Kelebihan Julia

“Kami sudah menyiapkan kamar, meskipun seadanya, karena jauh kalau harus ke hotel masih empat puluh kilo lagi. Tidak apa-apa, ya, Intan, kalian sementara tinggal di sini?” Nia ingin menjadi tuan rumah yang baik untuk calon besannya.

“Wah, malah jadi ngerepotin. Aku justru senang, karena jarang-jarang kami bertiga bisa ngumpul kayak di villa begini, ya ‘kan, Pa?” Intan menoleh ke arah Maxwell.

“Betul, kami akan memanfaatkan waktu di sini untuk healing, suasananya masih sangat asri di sini. Pikiran jadi tenang, setuju Zach?”

Zach mengangguk sambil tersenyum. Senyum palsu yang hanya ditunjukkan saat berada di depan keluarganya dan keluarga Julia. Ketika dia sedang berdua bersama gadis itu, senyumnya lenyap berganti kesedihan yang mengurung jiwanya.

“Sepertinya hari sudah larut, kalian pasti sangat lelah karena perjalanan dari bandara ke sini sangat jauh. Ayo Intan, aku antarkan ke kamarmu. Julia, kamu antarkan Zach ke kamarnya.” Julia mengangguk mendengar perintah ibunya.

“Ayo, kamar Kakak ada di samping,” ujar Julia. Rumah Nia berbentuk seperti rumah gadang. Rumah kayu bertingkat dua. Sebenarnya bukan bertingkat tapi mereka tinggal di atas. Sedangkan di bawah tiang-tiang penyangga yang difungsikan untuk menyimpan hasil kebun, dan semacam gudang, ada halamam untuk menanam sayur dan memelihara beberapa ternak seperti ayam, bebek, juga ada kolam ikan.

“Ini kamarnya.” Zach hanya mengangguk memasuki kamar yang berada di bagian luar rumah, kamar itu memiliki pintu yang langsung terhubung dengan tangga, hingga lebih leluasa keluar masuk tanpa mengganggu penghuni di dalam rumah.

Julia sebenarnya ingin mengatakan selamat datang atau semacamnya, tapi melihat sikap dingin Zach yang sangat irit bicara sejak lelaki itu datang  ke rumahnya, gadis itu memilih diam. Takut salah ucap.

Suasana pedesaan tampak asing bagi Zach yang selalu dikelilingi oleh hingar-bingar perkotaan. Suara jangkrik di luar kamarnya membuat pria itu berkali-kali menutup telinga karena merasa terganggu.

“Ah, suaranya berisik sekali! Bagaimana bisa tidur kalau begini?” gerutunya sambil menutup telinganya dengan bantal. Saat telinganya tertutup bantal, suara jangkrik berubah menjadi lebih lirih. Perlahan-lahan Zach tersenyum. Ternyata suara jangkrik itu memberikan kedamaian tersendiri.

Keesokan harinya keluarga Maxwell benar-benar menggunakan waktunya untuk beristirahat. Sepanjang hari mereka hanya berada di dalam rumah, bermalas-malasan sambil menyantapp makanan lezat yang dihidangkan Nia.

“Ini benar-benar hibernasi namanya, Nia. Makan tidur aja kerjaan kita,” cetus Intan sambil tertawa.

“Sudah biasa begitu. Sehari dua hari kalian memang harus beristirahat. Ayo ayam panggangnya nambah lagi, dong. Ini yang nangkap ayam, Julia tadi pagi. Yang bersihin bulunya, juga dia. Aku cuma bagian masak aja.”

Nia menyodorkan sebaki ayam panggang. Ada empat ekor yang masing-masing dibagi menjadi empat bagian.

“Luar biasa Julia. Hmm, ini lezat sekali, Ma. Bumbunya meresap. Kayak ada manis-manisnya tapi bukan gula,” sela Maxwell seraya mengunyah daging ayam kampung yang terasa empuk di lidah.

“Itu karena dikasih air kelapa. Julia yang naik ke atas pohon kelapa, anak ini kalau urusan panjat-memanjat bikin ibunya pusiiing,” keluh Nia.

“Julia jago panjat?” Intan tak percaya gadis yang berpenampilan lembut ternyata tomboy juga.

“Ibu jangan bongkar rahasia,” bisik Julia di telinga Nia. Ibunya tergelak. “ Mereka ini akan jadi keluargamu juga, jadi tidak usah jaim-jaiman begitu.” Wajah Julia berubah merah menahan malu.

“Iya, Julia. Justru Tante senang kamu serba bisa begini.”

Usai makan malam, mereka bertiga ngobrol di ruang tamu. Sedangkan Julia memilih duduk di depan rumah, menatap bintang yang bertaburan malam itu.

Zach yang tak tahu harus kemana memilih mengikuti Julia. Dia melihat Julia mendongakkan kepala, menatap langit. Zach ikut melihat langit yang dipenuhi bintang-bintang. Hal yang jarang Zach lihat di rumahnya. Sepertinya malah bintang tidak pernah tampak di kediamannya. Zach ikut duduk di samping Julia yang tersentak mengetahui keberadaan pria itu.

“Eh, Kakak belum tidur?” Julia menggeser tubuhnya. Dia sedang duduk di balai-balai depan rumah yang biasa ia gunakan untuk duduk atau tiduran santai seperti sekarang. Zach tidak menjawab. Mereka sama-sama diam dengan pikirannya masing-masing.

Satu jam sudah berlalu, mereka sama sekali tidak saling membuka suara. Julia merasa Zach tidak tertarik dengan dirinya. ‘Menjawab sapaanku saja dia tidak mau, bagaimana mau ngobrol? Sepertinya pria ini memang tak tertarik padaku, aku merasa jadi orang bodoh,’ keluhnya dalam hati.

‘Susah kalau beda dunia. Gadis ini suka melihat bintang, aku merindukan lampu disco di klub malam. Gimana mau searah?’ batin Zach gelisah. ‘Apa aku bilang saja kalau sebenarnya aku terpaksa menerima perjodohan ini, siapa tahu dia mau menghentikannya. Kalau dia yang membatalkan rencana gila ini, Mama pasti tidak akan marah lagi.'

Zach hampir membuka mulutnya, tapi saat ia melihat Julia yang sangat khusuk melihat bintang-bintang, pria itu mengurungkan niatnya. Dia khawatir ucapannya mengganggu Julia.

Zach pun akhirnya kembali ke dalam rumah. Pria itu berpikir akan membicarakannya nanti, di waktu yang tepat.

***

Suara nyaring kokok ayam membangunkan seisi rumah. Zach mulai terbiasa mendengar suara kokok ayam di pagi hari, kicau burung yang beraneka ragam, juga terkadang dia mendengar suara lengkingan angsa, salah satu binatang ternak peliharaan Julia.

Zach membuka pintu kamarnya. Udara pagi terasa segar memenuhi rongga hidungnya. Di halaman bawah dia melihat Julia sedang mencangkul tanah. Zach mengucek-ucek matanya takut salah penglihatan. Ternyata tidak salah. Julia sedang membuat gundukan tanah mirip parit-parit kecil untuk menanam cabai.

Di halaman memang banyak aneka sayuran. Ada mentimun, pare, daun bayam, tomat, selada, pokcay semua terlihat tumbuh subur. Tangan dingin Julia yang mewujudkan kebun sayur itu.

Julia memiliki tubuh yang kecil dan ringan. Beberapa kali Zach memergoki Julia memanjat pohon yang kemudian diteriaki oleh Ibunya.

“Turun Julia! Ibu bilang cuma ambilkan daun pisang, bukan panen jambu!” Nia melihat Zach sedang menatap Julia dari depan kamarnya. “Maaf, Nak Zach. Terkadang kelakuan Julia memang ajaib, seperti anak kecil.”

Zach cuma tersenyum. Di waktu lain Zach juga melihat Julia sedang mengganti bohlam lampu di dapur. Bahkan Zach pernah memergoki gadis itu sedang mengangkat galon air naik tangga dari halaman menuju dapur.

“Sini aku bantu angkat ranselmu,” ujar Bagus saat Julia kesulitan mengangkat ranselnya. Setiap minggu mereka bertiga memang selalu naik gunung.

“Jangan Julia aja, punyaku juga, dong!” protes Yanti.

“Kamu buat apa punya badan besar kalau tidak bertenaga?” timpal Bagus.

Zach mengintip dari bilik kamarnya, Julia pergi bersama kedua temannya. “Oh, itu Bagus sama Yanti teman Julia mendaki gunung. Biasalah anak-anak itu susah dikasih tahu,” ucap Nia saat Zach bertanya siapa mereka.

Menangkap ayam, memanjat pohon, mengangkat galon, mengganti lampu. Di mata Zach, Julia tidak terlihat seperti gadis desa yang pemalu dan anggun. “Ini yang mama bilang gadis itu punya IQ, EQ dan SQ?” gumam Zach putus asa.

Terpopuler

Comments

Astri Tri

Astri Tri

love poko nya

2023-02-21

1

meE😊😊

meE😊😊

wahh justu enak loh pny istri julia dia bnerw mandiri jd tr g bkon ngrepotin km zach bhkn sking mndiri y km pun brasa ga ad arti y🤣🤣🤣

2023-02-01

2

Hayurapuji

Hayurapuji

udh mirip Ama kang Tarzan, tapi aku dulu juga gitu suka manjat2 tapi klo pohon kelapa gak berani

2023-01-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!