BAB 16 - Dilema

"Arumi?" pekik bunda menatap heran putranya.

"Iya, dia Arumi. Sini," ucap Mas Fahri lagi melambaikan tangannya padaku.

Apa Mas Fahri pikir aku ini Arumi?

Tapi, seharusnya dia bisa mengenaliku langsung. Bagaimana pun penampilanku dengan Arumi sangat berbeda.

"Sini sayang," ucap Bunda ikut memanggilku. Bunda memberi isyarat padaku agar aku mengikuti permintaan Mas Fahri.

Berat, sangat berat. Dengan terpaksa aku melangkahkan kaki menghampiri Mas Fahri yang masih terbaring lemah di atas ranjang.

"Arumi," lirih Mas Fahri meraih tanganku dan menciumnya.

Bisa bayangkan bagaimana perasaanku saat ini?

Seharusnya aku bahagia karena suamiku mau menyentuh tanganku, namun kenapa harus dengan memanggil nama wanita lain? Ini begitu menyakitkan!

Aku hanya terdiam. Mas Fahri menatapku dengan binar bahagia, namun tidak denganku. Hatiku sangat pilu mendapatkan perlakuan ini.

Apa mungkin Mas Fahri benar-benar Amnesia?

****

"Zahira Sayang, maafkan Bunda jika lancang. Tapi, Bunda harap kamu mau menuruti keinginan Fahri saat ini, ya?" pinta Bunda padaku dengan mata memelasnya. Aku bisa merasakan keputusasaan yang terpancar dari sorot matanya.

Dapat kusimpulkan bahwa saat ini Bunda sedang memintaku untuk berpura-pura menjadi sosok wanita yang dicintai suamiku.

Ya, aku harus rela menjadi Arumi agar kesehatan Mas Fahri segera pulih. Namun, bagaimana dengan kesehatan hatiku?

Bunda, bunda adalah wanita sama sepertiku, seharusnya bunda juga mengerti bagaimana perasaanku.

Bukannya malah menjerumuskanku seperti ini ....

Hatiku kembali nyeri, terasa seperti tersayat sembilu yang selalu terasa sakit, walaupun hanya sedikit pergerakan.

Aku terduduk lemas di kursi tunggu depan kamar rawat yang ditempati Mas Fahri. memikirkan dan merasakan apa yang seharusnya kulakukan.

"Zahira!" panggil sepasang suami istri yang tak muda lagi dari arah agak jauh sambil mengangkat tangan ke arahku.

mereka adalah Mama dan Papaku. Mama terlihat membawa sekeranjang buah di tangannya.

Mama dan Papa terus berjalan menghampiriku.

"Zahira, bagaimana suamimu?" tanya Papa saat kami benar-benar sudah saling berhadapan.

kuhamburkan pelukan pada keduanya untuk meminta kekuatan. Tangisku pecah, sehingga membuat kedua orang tuaku semakin bingung.

"Ada apa sayang?" tanya Mama sambil mengelus-elus kepalaku dari balik kerudung yang kupakai. Mama dan Papa terlihat semakin panik.

"Ooh, ada Bu besan, dan Pak besan," ucap Ayah mertuaku menyapa Mama dan Papa.

"Iya Pak. Maaf, kami terlambat," sambut Papa menjabat tangan Ayah mertuaku.

melihatku yang menangis, Ayah mertuaku pun menceritakan tentang apa yang sedang kualami, termasuk mendapatkan panggilan baru dari Mas Fahri.

"Apa? Fahri memanggil Zahira dengan panggilan Arumi? Siapa dia?" tanya Papa terkejut dengan apa yang diceritakan oleh Ayah mertuaku.

kembali, Ayah mertua menjelaskan siapa Arumi, dan bagaimana Mas Fahri kehilangan ingatannya.

"sangat rumit ini Pak," ucap papaku menanggapi pernyataan dari besannya.

"iya, tapi kami sangat mohon kepada Zahira agar mau menuruti panggilan itu hanya sampai Fahri benar-benar sembuh."

"Tidak!" tolak Mama mentah-mentah.

"aku tidak rela anak gadiku kau jadikan bahan lelucon seperti ini," protes Mama yang membuat ibu mertuaku keluar dari kamar pasien.

"kenapa berisik sekali di sini?" tanya bunda pada kami yang memang masih bergerumbul dan membuat kebisingan.

"Bagaimana ini Bun?" tanya Ayah mertuaku pada istrinya.

"Sebelumnya, aku ingin meminta maaf pada Mama dan Papa Zahira," ucap Bunda mulai membuka percakapan.

Mama yang paham akan hal itu langsung berkomentar. "Tapi Bu, apa harus anak saya mengalami hal buruk seperti itu?"

"Menurut dokter, Fahri mengalami kehilangan ingatan non permanen Bu, jadi tidak akan selamanya seperti ini. Saya mohon sekali," mohon bunda lagi sambil menelangkupkan kedua tangannya ke depan dada.

"Hhhhh. Kalau begitu, kami berdua menyerahkan semuanya pada Zahira, karena dia yang akan menjalaninya," ucap Mama memberikan keputusan.

Semua orang menatapku. Kedua mertuaku menatapku dengan penuh harapan, sedangkan Mama dan Papa menatapku dengan tatapan kekecewaan.

Lalu, apa yang bisa kulakukan?

Ini sangat dilema bagiku.

"Sayang, bagaimana? Jika kamu menolak, kamu bisa ikut Mama dan Papa pulang ke rumah. kita bicarakan bagaimana baiknya untuk masalah ini," ucap Mama meraih pundakku dan merangkulku.

Kulirik wajah kedua mertuaku yang mulai berubah. Namun keduanya hanya bisa pasrah atas pilihanku nanti.

Aku sangat ingin ikut kedua orang tuaku sendiri, tapi aku juga tidak tega meninggalkan Mas Fahri yang masih terbaring lemah di sana. Walaupun selama menjadi istrinya, dia tidak pernah bersikap lembut padaku.

"Hhhh, Bismillah, aku akan tetap tinggal di sini." Walaupun ini sangat berat, namun keputusan yang kubuat sudahlah bulat.

Mama terkejut mendengar jawabanku. "Sayang, apa kamu yakin?"

"Iya Ma, bagaimanapun Mas Fahri adalah suamiku. Bukankah Mama memerintahkan untuk selalu patuh pada suami?"

"Tapi, ini sangat berat untukmu," sanggah Mama lagi.

"Bismillah, Ma. Zahira ikhlas."

Mama langsung memelukku dan mengelus-elus pundakku.

"Terimakasih Zahira." Ibu mertuaku mendekatiku ikut menghamburkan pelukan.

*****************

Hari ini, setelah seminggu lebih Mas Fahri dirawat di rumah sakit, dokter mengizinkannya untuk pulang.

Pada awalnya bunda menyuruh kami untuk kembali ke rumah bunda, namun Mas Fahri menolak, dan mengajakku, yang sebagai Arumi di matanya untuk tetap tinggal di rumah kami.

Setelah tiba di rumah, ayah dan bunda langsung pamit pulang. Keduanya pasti juga merasa kelelahan karena harus ikut berjaga di rumah sakit. Apalagi ayah, yang sambil mengurus perusahaan yang membuatnya harus mondar mandir ke kantor dan rumah sakit.

Setelah keduanya benar-benar pergi, Mas Fahri yang masih menggunakan kursi roda memintaku untuk membawanya ke kamar.

"Terimakasih Sayang," ucap mas Fahri sesaat setelah berhasil duduk di atas kasur.

Dia memanggilku sayang?

Ya, sejak hari kecelakaan itu, mas Fahri terbiasa memanggilku dengan panggilan itu, karena dipikirannya saat ini aku adalah Arumi, kekasihnya yang sangat dicintai.

Jangan tanya bagaimana perasaanku. Sakit, sangat sakit. Bagaimana tidak? Aku yang nyata-nyata istrinya, dan namaku Zahira! Tapi malah dipanggilnya Arumi, sebagai kekasih gelapnya.

"Aku mau ke dapur dulu Mas," pamitku pada Mas Fahri yang bersiap hendak istirahat.

"Mmmm, kamu mau masak?"

"Iya."

"Mmmm, bolehkah aku minta kamu masakkan sesuatu?" tanyanya lagi.

"Masak apa?"

"Aku sedang ingin makan nasi goreng. Kamu bisa membuatkannya untukku?" Mas Fahri menatapku penuh harap. Entah kenapa aku jadi teringat kejadian waktu itu. ketika aku memasak nasi goreng yang hanya satu porsi, tetapi mas Fahri menginginkannya.

Ck! Bagaimana bisa aku membayangkan hal yang sia-sia, karena saat ini di mata mas Fahri aku adalah Arumi.

"Sayang, koq diam?"

"Eh, iya Mas. Aku buatkan."

Aku keluar kamar menuju dapur. Tidak perlu waktu lama, nasi goreng pesanan mas Fahri sudah siap.

"Ini Mas." Aku menyodorkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur ceplok dan kerupuk bawang.

"Terimakasih, Arumi."

Ya Allahhh. Kenapa harus begini?

Berkali-kali mas Fahri tersenyum padaku tapi dengan panggilan itu. Arumi?

Terpopuler

Comments

Zayana

Zayana

lha?

2023-05-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!