"Zahira, i love you."
Ucapan Mas Fahri berhasil membuat hatiku semakin berdebar. Dia masih memelukku dari belakang.
"Apa kamu serius, Mas?"
"Iya. Entah sejak kapan, rasa itu muncul begitu saja." Mas Fahri mengurai pelukan kemudian membalik tubuhku untuk menghadapnya, yang membuatku semakin tersipu dengan posisi seperti ini.
"Kamu kenapa?" tanyanya. Mungkin saat ini wajahku sudah sangat merah di matanya.
"Tidak ada apa-apa, Mas. Emmm, aku mau ke dapur." Dengan cepat aku keluar kamar dan berlari ke arah dapur.
Ish! Kenapa rasanya aku malu sekali!
Aku berhasil ke dapur kemudian meraih gelas dan mengisinya dengan air putih lalu meminumnya langsung habis. Setidaknya ini bisa mengurangi rasa grogiku saat harus kembali ke kamar nanti.
Apa sebaiknya aku menunggu Mas Fahri tidur dulu baru masuk kamar?
Karena aku masih sangat malu jika harus kembali ke kamar saat ini.
Tenang, Zahira, tenaaang.
Belum selesai aku bermonolog dengan diriku sendiri, tiba-tiba Mas Fahri sudah datang menyusulku.
"Zahira, koq lama banget balik ke kamarnya? Apa kamu nggak ngantuk?" tanyanya meraih gelas yang tergeletak di atas meja.
"Eh, Mas, itu gelas bekasku!" Aku memekik.
Dengan cepat, aku membuka lemari piring untuk mengambil gelas lain. "Pakai gelas ini, Mas." Kusodorkan gelas yang baru untuknya namun dia menolak.
"Nggak perlu, aku memang ingin minum dengan gelas bekasmu," jawabnya santai.
"Maksudmu, Mas? Apa Mas nggak jijik?"
Mas Fahri memiringkan tubuhnya dan menghadapku. "Tidak," jawabnya enteng. Dia langsung menghabiskan setengah gelas air putih itu tanpa sisa. Kemudian kembali menatapku. "Mau bagaimana lagi? Sebenarnya bibirku ingin bersentuhan langsung dengan bibirmu. tapi, kamu pasti akan menghindar lagi, kan? Terlihat jelas dari wajahmu saat ini. Sudah macam kepiting rebus!" Mas Fahri tersenyum miring kemudian melangkahkan kaki.
Apa?!
Dia mengataiku kepiting rebus?
"Dasar Bon Cabe!"
Pria itu menoleh ke arahku dan kembali tersenyum. "Aku memang bon cabe yang siap memedaskan hari-harimu. Bersiap-siaplah untuk itu," ucapnya lagi yang berhasil membuatku melebarkan kedua mata.
Apa?
Bon cabe yang ada di hadapanku ini semakin bar-bar.
"Mas," panggilku.
Seketika Mas Fahri menghentikan langkahnya. "Ada apa?" Wajah itu kembali tersenyum.
"Apa kamu serius dengan ucapanmu, Mas?"
Mas Fahri membalikkan badan kembali berjalan ke arahku. "Ucapan yang mana? Apa ucapanku yang barusan tentang keinginanku untuk memedaskanmu?"
Aku mendengkus kesal. "ish!" Kenapa pikirannya malah ke sana terus!
"Bukan, ya?" tanyanya
"Bukan itu, Mas. Maksudku, apa kamu serius ingin memperbaiki rumah tangga kita?"
Mas Fahri terus berjalan hingga posisi kami saling berhadapan. "Iya, Zahira. Aku serius."
Pandangan pria yang sedang menatap lekat ke arahku saat ini begitu hangat. Aku bisa merasakan ketulusannya.
Aku mengangguk. "Baiklah, terimakasih Mas," ucapku.
Mas Fahri kembali tersenyum dan langsung memelukku. "Aku yang seharusnya berterimakasih kepadamu, Sayang."
Aku mendongakkan kepala. "Sayang?" tanyaku memastikan.
"Iya, aku sayang kamu," balas Mas Fahri yang semakin mengeratkan pelukannya.
************
Keesokan harinya.
Jangan tanya kejadian tadi malam ya!
Karena tidak ada kejadian yang lebih selain hanya berpelukan.
Itu adalah pengalaman pertamaku dipeluk oleh suamiku yang telah berbulan-bulan menikahiku.
Bagaimana perasaanku?
Pastinya sangat bahagia. Walaupun, jantungku tak henti-hentinya berdetak kencang dan hatiku terus berdebar.
Baru dipeluk saja perasaanku sudah tak karuan. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Fahri melakukan hal yang lebih terhadapku.
Membayangkannya saja sudah bisa membuatku tersenyum malu seperti ini.
Seperti biasa, aku bangun tidur dan langsung sholat Subuh. Usai sholat Subuh aku bersiap ke dapur untuk membuat sarapan.
Subuh ini tidak seperti subuh-subuh sebelumnya. Subuh yang begitu istimewa bagiku. Mas Fahri yang tidak pernah bertanya tentang sholatku, tapi pagi ini dia menawarkan diri untuk menjadi imam sholatku.
Aku sangat terharu hingga tak terasa aku sampai menangis dalam sujudku.
Terimakasih, ya Allah ...
Engkau telah mengabulkan keinginanku sejak awal menikah. Yaitu, bisa sholat berjamaah bersama Mas Fahri, suamiku.
"Masak apa, Sayang?" tanya Mas Fahri mendatangiku dan langsung memelukku dari belakang. Entah kenapa sepertinya ada magnet di tubuh kami yang membuatnya ingin selalu menempel denganku.
"Masak mie goreng, Mas." Aku menjawab tanpa menoleh sedikit pun.
"Wah, enak ini," pujinya.
"Tahu enak dari mana? kan belum mencicipi?"
Mas Fahri mengurai pelukan. "Pokoknya aku yakin akan enak kalau kamu yang masak." Mas Fahri sudah duduk di atas kursi, meja makan.
"Jangan berlebihan, Mas."
Mas Fahri berdecik. "Enggak, koq. Beneran. Semua masakanmu enak," ucapnya lagi penuh keyakinan.
Aku melirik ke arahnya. "Kamu lupa Mas, dulu pernah mengatai masakanku biasa saja?"
"Kapan? Kayaknya enggak pernah, deh," sanggahnya.
"Pernah, waktu ayah dan bunda ke sini."
"Ya, maaf. Saat itu aku sedang gengsi," jawab Mas Fahri datar.
"Gengsi kenapa?"
"Ya, gengsi saja. Sebenarnya masakanmu saat itu juga terasa sangat enak. apalagi sambal gorengnya yang pedas. Nanti, kapan-kapan masakin itu lagi ya," terangnya. Sangat berbeda dari Mas Fahri yang biasanya.
"Seneng banget yang pedes-pedes. Memang dasar, Bon Cabe!"
"Sayang!" Mas Fahri tiba-tiba sudah berdiri di belakangku dan kembali memelukku.
Aku melonjak terkejut. "Mas! Aku belum selesai masak ini loh! nanti gosong!" Aku ingin melepaskan lengan pria yang sedang memelukku dari belakang ini, namun ku tak mampu karena pelukan Mas Fahri sangat kuat.
"Makanya jangan suka bangunin macan tidur," bisiknya.
"Maksudmu apa Mas?" tanyaku bingung.
Mas Fahri mengurai pelukan. "Kalau nggak paham ya sudah. Terusin masaknya." Dia kembali duduk di kursi.
'Ting tong!'
Mendengar bel berbunyi, kami sama-sama bertatapan.
"Siapa yang bertamu sepagi ini?" gumam Mas Fahri sembari bangkit dari duduk.
"Nggak usah, Mas. Biar aku saja. Kakimu kan masih belum pulih betul."
"Kalau kamu yang buka pintu, terus yang jagain kompor nyala itu siapa? Aku nggak bisa," sanggahnya. Mas Fahri terus melangkah ke depan.
Aku mengangguk pelan. "Baiklah."
Beberapa menit berlalu, masakanku juga sudah selesai, tapi Mas Fahri masih belum muncul lagi.
Sebenarnya siapa tamu yang datang?
Setelah mencuci semua peralatan dapur yang telah kugunakan, aku menyusul Mas Fahri yang masih berada di ruang tamu.
Terus berjalan ke ruang tamu, namun tidak kudapati Mas Fahri di sana. terlihat pintu depan terbuka. Mungkin, Mas Fahri keluar dan berada di terasa depan. Aku pun terus berjalan untuk memastikan.
Terlihat Mas Fahri menatap tajam satu mobil yang perlahan meninggalkan rumah kami.
"Siapa yang datang Mas?" tanyaku langsung yang ternyata cukup mengagetkan Mas Fahri.
"Eh, Zahira. Sejak kapan kamu di sini?" Ditanya koq malah balik tanya.
"Baru saja Mas. Itu tadi siapa yang datang?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments