“Yes!” seru Intan.
Diam-diam gerak gerik Zach dan Julia menjadi tontonan Intan dan Max di balik tembok kaca yang tertutupi tanaman pajangan di dalam rumah. Mereka berdua terkikik geli sambil menepukkan tangan kesuksesan.
“Mama yakin, sedikit lagi Zach akan membuka hati untuk Julia.” Intan sangat senang karena sampai detik ini semua rencananya berhasil
tanpa halangan.
“Two tumbs up. Mama memang gini.” Max memuji ide istrinya yang jenius. Mendekatkan Zach dengan Julia dengan cara-cara tak diduga seperti itu akan lebih mempercepat chemistry keduanya.
Max dulu juga bersikap sama seperti Zach kepada Intan sekarang. Awalnya ragu-ragu, malu-malu, setelah mengenal Intan lebih dekat,
akhirnya dia menerima perjodohan dengan legowo, bahkan meminta pernikahan segera dipercepat.
“Gadis sebaik dan secantik Julia tidak mungkin bisa Zach tolak. Aku sangat tahu sifat anakku. Kalau sudah nyaman, dia akan menyerahkan semua, termasuk hatinya. Dan aku yakin waktunya tidak akan lama lagi,” gumamnya perlahan.
Ternyata benar dugaan Intan, saat Zach memasuki kamar dia terbayang wajah Julia yang tersenyum tulus sambil memberikan secangkir teh hijau. Pelayanan tulus seperti itu tidak pernah ia dapatkan dari Tiffany.
Gadis itu lebih senang memesan makanan online, atau mengajak keluar apartemen ketika merasa lapar. Lebih sering lagi dia meminta Zach yang membelikannya makanan atau minuman saat menuju ke apartemen.
Baru saja lamunan Zach melambung membandingkan Julia dan Tiffany, suara ponselnya tiba-tiba berdering nyaring. Panggilan dari kekasihnya. “Baru juga dibatin udah nelpon,” gumamnya.
[Sayang, kenapa baru angkat teleponku sih?] Tiffany langsung merengek karena hari ini dia berkali-kali mencoba menghubungi Zach
tapi panggilannya tidak ada yang dijawab.
“Sorry, honey. Memangnya kamu telpon aku?” Zach balik bertanya. Seharian ini bahkan ia belum
sempat memegang ponsel, karena acara yang begitu padat.
“Ih jahatnya. Kamu ngapain saja di kantor hari ini,
Sayang? Sampai tidak sempet angkat telepon, aku ‘kan jadi bete.”
“Iya iya, sorry, aku sibuk banget hari ini. Ada meeting dadakan dengan klien Papa. Ya biasa, masalah bisnis.”
“Oya? Jadi kamu handle kerjaan Om Max? Sama siapa?” Tiffany didera rasa ingin tahu karena merasa diabaikan dan ini bukan kejadian pertama kali.
“Ya siapa lagi? Sama Cintya, ada juga Simon dan
beberapa tim inti yang bertugas handle project ini.”
Zach terpaksa berbohong agar Tiffany tidak semakin merajuk. Sebenarnya Zach akan bilang jika dia hanya menghadiri pertemuan dengan
rekan kerjanya seorang diri, tapi dia tahu Tiffany mungkin akan mencari tahu. Daripada membuat masalah, lebih baik dia memilih aman.
“Oh, begitu. Ya sudah kalau sama tim kamu, aku lega. Bukan apa-apa, tapi akhir-akhir ini aku tuh merasa kamu semakin menjauh gitu.”
“Iya, aku tahu kamu pasti mikir begitu. Tapi mau gimana lagi, aku juga tidak tahu karena agenda itu benar-benar mendadak. Papa juga kasih
taunya waktu aku udah mau berangkat kerja.”
“It’s okay Baby. Aku tidak masalah kalau kamu handle kerjaan. Ini Cuma kekhawatiran aku, takut banget kehilangan kamu, karena memang aku tidak bisa hidup tanpa kamu.” Tiffany mulai mengeluarkan jurus rayuan mautnya. “Kamu tahu ‘kan perasan aku sama kamu ini tidak main-main, Zach.”
Zach menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Iya, sayang. Aku tahu ’kok, kamu sesayang itu padaku.” Zach menghela napas panjang
lalu melanjutkan kata-katanya, ”Memang sekarang aku sedang sibuk-sibuknya, jadi aku
harap kamu bisa mengerti posisi aku,” imbuhnya lirih.
Tiffany pun merasa lega dengan jawaban Zach, tapi demi memastikan mangsanya tidak lepas, sedikit ancaman bisa memperkuat posisinya.
“Awas ya kalau berani main-main sama perempuan lain,” rajuknya.
“Tenang, Sayang. Udah dong, jangan mikir yang
aneh-aneh.” Zach mengggigit bibirnya sendiri. Ada kegelisahan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya.
Dia sekarang seperti sedang menjadi manusia yang berpura-pura, dan Zach tidak menyukai hal itu. Semakin lama berbohong, Zach makin merasa tidak nyaman. Pilihannya adalah jujur dan mengatakan apa adanya kepada wanita yang ia cintai.
Bagi Zach suatu hubungan harus didasari kejujuran sebagai pondasi agar hubungan itu awet dan memberikan kenyamanan untuk kedua
belah pihak.
“Sayang, kok diem? Semalam aku kumpul dengan Satria dan Hendra. Mereka cariin kamu, dan bertanya kapan kamu bisa hang out lagi kayak biasanya. Mereka sebenernya juga kangen sama kamu, ya meskipun masih lebih besar kangen aku ke kamu, sih.” Tiffany tersenyum getir.
Ada sesuatu yang terasa hilang dari hidupnya.
Perhatian, rasa cinta dan kasih sayang Zach ia rasakan semakin berkurang setiap harinya. Bahkan malam ini saat ia menelepon Zach, ada sesuatu yang ia rasakan berbeda.
Zach memang masih menerima teleponnya seperti biasa, juga berkata-kata mesra. Tapi instingnya sebagai perempuan mengatakan posisinya sekarang sedang tidak aman di hati Zach. Perasaan ini membuatnya uring-uringan
sepanjang hari.
“Iya aku ngerti. Maaf, ya … bilangin ke mereka juga aku minta maaf, tapi kondisinya sekarang benar-benar-“
“Udah-udah, kamu tidak usah menjelaskan lagi, aku ngerti ‘kok.” Tiffany teringat omongan kedua sahabat Zach yang mengatakan dalam kondisi seperti sekarang, dia harus tetap mendukung Zach. “Aku yang minta maaf karena bersikap kekanakan dan selalu minta kamu datang ke apartemen.”
Sikap Tiffany ini justru membuat Zach semakin merasa bersalah. Bagaimanapun Tiffany masih pacarnya hingga detik ini. Dia belum memutuskan hubungan percintaan mereka. Zach kembali menghadapi dilema di hatinya. Antara jujur berkata apa adanya, atau tetap menyembunyikan kehadiran Julia di rumahnya.
“Baby, you oke?” tanya Tiffany setelah beberapa saat tak mendengar Zach menjawab perkataannya.
“Iya-iya, aku tidak apa-apa, cuma sedikit ngantuk aja, pekerjaanku banyak sekali hari ini.”
“Oh, I see. Oke, deh, kalau begitu aku tutup teleponnya dulu biar kamu bisa istirahat. Kalau kamu di sini, pasti aku pijitin, Sayang. Kayak biasanya, kita saling memijit, menyentuh, dannn ….” Tiffany sengaja menggoda kekasihnya dengan suara yang sedikit mendesah, membuat Zach memejamkan matanya.
“Honey, can you stop it?” sahut Zach tidak nyaman. Sekarang perasaannya justru merasa aneh mendengar ******* Tiffany yang begitu agresif. Sangat berbeda dengan Julia yang sopan, tak banyak bicara, tapi pesonanya justru terpancar sangat luar biasa memancar kemana-mana.
‘Ah, ****, lagi-lagi aku membandingkan mereka,’ bisik Zach dalam hati.
“Honey, kapanpun kamu datang, aku pasti akan memberikan service special.”
Tiffany menganggap teguran Zach menyuruhnya berhenti karena pria itu tak tahan dengan rayuannya. Dia tak tahu diam-diam Zach sedang
tersadar dari tidur panjangnya, yang selama ini terlena oleh kenikmatan duniawi yang ia suguhkan.
“Oke, honey, aku ngantuk berat. Takutnya malah ketiduran, jadi aku tutup dulu, ya. Take care, bye.” Zach mengurungkan niatnya mengatakan yang
sebenarnya.
Dia mungkin bisa mengatakan dengan jujur bahwa Julia sekarang berada di rumahnya, tapi Zach tidak akan sanggup berkata dengan jujur,
bahwa Julia bukan hanya tinggal di rumahnya, tapi sekarang pelan-pelan pesona gadis itu juga mulai menyelinap ke hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments