Jika Julia tidak melihat noda lipstick di kerah baju Zach, mungkin tanpa diminta pun dia akan membawa barang-barang belanjaan itu ke dapur. Tapi hatinya terlanjur nyeri melihat pemandangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Jangan menguji perasaan seseorang yang menjalani takdirnya dengan ikhlas, karena sekali terluka, ia sulit disembuhkan.
Setelah acara berbelanja itu, sikap Julia menjadi berubah. Awalnya dia memang ingin menjadikan Zach sebagai teman. Setidaknya teman ngobrol karena di Jakarta dia tak punya siapa-siapa.
Sedikit demi sedikit dia mulai bisa terbuka dengan Zach. Bercerita tentang hal-hal yang ia sukai, terkadang beberapa kebiasaan si desanya. Tapi, kali ini Julia terus menghindari pria itu.
Makan siang sudah disiapkan Bi Ipah di atas meja. Perempuan paruh baya itu mengetuk pintu Julia dan mempersilakannya makan.
“Turun dulu, Neng. Bibi sudah selesai masak makanan yang tadi dibantu sama Neng Julia. Sop daging, perkedel kentang, ada nugget ayam dan kornet telur. O iya, sambal kesukaan Neng Julia juga ada.”
Pendar mata Julia sangat menginginkan semua masakan yang disebutkan Bi Ipah. Gadis itu segera mengekori Bi Ipah turun tangga.
“Wah, pasti masakan Bi Ipah enak banget. Udah nggak sabar mau nyobain sop da-“
Julia menarik ucapannya begitu melihat Zach sudah duduk rapi di kursi makan. Pemuda itu cuek melihat kedatangan Julia. Hanya tangannya yang melambai memberi isyarat supaya Julia duduk.
“Ehm, Bi. Julia belum lapar, nanti aja makannya.”
Gadis itu langsung berbalik. Nafsu makannya mendadak hilang melihat Zach yang dengan santainya makan. Mata Zach melihat punggung gadis yang berjalan terburu-buru ke kamarnya.
“Kenapa dia, Bi? Bukannya dari pagi belum makan?”
“Iya, nggak tahu, kok tiba-tiba pergi, tadi bersemangat mau menghabiskan masakan Bibi.” Bi Ipah tidak bersemangat menjawab. Dia heran sikap Julia bisa berubah sangat cepat. Tapi perempuan paruh baya itu menyadari, perubahan sikap Julia itu pasti akibat ulah Zach.
“Tadi diapain waktu belanja sama Mas Zach?” tanya Bi Ipah. Zach mengangkat bahu, dia masih tak habis pikir dengan sikap Julia yang dinilai labil.
Bukan hanya di meja makan terjadi perang dingin, saat Julia sedang asyik menonton tayangan fauna di chanel asing, Zach langsung duduk di sebelahnya. Tadinya Julia sangat senang melihat hewan-hewan liar di hutan, tapi begitu melihat Zach datang, gadis itu merengut lalu memilih pergi.
Tentu saja hal itu tidak luput dari pantauan Intan yang sedang mengamati mereka dari CCTV yang terkoneksi ke ponselnya.
“Kenapa sikap mereka jadi aneh gini, ya, Pa?” Intan menopang dagu. “Aneh gimana? Apakah terjadi sesuatu?” Max penasaran.
“Coba ini Papa lihat, setiap ada Zach, Julia pasti merasa tidak nyaman. Lihat nih, dia langsung pergi, loh, Pa.”
Max melihat raut kesal di wajah Julia yang terekam di kamera saat meninggalkan Zach.
“Mama seperti tidak pernah muda, ekspresi Julia ini persis Mama dulu waktu pertama kali Papa cium. Pura-pura cemberut, gemes deh!”
Intan terdiam sesaat. Apa benar Zach sudah berani mencium Julia hingga gadis itu merasa kesal?
“Tapi kalau kesal karena dicium kayaknya ‘sih, tidak lama, Pa. Hanya sebentar juga sudah baikan.” Intan kembali menganalisa.
“Sepertinya memang mereka menjauh satu sama lain. Wah ini tidak bisa dibiarkan, Pa. Kita harus berbuat sesuatu!” Max tahu istrinya pasti punya ide baru untuk kembali merekatkan hubungan Zach dan Julia.
“Kali ini apalagi?” tanyanya apatis.
“Kita bikin mereka mesra lagi, seperti kejadian mati lampu malam itu,” desis Intan penuh rencana.
Julia sendiri tidak tahu mengapa ia seperti tidak nyaman. Mengapa juga rasanya seperti ingin marah tanpa alasan. Yang ia tahu hanya kesal karena Zach tiba-tiba meninggalkan dia di mobil sendirian tanpa bilang apa-apa.
Jika benar hanya karena perutnya sakit, masih bisa dipahami, mungkin saking sakitnya Zach sampai harus lari terbirit-birit ke toilet. Bisa jadi. Tapi perkara noda lisptik itu, tidak mungkin tiba-tiba ada orang asing yang terjatuh lalu tak sengaja ditolong Zach kemudian bibirnya nyangkut di kerah baju. Suatu kemustahilan. Dan semakin memikirkan hal itu, Julia semakin frustrasi.
Max sesuai perintah Intan, mengambil langkah aman dengan pulang kerumah.
“Hai Julia, ‘kok kamu sendirian? Zach mana?” tanya Max yang melihat Julia sendirian di depan Tivi.
“Eh, Om Max sudah pulang? Bagaimana keadaan Tante Intan, Om?” Sontak Julia bangkit dari sofa dan menyambut kedatangan Max.
“It’s, oke duduk aja,” ujar Max sambil mengambil ponselnya dari saku. Dia menelepon Zach yang sedang memilih baju untuk pergi menemui Tiffany sesuai janjinya.
“Hai, Pa? Mama gimana? Tumben Papa yang nelpon, biasanya Mama.”
“Turun kamu sekarang, Papa mau bicara.” Max mematikan telepon.
Sementara Julia berdebar karena Max seperti ingin mengabarkan sesuatu. ‘Apakah ini ada hubungannya dengan kondisi kesehatan Tante Intan?’ batinnya.
Zach segera turun dan terkejut karena Max sudah menunggunya di sofa.
“Papa kapan datang? Mama mana?” cetusnya tak sabar.
“Kamu kenapa biarkan Julia sendirian? Bukannya Papa minta kamu temani dia?”
“Aduh, Pa ... ya kali nemenin dua puluh empat jam?” Zach memutar matanya. Julia hanya terdiam.
“Maaf ya, Julia, memang anak ini agak susah diatur.”
“Tidak ‘kok Om. Kak Zach selalu nemenin Julia, baru aja Kak Zach naik, katanya mau istirahat sebentar.” Julia sedikit berbohong supaya Max tidak mengomeli Zach. Sementara yang dibela tidak merasa.
“Jadi gini, kondisi Mamamu sudah membaik. Dia mau kalian datang ke rumah sakit. Karena udah boleh dijenguk jadi, Papa sekalian datang mau jemput kalian.”
“Sekarang?” tanya Zach panik. Dia sudah janji untuk bertemu Tiffany malam ini. Kalau sampai gagal lagi, tamatlah riwayatnya.
“Ya sekarang, dong! Masa besok. Siap-siap saja dulu. Papa juga mau mandi sama ganti baju. Julia, kamu juga siap-siap, Tante Intan bilang udah kangen sama kamu.”
“Iya, Om. Julia ke kamar dulu, punten.” Julia membungkukkan badannya saat melewati Max.
“Aku juga ke kamar dulu, Pa.”
Zach melangkah lunglai ke kamar dan segera menelepon Tiffany.
“Honey, I’m so sorry, sepertinya aku tidak bisa datang. Papa pulang ajak aku buat jenguk Mama,” ujarnya lemah.
“Again?” Tiffany benar-benar tak habis pikir. Untuk bertemu dan berduaan dengan Zach sekarang susahnya minta ampun.
“Please, aku ngerti kamu pasti kecewa. Tapi, aku tidak punya pilihan. Mamaku sakit dan sampai sekarang masih ada di rumah sakit.” Tiffany tak menjawab lagi. Dia langsung mematikan telepon.
Zach mencoba menghubungi kekasihnya lagi, tapi ponsel Tiffany sudah tidak aktif.
“****! Pasti dia ngambek.l!” umpat Zach memukul dinding.
Tiffany segera melampiaskan kemarahannya. Wanita itu membanting semua barang yang ada di apartemennya. Setelah kelelahan, gadis itu pun menghilangkan penat dengan menenggak alkohol seorang diri di kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments