"Lakukan apa pun yang kamu inginkan," ucap Mas Fahri lagi setelah hampir satu jam kami saling berdiam diri.
Mendengarnya menyinggung tentang Iqbal tadi membuat hatiku kembali memanas. Sebenarnya ada apa dengannya? Kenapa seperti tak ada habisnya dia kembali membahas tentang hubunganku dengan Iqbal.
Tapi, seberapa hatiku kesal, sebisa mungkin aku menahan agar tak terucap satu kalimat membantah dari mulutku.
"Kenapa diam? Bukankah ini yang kamu inginkan?" tanya Mas Fahri lagi, sinis melirikku.
"Emmm, iya Mas. Terimakasih." Aku memutar badan hendak kembali ke kamar. Namun, tiba-tiba Mas Fahri memanggilku.
"Ra."
"Iya Mas," sahutku refleks langsung menghadapnya. Ada getaran aneh yang menjalar di hatiku namun segera kutepis, sebelum aku menelan kekecewaan seperti saat malam pertama kami dulu.
"Mmmmmm, nggak jadi deh," ucap Mas Fahri sangat santai yang berhasil membuat bendera perangku kembali berkibar.
Maksudnya apa coba?!
Dengan gerak cepat dan bersungut-sungut, aku langsung kembali memutar langkahku menuju kamar.
****************
Beberapa hari kemudian, tibalah waktu yang kunantikan. Setelah mengemasi semua barang bawaan ke dalam koper, aku bebersih diri lalu bersiap-siap hendak berangkat.
"Ra, mau kuantar?" tawar Mas Fahri yang tumben sekali. Terlihat dia sudah bangun sejak pagi dan kini malah menawariku tumpangan.
"Mmm, Mas nggak ke kantor?" tanyaku.
"Nggak, hari ini aku free," sahutnya langsung meraih koperku dan memasukkannya ke dalam bagasi.
Entah kenapa sikap Mas Fahri hari ini terlihat berubah drastis.
"Malah bengong di situ, ngapain?" tanyanya lagi saat melihatku yang masih mematung di tempatku berdiri.
"Eh, iya Mas," gugupku mengikutinya masuk mobil.
Setelah memastikanku duduk di sampingnya, Mas Fahri langsung menyalakan mobil dan melajukannya perlahan.
Di dalam mobil kami sama-sama terdiam.
Entah kenapa dari raut wajah pria yang sedang menyetir ini terlihat sangat berbeda dari biasanya.
"Kamu mau diantar di mana? Di kantor atau di halte bus dekat sini?" tanya Mas Fahri memecah keheningan. Tapi, dari mana Mas Fahri tahu alamat kantorku? Kan aku belum pernah bercerita dengannya.
"Emmm, terserah Mas saja," jawabku ragu.
"Kalau sampai kantor, bagaimana?"
"Apa tidak apa-apa?" tanyaku bingung. Aku sangat penasaran dengan sikap Mas Fahri yang kulihat ini.
"Kamu takut ketahuan sudah punya suami?" tanyanya lagi yang berhasil membuatku melebarkan kedua mata.
"Maksudmu apa Mas?"
"Mungkin saja kamu masih merahasiakan status pernikahanmu," terang Mas Fahri yang mulai membual.
"Kamu ini kenapa Mas? Tidak seperti biasanya. Sikapmu benar-benar aneh!" Ups! Aku keceplosan.
Kulirik wajah tampan itu nampak memerah. sepertinya pria yang duduk di sebelahku ini akan menyemburkan napas apinya. Aku harus bersiap mengambil langkah seribu jika memang diperlukan.
"Ra, jangan mulai," lirihnya seperti sedang menahan sesuatu.
Ada apa dengan sambal kering ini? kenapa dia bisa berubah menjadi es krim yang mencair?
Mas Fahri terus melajukan mobil hingga berhenti di depan pagar kantor.
"Sudah sampai, turunlah," titahnya yang langsung kuturuti.
Aku turun dari mobil dan langsung mengambil koper dari bagasi. Belum sempat aku mengucap salam dan berpamitan, Mas Fahri sudah kembali melajukan mobilnya meninggalkanku.
Untung saja aku sempat menutup pintu bagasi. Kalau tidak, pasti sudah kocar-kacir tu tas dan pakaian gantimu Mas!
Dasar pria aneh!
"Hai, Ra," sapa Risti. Teman baru sekaligus calon pacar sahabatku. Dia gencar sekali mendekatiku. Aku takut jika aku tidak berhasil menyatukannya dengan Iqbal, aku yang akan menajadi bulanan untuknya. secara aku tahu dai karyawan lain tentang ambisinya yang kelewatan.
"Hai, Ris."
"Boleh nggak aku yang gantii kamu dinas ke luar kotanya?" tanya Risti yang membuatku terkejut. Kenapa tidak mulai awal, jika memang ingin?
"Koq diam Ra? Ayo dong," rengeknya. Aku tertegun berpikir. Namun tiba-tiba Iqbal datang dan merangkul pundakku dari belakang.
"Nggak ada yang boleh gantiin Zahira, ini sudah keputusan dari si Bos!"
mendengar perkataan Iqbal wajah Risti langsung berubah. "Sebenarnya hubungan kalian ini apa sih?! Aku tidak percaya kalau kalian cuma berteman," ketus Risti menatap tajam ke arahku dan Iqbal.
"Apa urusanmu?!" bentak Iqbal yang membuat Risti mundur dan pergi.
"Bal, kamu keterlaluan sekali," ucapku pada Iqbal yang menurutku bersikap kasar.
"Sudahlah, aku tahu dia bagaimana. Dia mendekatimu karena maksud tertentu kan?"
"Maksudmu apa?"
"Aku tahu sejak lama kalau dia mengincarku," sahut Iqbal lagi yang berhasil membuatku melebarkan kedua mata.
"Jadi, apa kamu tidak menyukainya," tanyaku.
Iqbal menggelengkan kepala. "Di hatiku sudah ada seseorang yang telah mengisinya. Aku tidak perlu perempuan lain."
Mendengar jawaban Iqbal membuatku sangat terkejut. "Benarkah? Diam-diam, ternyata kamu bermain di belakangku. Siapa dia Bal?" tanyaku langsung, namun Iqbal masih ingin merahasiakannya dariku.
"Sudah yuk, nanti kita terlambat," ajak Iqbal yang kutanggapi dengan anggukan kepala.
Perjalanan yang cukup jauh. Dengan menggunakan mobil entah milik siapa, Iqbal membawaku ke satu hotel besar di pinggir jalan.
"Bal, apa kita akan menginap di hotel ini?" tanyaku pada Iqbal yang sudah keluar mobil lebih dahulu. Dia membukakan pintu mobil tepat di sampingku.
"Iya, kamu tenang saja, kita pesan dua kamar terpisah," jawab Iqbal seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Oh, baiklah."
Kami berdua masuk menuju lobby dan langsung memesan dua kamar.
"Ra kamarmu di sini, aku tinggal ya. Kita bertemu nanti sore untuk meeting dengan klien di resto bawah," ucap Iqbal berpesan padaku.
"Oh, iya. Siap," jawabku. Aku langsung masuk ke dalam kamar. Melihat kasur empuk membuatku ingin merebahkan diri.
Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh dering suara handphoneku yang berada di dalam tas.
"Assalamu'alaikum," sapaku pada nomor kontak yang bertuliskan Mas Fahri. Dialah yang sedang memanggilku.
"Wa'alaikum salam. benar ini dengan istrinya Pak Fahri?" tanya suara perempuan yang terdengar asing.
"Iya, saya sendiri."
"Maaf Bu, kami ingin memberitahukan bahwa suami Ibu, Bapak Fahri mengalami kecelakaan dan saat ini sedang di rawat di Rumah sakit C*******."
Sontak aku sangat terkejut. "Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Benarkah ini?"
"Iya Bu, saya seorang perawat di rumah sakit tersebut. Tapi, keadaan Bapak Fahri masih hidup ya Bu, beliau masih ditangani dokter," jelas Perempuan itu lagi sebelum mengakhiri panggilan.
Bagaiaman ini?
Baru saja sampai, tapi aku harus segera pulang.
kembali aku menyalakan layar handphone untuk menghubungi Iqbal. aku ingin memberitahunya kabar tentang Mas Fahri.
"Benarkah, Ra?" tanya Iqbal ikut terkejut mendengar kabar itu. Dan akhirnya dia merelakanku kembali untuk melihat kondisi Mas Fahri. Dia berjanji akan mengurus semua tugas di sana dan menjelaskan kepada Bos tentang alasan kepulanganku.
Dengan menaiki taxi aku tiba di rumah sakit yang dimaksud perawat yang meneleponku tadi.
Entah kenapa aku sangat panik. Walaupun Mas Fahri hanya suamiku di atas kertas. Tapi hatiku benar-benar sangat mengkhawatirkannya.
"Di mana ruangan Pak Fahri Bu?" tanyaku pada seorang wanita penjaga loket.
"Oh, Kamar Bapak Fahri ada di ruang D***** Bu," jawabnya.
"Terimakasih Bu," ucapku lagi yang ditanggapi anggukan dan senyuman oleh wanita itu.
Tidak perlu waktu lama aku sudah menemukan kamar yang ditempati Mas Fahri.
Pintu terbuka. Di sana sudah nampak ibu dan ayah mertuaku yang duduk di samping putranya. Mereka berdua nampak sangat bersedih.
"Zahira Sayang, masuklah," sambut bunda, ibu mertuaku.
Aku melangkahkan kaki dan beridiri di tengah-tengah mereka. "Bagaimana keadaan Mas Fahri Bun?" tanyaku.
"Fahri masih belum sadarkan diri Sayang," jawab bunda yang tengah menangisi putranya.
Beberapa menit kemudian Mas Fahri mulai membuka kedua matanya perlahan. Dia mengedarkan pandangannya menelisik sekitar.
"Bun," lirih Mas Fahri yang membuat ayah dan bunda histeris.
"Fahri!" pekik bunda yang langsung memeluk tubuh lemas Mas Fahri.
"Alhamdulillah." Ayah pun ikut serta memeluk tubuh putranya dengan amat bahagia.
Aku masih mematung di tempatku berdiri. Aku bingung harus berbuat apa, karena sangat tidak mungkin bagiku jika aku ikut larut memeluk Mas Fahri. Mengingat keinginan Mas Fahri yang tidak ingin bersentuhan denganku.
Mas Fahri menoleh ke arahku dengan sorot mata tajam. Alangkah terkejutnya diriku saat dia mulai memanggilku dengan nama itu.
"Arumi, sini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Ahmad Riyadhi
Arumi? Kam Zahira? kenapa kamu panggil Arumi?? 😧
2023-02-08
2