BAB 08 - Tetap Bersinar

"Selamat datang!" seru Iqbal tersenyum manis padaku.

"Iqbal, ada apa ini?"

"Surprise penyambutan untuk sahabatku," senyum Iqbal kembali mengembang. Entah apa yang dipirkannya saat ini. Tapi, perlakuannya kali ini berhasil membuatku tersipu malu.

Bagaimana tidak? Hampir seluruh karyawan bergerumbul di dekat kami berdiri.

"Cie Pak Iqbal," ledek salah satu karyawan.

"Ayo terima Mbak, kasian Pak Iqbal nungguin tu!" seru karyawan lain ikut menimpali.

Kenapa mereka berbicara seperti itu?

apa mereka pikir saat ini Iqbal tengah menyatakan cinta padaku?

"Bal, ada apa dengan semua orang?" Aku berbisik pada pemuda yang masih mesam-mesem di sampingku ini.

"Santai Ra, anggap saja angin lalu. Ayo masuk," ucap Iqbal enteng dan menarik lenganku. kami berjalan beriringan menuju ruang kerja.

"Di sini ruanganmu."

Langkah kami terhenti di satu ruangan luas dengan meja dan kursi kerja yang sudah tersusun rapi. Di samping jendela ada pot besar yang tumbuh bunsai kerdil di atasnya.

Di sisi lain, tergantung lukisan dinding bunga favoritku, yaitu bunga matahari dengan ukuran besar yang sangat indah.

"Bal, apa kamu nggak salah? sepertinya ini bukan ruanganku. Aku ini karyawan baru loh," bingungku.

"Ya enggak lah Zahira, sahabatku yang cantik. Ini ruangan memang khusus untukmu," terangnya yang membuatku bingung.

"Maksudmu?" Aku menangkap kejanggalan dari ucapannya.

"Eh, bukan begitu maksudku. Pokoknya, intinya tempat kerjamu di sini. okey," jelas Iqbal lagi hendak berlalu pergi.

"Tapi Bal,"

"Sudah, jangan banyak protes. nanti ada satu karyawan yang akan menjelaskan tugas-tugas untukmu. Dan satu lagi, ruang kerjaku ada di ruangan depan ini ya, jika ada yang belum kamu pahami, kamu bisa mendatangiku," ujarnya lagi. Iqbal benar-benar berlalu pergi.

Okey, baiklah. Aku harus kembali fokus.

*****

'tok tok!'

Iqbal mengetuk pintu ruanganku yang terbuka.

"Hai Bal," sapaku.

"Ra, makan siang yuk," ajaknya. Dia berjalan menghampiri mejaku.

"Sepertinya aku tidak bisa Bal, pekerjaanku masih numpuk." Pandanganku kembali fokus ke layar monitor.

"Sudahlah Ra, sambung nanti kan bisa,"

"Emmm, ya sudah, ayo." Aku mematikan layar monitor lalu beranjak berdiri.

"Bal, apa tidak apa-apa jika aku tidak menyelesaikan pekerjaanku hari ini?"

"Oh tidak apa-apa Ra, santai saja,"

kami berdua pun langsung menuju ke kantin kantor.

"Ra Kamu mau makan apa?" tanya Iqbal saat kami tiba di kantin.

"Menu yang enak disini apa Bal?"

"Di sini menunya enak-enak koq. Pilihlah apa yang kamu sukai." Iqbal menyodorkan tabel menu padaku

Setelah menentukan menu, kami memanggil pelayan untuk memesan.

Tidak menunggu lama sang pelayan datang dengan membawa pesanan kami.

"Ayo Ra, dimakan," ajak Iqbal.

"Oke Bal."

'Kring kring kring'

Gawai pipih yang ada di dalam kantong celanaku berbunyi.

"Siapa yang nelpon?" tanya Iqbal

"Oh, ini ibu mertuaku. Sebentar ya Bal," sahutku yang langsung ditanggapi anggukan oleh Iqbal.

"Assalamualaikum bun," sapaku pada ibu mertuaku yang berada di ujung telepon.

"Waalaikumsalam sayang. Kamu ada di mana? Ini bunda sedang di rumahmu tapi kenapa kamu tidak ada?"

"Oh, aku sedang di luar Bun."

"Di luar, di mana?" tanya Bunda lagi.

"Apa Mas Fahri belum memberitahu Bunda kalau aku mulai bekerja lagi?" Sepertinya ibu mertuaku belum mengetahui tentang hal ini.

"apa?! kamu kerja?!" Bunda terkejut.

"Iya Bun."

"Tapi untuk apa? Bukankah Fahri sudah menafkahimu?"

"Iya Bun, tapi aku ingin mencari pengalaman, dari pada aku suntuk di rumah sendirian,"

"Benarkah begitu?" tanya bunda cemas.

"Iya Bun, Bunda tidak usah khawatir," sahutku lagi.

"Baiklah, kalau begitu bunda akan kembali lagi nanti malam."

"Oh, iya Bun," jawabku.

Setelah aku menutup sambungan telepon, aku kembali menyantap hidangan makan siang yang sudah tersedia di hadapanku.

"Apa yang dikatakan Ibu mertuamu Ra?" tanya Iqbal penasaran.

"Ibu mertuaku sedang di rumah. Beliau bingung karena aku tidak ada," terangku.

"Apa Fahri belum memberitahu ibunya?" tanya Iqbal lagi.

"Ya, sepertinya belum."

"Oh, ya Ra, tentang kekasih Fahri kemarin apa orang tuanya juga belum tahu?" selidik Iqbal lagi mengingatkanku pada kejadian tempo hari.

"Entahlah, sepertinya belum. Memangnya kenapa?" sahutku balik bertanya.

"Ya, cuma pengen tahu saja sih," jawab Iqbal enteng.

**************

Malam hari di rumah kami. belum sempat aku memberitahu tentang rencana kedatangan Bunda, tapi Mas Fahri sudah masuk ke kamarnya. seperti biasa Mas Fahri tidak akan membukakan pintu untukku apapun alasannya.

Selesai salat Isya' aku bersiap di ruang tamu untuk menyambut ibu mertuaku datang.

'Tok tok tok!'

"Assalamu'alaikum." Suara Bunda mengucap salam dari balik pintu.

Aku langsung beranjak berdiri untuk membukakan pintu. "Wa'alaikumsalam Bun," sambutku.

"Zahira, kamu sakit?" tanya Bunda mendadak membuatku bingung. Karena aku saat ini merasa baik-baik saja.

"Tidak Bun, aku baik-baik saja," jawabku.

"Tapi wajahmu pucat sekali sayang. Oh ya, di mana Fahri?" Bunda yang tidak melihat anaknya langsung bertanya.

"Mas Fahri sedang di kamar Bun. tunggu sebentar, aku akan memanggilnya. Ayah dan bunda, duduklah terlebih dahulu," sahutku. Aku langsung memutar badan berjalan menuju kamar Mas Fahri yang masih tertutup rapat.

'Tok tok tok!'

"Mas."

Kuketuk pelan pintu kamar Mas Fahri dan memanggilnya, namun tidak ada jawaban.

"Mas, Ayah dan Bunda sedang ada di sini." Setengah berbisik aku memberitahu Mas Fahri tentang keadatang orang tuanya.

'kreeek'

Pintu terbuka.

"Ayah dan Bunda di sini?" tanya Mas Fahri. Kepalanya muncul dari balik pintu.

Seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh diketahui siapapun. Begitu keluar kamar, dia langsung mengunci pintu kamarnya kembali.

Dasar aneh!

Aku juga tidak berniat masuk ke kamarmu Mas!

Di ruang tamu, Ayah dan Bunda terlihat sedang asyik membahas sesuatu.

"Ada apa Bun? Malam-malam koq ke sini?" tanya Mas Fahri sangat tidak sopan.

"Maksudmu apa Nak? Ayah dan Bunda kan juga rindu sama kalian," jawab Bunda sambil tersenyum manis kepadaku.

"Aku ke belakang dulu ya Bun," pamitku. Aku berniat akan menghidangkan sesuatu.

"Untuk apa ke belakang, sayang? Tidak usah repot-repot karena Ayah dan Bunda akan menginap di sini," ucap Bunda lagi yang membuat Mas Fahri seketika menoleh ke arahku.

Matanya berkedip seperti mengisyaratkan sesuatu. Apa maksud pria ini? apa dia keberatan jika orang tuanya menginap di sini?

Mendapat responku yang belum paham, membuat Mas Fahri terlihat gusar. "ssst, ssst," desisnya sambil menajamkan pandangan ke arahku.

"Fahri, ada apa?" tanya Bunda yang menangkap keanehan sikap putranya.

"Tidak apa-apa Bun," sahut Mas Fahri langsung. Terlihat jelas dari wajahnya, dia sedang memikirkan sesuatu.

"Ra, buatkan teh untuk Ayah dan Bunda," ucap Mas Fahri tiba-tiba yang membuatku bingung.

Bukankah tadi Ayah dan Bunda sudah melarangku menyiapkan sesuatu?

Aku masih terdiam.

"Cepetan Ra," desak Mas Fahri yang akhirnya kuturuti. Aku beranjak berdiri menuju dapur.

Kuraih tiga gelas kosong lalu mulai membuat teh di dalamnya.

"Ra, jika ayah dan bunda menginap di sini kamu harus memindahkan semua barangmu di kamarku," ucap Mas Fahri khawatir.

"Maksudmu apa Mas? Bukankah kamu melarangku masuk ke kamarmu?"

"Untuk malam ini, aku cabut peraturanku itu sampai Ayah dan Bunda pulang besok pagi."

Terpopuler

Comments

suka baca

suka baca

kayaknya Iqbal suka kamu ra

2023-04-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!