Max menerima perintah dari Intan untuk mempertemukannya dengan Zach dan Julia di rumah sakit. Max mengatur semuanya dengan rapi. Pria itu menghubungi sahabatnya yang seorang dokter senior di rumah sakit Internasional.
“Robert, Intan hanya manja saja. Dia memang ingin melakukan general cek-up rutin, tapi mau healing tipis-tipis juga di rumah sakit. Kamu bisa mengaturnya ‘kan?”
“Mengatur apanya ini? Kalau sewa ruangan pasti bisa karena ini fasilitas umum. Intan mau cek-up, bisa memakai fasilitas ini kalau memang sedang kosong. Kecuali full, aku tidak bisa bantu.”
“Oke, besok dia masuk, sehari aja, pagi masuk, malam pulang, kamu aturlah.”
“Aku curiga ini pasti ada maksud,” tebak Robert.
“Biasa, Zach. Intan cuma mau kasih shockterapi saja untuk anak kesayangannya. Ingin memberitahu kalau Mamanya juga bisa sakit, biar Zach kalau mau berbuat yang aneh-aneh mikir dulu.” Max terkekeh.
“Wah, rupanya ada konspirasi di sini. Kalau begitu tarifnya dua kali lipat, haha!” Mereka tertawa karena merasa ide konyol itu masih saja relevan hingga sekarang.
Akhirnya Julia dan Zach datang ke rumah sakit bersama Max. Mereka berdua datang dengan perasaan bahagia.
“Anak Mama, uhh kangennya,” sambut Intan memeluk Zach.
“Tante,” sapa Julia. “Hei, kamu juga bikin Tante kangen, Julia. Kalian gemes banget ‘sih berdua.” Intan bergantian memeluk Julia.
“Jadi kondisi Bu Intan sudah membaik, hari ini boleh pulang.” Zach dan Julia bersorak mendengar berita gembira itu dari dokter.
“Mohon kepada keluarga semuanya untuk menjaga kondisi psikis Bu Intan. Beliau ini tidak boleh stress, atau banyak pikiran.”
“Tuh, Ma, dengar kata dokter. Kamu ini suka overthinking ‘sih, jadinya begini deh, sering ngedrop.”
“Papa, baru aja diingatkan dokter, ini dokternya masih di sini, Papa sudah nyalahin Mama. Gini ini, Dok, yang bikin saya naik darah. Ini baru Papanya, belum kelakuan anaknya.” Semua orang tertawa mendengar gurauan Intan.
“Baiklah, saya tinggal dulu untuk melihat kondisi pasien lain. Semoga Bu Intan selalu sehat.”
“Makasih banyak, Dok.” Max mengantar Robert keluar ruangan, mereka berangkulan.
“Ya udah sekarang kita kemas-kemas, langsung pulang. Loh, kopernya udah diberesin Papa? Cepat amat?” Zach urung membantu mengemasi baju-baju Intan.
“Iya, kita sudah tahu mau pulang hari ini, suster yang bilang tinggal nunggu visit terakhir dokter saja,” elak Intan. Dia bahkan belum membuka koper yang mereka bawa dari hotel.
“Oke, Ma, kita pulang sekarang!” Max sangat senang akhirnya mereka bisa pulang.
Sesampainya di rumah, Zach mengajak Julia mengobrol sebentar di teras.
“Aku mau kita bikin kesepakatan dulu,” ucap Zach.
“Kesepakatan apa, Kak?” Julia heran melihat wajah serius Zach, tidak cuek seperti biasanya.
Mereka duduk berhadapan di kursi teras, Zach masih berpikir sejenak sebelum akhirnya membuka suara.
“Begini, kondisi Mama baru saja pulih setelah sakit kemarin, dan dokter juga bilang kita tidak boleh bikin Mama emosi, intinya harus menjaga kondisi psikis Mama. Aku mau minta tolong sama kamu, kita harus tetap bersikap baik dan akur di depan Mama, supaya Mama tidak kepikiran.”
Julia terdiam. Dia juga merasa kasihan dengan Intan, jadi menurutnya ini adalah solusi terbaik. Kedatangannya ke Jakarta adalah untuk menemani Intan, ibunya bahkan mewanti-wanti supaya ia merawat Intan sampai sembuh.
“Iya, aku setuju. Lagi pula aku juga kesini ‘kan untuk Tante Intan.” Seolah ingin menegaskan kehadirannya demi Intan, bukan karena Zach, Julia pun menyetujui usulan Zach.
“Deal! Demi Tante Intan.” Julia mengulurkan tangannya. Mereka berjabat tangan merasa telah membuat sebuah kesepakatan penting. Zach senang karena memang Julia gadis penurut.
“Akrab, jangan lupa kita harus membuat Mama senang dengan bersikap akrab di depan Mama,” bisik Zach sambil melirik ke arah Julia. Gadis itu menjadi salah tingkah ditatap begitu rupa oleh Zach.
“Demi Tante Intan,” jawabnya meyakinkan.
Di sisi lain Tiffany sedang merajuk pada dua teman Zach, mengutarakan kekecewaannya.
“Sudah mau tiga minggu sejak Zach pulang ke Jakarta, dia belum menemuiku juga! Gila!” Tiffany menggebrak meja, membuat Satria dan Hendra terlonjak.
“Hei, kira-kira dong. Pecah tahu rasa!”
“Aku harus gimana, Hen? Kamu tahu, kesabaranku makin lama makin menipis. Apa dia tidak kangen sama aku? Effort dikit, kek, keluar rumah diam-diam tengah malam nyusul aku ke apartemen,” geram Tiffany sambil mengacak-acak rambutnya.
“Iya, Zach sekarang sudah berbeda, tidak asyik kayak dulu. Aku juga jadi bingung menghadapinya. Dia bilang hari ini Mamanya pulang kalau jadi, semoga emang jadi pulang, sih. Sebenarnya aku juga kasian dia jadi kayak dipingit gitu.” Satria juga merasakan kegelisahan yang sama.
Biasanya mereka selalu berempat kemana-mana. Kadang kalau sedang bete, bahkan mereka bisa nongkrong di apartemen Tiffany semalaman. Tanpa jarak dan sekat, pertemanan mereka memang sudah terjalin sejak Zach belum mengenal Tiffany.
“Kamu sabar sedikit lagi, Tiff. Harusnya kamu kasih dukungan untuk Zach. Dia sedang berada dalam situasi tak berdaya. Sudah tidak bisa kemana-mana, Mamanya juga lagi sakit, sekarang juga lagi ada ….”
“Ada apa?” Tiffany merasa Hendra sedang menyembunyikan sesuatu. Zach memang belum bilang kalau Julia juga ikut datang ke Jakarta. Zach hanya cerita sekilas kepada Hendra dan Satria.
“Ya itu … ada rencana perjodohan itu yang bikin ribet maksudnya,” elak Hendra.
“Iya, ribet banget, Zach tiap malam nangis curhat ke aku,” timpal Satria berbohong mencoba menenangkan Tiffany.
“Serius?” Tiffany mengerling tak percaya.
“Ya pokoknya kamu harus sabar, Tiff. Kasih dukungan buat Zach. Kita berdua mendukung kamu buat jadi istrinya Zach. Apa aku telpon aja Zach? Sebentar, aku telpon aja, deh.”
Panggilan terhubung, tapi karena Zach sedang sibuk membuat kesepakatan dengan Julia, pria itu tak mengangkatnya.
“Nggak diangkat, Njir!”
“Tuh ‘kan, dia sekarang angkat telpon aja susah. Kalian pasti tahu ‘kan perasaan aku. Udah bukan diduakan lagi, aku udah ngerasa dicuekin ama Zach,” ucap Tiffany sendu. Dia sudah hampir menangis. Kemarin-kemarin dia sudah mencoba bersabar. Tapi sekarang dia benar-benar tak habis pikir kenapa Zach tega melakukan ini padanya.
“Tenang Tiff, kamu jangan kebawa emosi. Nanti malah ruwet. Yang penting kamu sama Zach masih berkomunikasi, masih ngobrol, kalau perlu VC semaleman juga nggak apa-apa. Itu penting supaya hati Zach tidak berpaling.”
“Kalian jangan bikin aku tambah stress, dong!” protes Tiffany.
“Bukan gitu, maksud aku selama Zach sama kamu tidak bilang apa-apa, berarti dia memang masih Zach yang sama. Aku yakin dia bakal cari cara untuk perjuangin kamu, Tiff.”
“Kalian yakin Zach bakal ngelakuin itu buat aku?” Tiffany bertanya balik karena sejujurnya dia sendiri sudah merasa insecure.
Hendra dan Satria mengangguk. Mereka memang masih berharap Tiffany yang menikah dengan Zach. Bukan gadis asing yang membuat Zach menjadi terkekang seperti sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Astri Tri
punya temen ko gtu ngjak badung mlu
2023-02-21
1