah aku meletakkan mukena di lemari kaca samping pintu masjid.
"iya, ayo."
Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ke salah satu tempat permainan yang dulu sering kami kunjungi.
"Ra, makan dulu ya di sana," tunjuk Iqbal pada resto yang berada di samping tempat bermain.
"iya, boleh."
Tiba di resto kami langsung memesan menu makanan.
Sesaat, saat kami mulai menikmati makanan, aku mendengar suara yang begitu familiar di telingaku. Aku langsung mengedarkan pandangan melihat ke arah sekitar.
Benar, di sana sedang duduk Mas Fahri bersama dua orang pria. Mas Fahri duduk tepat menghadap ke arahku. Sepertinya dia sedang jumpa klien di resto ini.
Tak sengaja, tatapan kami bertemu. Mata tajam itu membulat saat melihat keberadaanku. Namun, setelah itu dia kembali fokus dengan dua pria yang berada di hadapannya.
"Ada apa Ra?" tanya Iqbal yang melihatku tidak jadi menyuap makanan.
"Ada Mas Fahri Bal, di sana."
"Hah?" Iqbal mulai menoleh ke kenan dan kiri mencari sosok pria yang kumaksud.
"Mana Ra?" Iqbal masih belum menemukannya.
"Itu, dia duduk di deretan meja belakangmu."
"Oooh. terus kamu maunya gimana? Mau cari tempat makan lain, mau langsung ke time zone, atau mau balik ke kantor?" tanya Iqbal memberikanku tawaran. Mungkin dia merasa kurang nyaman dengan keberadaan Mas Fahri.
"Nggak usah ke mana-mana, kita lanjutin aja," jawabku kembali fokus pada makanan yang ada di hadapanku.
Sesekali, terlihat pria yang sedang duduk di kursi agak jauh dari tempatku duduk itu curi pandang ke arahku. Jangan tanya ekspresi wajahnya saat ini, karena wajah itu masih sama masamnya dengan wajah yang tadi padi kulihat. memang begitulah cara Mas Fahri memasang wajahnya untukku.
Bodoh amat!
Aku tidak perduli!
Karena, dia pastinya juga tidak perduli denganku.
Aku masih kesal dengan julukan gadis culun yang dia berikan padaku.
Setelah merasa kenyang, aku dan Iqbal beranjak pergi dari resto dan langsung menuju ke tempat bermain tanpa menoleh lagi ke arah pria yang berstatus suamiku itu.
Tiba di tempat bermain, kami mulai memilih jenis permainan yang akan kami mainkan.
Seperti anak kecil, kami berdua bermain sambil bersorak-sorai.
Kami terus asik bermain, menjajal hampir semua jenis permainan hingga kami lupa waktu.
"Ra, ini sudah jam lima sore," kata Iqbal mengingatkan ku.
"Apa? jam lima?" kagetku.
"Iya Ra, keasyikan banget sih sampai lupa waktu hehe," sahut Iqbal sambil tersenyum.
"yuk pulang, tapi kita mampir ke Masjid tadi lagi ya," ajakku yang langsung ditanggapi Iqbal dengan anggukan kepala.
Usai sholat Ashar di Masjid, Iqbal langsung mengantarkanku pulang.
"Terimakasih ya Bal," ucapku saat aku berhasil tiba di depan rumah.
"Sama-sama Ra."
"Eh Bal, tadi katamu mau mengajakku ke suatu tempat. ke mana itu?" Aku baru teringat dengan ajakan Iqbal tadi waktu di kantor.
"Oooh itu, lain kali aja," jawab Iqbal.
"Ya sudah."
"Aku pulang ya, assalamu'alaikum," pamit Iqbal.
"Wa'alaikum salam."
Motor yang dinaiki Iqbal melesat cepat menjauhi rumahku. Aku pun memutar badan dan langsung masuk ke dalam rumah.
"Seneng banget yang habis pacaran!" celetuk sinis pria yang sedang duduk santai di sofa tamu.
"Siapa yang pacaran?" sewotku tetap berjalan maju tanpa menoleh ke arah pria itu.
"Memangnya siapa yang aku lihat tadi, enak-enakan makan di resto, terus main di time Zone?!" ketus Mas Fahri yang berhasil menghentikan langkahku.
Aku memutar badan menghadapnya. "Mas nuduh aku pacaran? Nggak salah? Bukannya Mas sendiri yang sudah melakukan hal itu?" cecarku. Aku kesal karena dia berlagak sok suci dan malah menuduhku.
"Siapa yang nuduh, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri koq. Kan kamu tadi juga tahu kalau aku di sana," bantahnya.
"Terus, apa masalahmu?" tantangku.
"Aku cuma takut sampai ayah dan bunda tahu," jawabnya masih sok cuek.
"Kalau masalah itu tenang Mas, aku tidak akan kelewat batas dengan Iqbal karena kami memang tidak berpacaran."
"Oooh, jadi namanya Iqbal?" sahut Mas Fahri lagi.
"Iya, Iqbal adalah sahabatku sejak kecil, aku dan dia sudah akrab sejak dulu. Jadi, aku mohon kamu jangan menuduhku yang tidak-tidak Mas!" Aku sudah sangat kesal dengan pria yang mulai beranjak dari duduknya itu.
"Sahabat? Tapi koq mesra?"
Ish!
Kenapa pria ini selalu membuatku kesal?!
Jika aku terus meladeninya, peperangan pasti tidak akan ada kata habis. "Terserah kamulah Mas! Aku capek!"
Aku kembali melangkahkan kaki hendak menuju ke kamar.
"Zahira! Aku ini suamimu!"
Deg!
kenapa tiba-tiba dia mengakui statusnya?
Aku kembali menoleh ke arahnya. "Iya, hanya SEBATAS SUAMI DI ATAS KERTAS, kan?" jawabku penuh penekanan yang langsung mampu membuat mulut Mas Fahri terbungkam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Tati Suwarsih Prabowi
ma'jleb...rasain fahri
2023-02-19
1
Ahmad Riyadhi
Iqbal suka sama Zahira kan ini?
2023-02-06
1