Berbelanja

“Akhirnyaaa, nyala juga!” Julia berteriak mengalihkan pandangan Zach yang tanpa sadar sedang menatapnya dengan intens. Pria muda itu memang sedang terpesona dengan semua hal yang terlihat di depannya.

Seorang gadis manis dengan lesung pipi sedang tersenyum menikmati hasil kerja kerasnya. Berjalan kesana kemari di kegelapan berbekal senter, tanpa banyak bicara, mengusir kegelapan, menggantinya dengan cahaya terang, itu terlihat seksi di mata Zach. Tapi hanya sebentar. Suara Julia mengagetkan lamunannya.

“Ayo masuk, Kak! Kok malah bengong?” Mata bulat Julia menatap ke arah Zach yang membeku. Mata itu mirip tokoh kartun Pocahontas yang dulu sering Zach lihat saat dirinya masih kecil.

Saat memasuki rumah, mereka melihat Amri dan Bi Ipah juga Supri sedang berjalan memasuki ruang tamu.

“Dari mana saja kalian? Situasi genting malah pergi semua!” bentak Zach jengkel.

“Maaf, Mas! Tadi Amri ulang tahun, trus mengajak kami semua keluar, kami ditraktir nasi goreng.” Bi Ipah yang menyahut.

“Iya, Mas. Ya biar kayak orang-orang, bisa makan di luar. Eh ternyata yang penjual nasi goreng dekat rumah tutup, jadi kita jalan lagi agak keluar komplek. Sudah begitu penjualnya lama bikin nasi gorengnya. Tapi, aman ‘kan Mas?” Amri berpura-pura.

“Aman gimana? Barusan mati lampu. Aku tidak mengerti cara menyalakannya, untung ada Julia yang berhasil menemukan sekringnya di belakang gudang.” Sedikit berbangga hati, Zach mengakui kehebatan Julia. Gadis itu merasa ini bukan sesuatu yang besar, dia hanya tersenyum tipis.

“Lain kali kalau mau keluar rumah jangan barengan, Pak Amri! Coba seandainya barusan ada orang masuk, pencuri atau perampok? Ya amit-amit, tapi kita harus antisipasi kejadian-kejadian seperti itu.”

“Iya, Mas Zach, maaf tadi kami tidak kepikiran.” Supri, sopir yang diminta Max untuk pulang saja usai mengantar mereka ke hotel angkat bicara.

“Sekarang juga zaman sudah canggih, lebih baik pesan online aja, cepat dan aman. Dengar-dengar kemarin di komplek sebelah juga ada perampokan, jadi kita jangan sampai lengah.”

“Iya, maaf, Mas. Bi Ipah tadi cuma ikut-ikutan, kalau tahu bakal mati lampu, Bi Ipah enggak akan tega ninggalin Neng Julia dengan Mas Zach berdua saja.”

“Maaf, Mas Zach, saya yang salah. Ini ide saya.” Amri masih menunjukkan wajah penyesalan.

Julia hanya bisa memandangi wajah-wajah polos di depannya. Dia bukan siapa-siapa di rumah itu, jadi sikap terbaiknya adalah diam. Meskipun sebenarnya ia kasihan. Julia tidak tahu Intan yang memerintahkan mereka serentak meninggalkan rumah.

“Ya udah kalian masuk, udah malam juga.”

Sebenarnya Zach menutupi kegugupan hatinya yang sempat terpana oleh Julia. Dia berusaha menetralkan jantungnya yang tiba-tiba berdegub sangat cepat saat melihat makhluk manis di hadapannya. Akhirnya mereka bubar dan kembali ke kamar masing-masing. Hanya Amri yang kembali ke pos satpam untuk melaporkan hasil pekerjaannya kepada Intan.

Keesokan harinya Julia bangun pagi-pagi sekali. Dia melihat Bi Ipah yang sedang menyiapkan sarapan. Karena bingung harus berbuat apa, gadis itu menawarkan bantuan, sekaligus ingin belajar memasak.

“Bi, boleh Julia bantuin?” tanya Julia sambil memasuki dapur yang sangat luas. Dapur ini empat kali luas dapur di rumahnya. Julia pernah melihat dapur seperti ini di channel Youtube para chef ternama. Menurutnya masih lebih mewah dapur di rumah Zach ini.

“Neng Julia jangan ke dapur, ah. Nanti bau masakan, lho! Nanti kalau Bi Ipah sudah selesai masak, Bibi panggil.”

“Tidak apa-apa, Bi. Lagian saya juga mau belajar masak dari Bi Ipah, boleh ‘kan?” tanya Julia sedikit kikuk.

Semua perabotan milik Intan belum pernah ia lihat sebelumnya. Di rumah, ibunya hanya memasak dengan panci biasa, bukan panci tebal berbahan enamel merk ternama yang koleksinya berderet-berderet ada dalam laci kitchen set milik Intan.

“Waduh, Bibi juga masih belajar, belum jago masak, Neng. Tapi beneran ini Neng Julia mau ikut bantu Bibi masak?” Julia mengangguk pasti.

“Ya sudah kalau gitu mulai dari yang paling gampang aja dulu. Mengupas bawang, ini bawangnya, ini pisaunya, nanti yang sudah dikupas taruh di sini.” Bi Ipah meletakkan satu panci stainless kosong di meja marmer. “Sebentar bibi ambilkan air dulu, setelah dikupas, nanti langsung dimasukkan ke dalam panci yang berisi air, biar getahnya keluar.”

Secepat kilat Julia mengerjakan tugasnya.

“Ini, Neng.” Bi Ipah meletakkan panci berisi setengah panci air dari kran. “Lho, kok sudah kelar? Ini dikupas apa dikunyah? Cepet banget Neng Julia ini ngupas bawang. Ckckck, luar biasa!” Bi Ipah berdecak kagum. Julia terus mengikuti instruksi Bi Ipah yang sangat senang karena ternyata Julia bukan anak manja yang tidak tahu pekerjaan rumah.

Zach baru bangun saat tangannya meraih ponsel yang bergetar di bawah bantal. Kebiasaaan, setiap matanya melek, langsung meraih benda pipih itu, lalu membuka notifikasinya satu persatu.

Ia kaget karena mendapat pesan dari Mamanya untuk membeli stok bahan-bahan makanan bersama Julia.

[Sayang, sepertinya stok makanan mulai menipis, bisa tolong Mama? Tolong ke minimarket sama Julia, nanti Mama kasih list barang yang harus kalian beli. Mama akan sangat berterima kasih kalau kamu mau melakukan itu.]

Pesan dari Intan membuat kening Zach berkerut.

“Bukankah itu tugas Bi Ipah?” Zach tak habis pikir.

[Mama tahu pasti kamu protes, karena itu tugas Bi Ipah ‘kan? Sayang … Mama kasihan, Julia pasti bete di rumah terus. Jadi sebaiknya kamu segera bangun dan pergi ke minimarket bersama Julia]

“Semua demi gadis itu. Harusnya aku bisa bangun agak siangan, atau tidur seharian, bukan keluar pagi buta begini!” Zach menahan dongkol.

Zach mengacuhkan pesan itu dan mencoba tidur lagi. Dia akan berpura-pura belum membaca pesan itu. Tapi ponselnya bergetar lagi.

[Apakah permintaan Mama ini berlebihan, Sayang? Jadi kamu keberatan melakukannya untuk Mama?]

”Ah, Mama! tidak bisa kayaknya Mama tuh ngebiarin anaknya santai bentarrr saja!” desisnya kesal. Kali ini dia mengubah posisi tidur, yang tadinya telentang sekarang tengkurap. Tapi tetap saja itu tak membantu. Zach kepikiran kalau Mamanya merajuk lagi.

Pria tampan itu segera meraih ponselnya lagi. Dia memaksakan diri duduk bersandar pada bantalan springbed.

[Oke Mama sayang, bentar lagi Zach belanja sama Julia. Kasih waktu Zach buat ngumpulin nyawa dulu. Mama jangan nakal di rumah sakit. Kalau Mama nakal, nanti Papa nakalin siapa? Cepet sembuh biar Mama cepet pulang. Rumah sepi nggak ada Mama yang teriak-teriak.] Zach segera membalas pesan mamanya.

Intan tersenyum membaca balasan pesan dari Zach.

“Kenapa Mama senyum-senyum?” Max ingin tahu.

“Anakku lucu banget. Katanya aku enggak boleh nakal,” seru Intan sembari terbahak-bahak.

Dia senang bisa mengontrol Zach dengan baik. Sementara Zach sedang bersiap-siap pergi ke minimarket. Pria itu tidak menyadari jika stok bahan makanan sudah full di lemari pendingin, tanpa kurang sedikit pun.

Terpopuler

Comments

RahaYulia

RahaYulia

padahal mh suruh ajak jln2 nya ke ragunan aja julia psti lb seneng😁

2025-04-16

1

RahaYulia

RahaYulia

emang ngupasnya brp kilo sih bi ipeh smpe nyimpennya dipanci yg kcilan dikit ada kan bi kaya mangkok aja gtu, niat amat pamer panci😅😅😅

2025-04-16

1

RahaYulia

RahaYulia

bukan itu yg hrsnya dipikirkan, emakmu kn lg sakit konon katanya, kok smpat2nya mikirin bhn mknan dirumah😅😅😅, curiga dikit atuh jek🤣🤣

2025-04-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!