Mulai perhatian

Tiffany berusaha mengikuti usul dari Hendra dan Satria untuk bersabar. Satu kata yang tidak pernah ada di dalam kamus hidupnya. Bagi Tiffany, bersabar hanya pantas dilakukan oleh orang-orang bodoh, dan dia bukan termasuk gadis bodoh itu.

“Okelah, kalau kalian memang yakin Zach masih akan memperjuangkan aku, aku akan tunggu dia. Asal kalian tahu, aku paling tidak bisa menunggu. Kalau bukan karena aku cinta mati sama dia, sorry aja.”

Hendra menyenggol bahu Satria. “Gini kalau cewek udah bucin parah, tapi aku seneng, jadi kita bisa happy-happy sampe pagi, dong.” Mereka bertiga segera memesan minuman lagi lalu tenggelam dalam hiruk pikuk musik diskotik yang memekakkan telinga.

Tiffany mengira mungkin esok hari Zach akan menghubunginya, menjelaskan dengan detil kenapa ia mengingkari janjinya.

Akan tetapi semua yang ia bayangkan itu tidak terjadi. Intan super mama yang sekarang sedang mempunyai misinya sendiri, tidak membiarkan Zach keluar rumah tanpa alasan jelas. Zach masih di kantor saat Intan menelepon dan memintanya untuk pulang.

“Zach, sudah jam empat, kamu bisa pulang sekarang?” tanya Intan lembut.

“Masih ada kerjaan, Ma. Mungkin Zach pulang jam sembilan.”

“Sayang, Mama bingung dan butuh bantuan kamu. Kata Papa kerjaan kamu masih bisa ditunda besok, jadi sebaiknya kamu pulang.”

“Memang Mama butuh bantuan apa?” Zach segera mematikan laptopnya, menyimak dengan baik perkataan sang Mama.

“Ya sudah pulang aja dulu, nanti Mama kasih tau di rumah.”

Zach pun bergegas pulang, sementara Intan tersenyum kegirangan. Perempuan yang masih terlihat cantik menjelang usianya yang kelima puluh itu mengetuk pintu kamar Julia.

“Julia, gimana? Cocok ‘kan gaunnya?” tanyanya saat melihat kepala Julia menyembul dari balik pintu. Julia memutar badannya, memperlihatkan satu gaun berwana merah marun dengan kombinasi benang emas.

“Pas, ukurannya, Tante.” Julia sedikit malu-malu karena dia tidak terbiasa memakai gaun formal seperti sekarang. Celana jins dan t’shirt adalah busana kebesarannya sehari-hari.

“Wah, bagus sekali. Tubuh kamu proporsional, loh. Pakai celana pantas, pakai gaun juga auramu langsung berubah begini, Julia. Calon menantu Tante memang tidak ada banding.” Intan menjawil hidung Julia yang lancip.

Dari kejauhan terdengar suara deru mobil.

“Ya udah kamu siap-siap dulu, itu sepertinya Zach udah pulang, Tante mau ngobrol sama dia sebentar.” Julia mengangguk, sementara Intan tak henti-hentinya melengkungkan senyumannya. Dia begitu senang dengan sifat penurut Julia.

“Ma, ada apa?” Zach yang baru datang hampir masuk ke kamarnya, saat melihat Intan keluar dari kamar Julia.

“Ayo masuk dulu, Mama mau bicara.” Intan mendorong tubuh jangkung putranya memasuki kamar.

“Segera mandi dan berganti baju, pakai jas karena malam ini kamu harus menghadiri undangan pernikahan anaknya Tante Sarah.

“Hah, undangan nikahan? Kenapa Zach yang harus datang, Tante Sarah ‘kan temen Mama.”

“Zach … Mama masih kurang enak badan, Sayang. Jadi Mama mohon kamu saja yang datang dengan Julia. Acaranya di hotel Premier, standing party jadi kamu pasti tidak akan boring.”

“Ma, Zach belum siapin-“

“Jas? Kemeja? Lihat itu sudah Mama siapin semua. Sabuk, sepatu, kamu tinggal pakai. Julia juga sudah Mama belikan gaun barusan. So what? Tinggal berangkat aja ‘kan?” Intan membuka kedua tangannya sambil mengendikkan bahu, membuat Zach tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Pria tampan itu akhirnya dengan berat hati pergi juga bersama Julia. Di sepanjang perjalanan mereka hanya diam, karena tak tahu harus berbicara apa.

Setelah acara nikahan usai, Zach langsung mengajak Julia pulang. Dia berencana nekat pergi ke apartemen Tiffany.

“Wah, sudah pulang? Gimana pestanya tadi? Kalian menikmatinya?” tanya Intan sengaja menunggu mereka di ruang tengah.

“Tante belum tidur?” Julia balik bertanya.

“Belum, dong. Nunggu kalian pulang dulu. Zach kamu kenapa, Sayang? Kok mukanya ditekuk gitu?”

Zach kesal karena dia berharap Intan dan Max sudah tidur, ternyata mereka berdua masih asyik bercengkerama di ruang tamu.

Bukan hanya menghadiri pesta, Intan juga telah merancang banyak kegiatan untuk Zach dan Julia. Malam berikutnya Zach dan Julia harus menghadiri acara amal.

“Mama, please, deh!” rajuk Zach saat Intan kembali menyiapkan satu stel jas lengkap dengan segala assesoriesnya.

“Sayang, acara charity ini memang rutin diadakan tiap enam bulan sekali. Ada dana CSR juga yang harus dipertanggungjawabkan perusahaan Papa. Jadi ini acara penting, jangan sampai tidak datang.”

“Ya tapi ‘kan bisa Papa sama Mama. Kenapa harus Zach yang berangkat, nanti juga di sana ketemunya Bapak-bapak, Ibu-ibu,” keluh Zach.

“Maksudmu penyumbang dana? Ya bagus, dong. Kamu sadar, tidak? Kepergianmu malam ini ke acara amal sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak surviver cancer di luar sana. Ada ribuan anak kurang beruntung yang menggantungkan hidupnya dari donatur-donatur yang hadir malam ini, Zach.”

Intan mencoba memberi pengertian, meskipun sebenarnya para donatur itu juga hadir hanya sebagai formalitas, karena mereka adalah donatur tetap yayasan yang dikelola Intan dan kawan-kawannya.

“Julia, kamu tidak keberatan ‘kan, Sayang?” Intan beralih para calon menantunya.

“Tentu saja tidak, Tante. Julia malah senang kalau memang acara yang akan dihadiri malam itu sebegitu pentingnya untuk adik-adik di luar sana.”

“That’s the point!” Intan menjentikkan jarinya.

Zach memutar mata. Lagi-lagi rencananya untuk menemui Tiffany harus gagal karena memenuhi keinginan Intan. Zach hanya bisa memberikan pesan ucapan maaf karena harus menunda kunjungannya ke apartemen kekasihnya tersebut.

Keesokan harinya Intan dan Julia sudah siap di ruang makan. Max menyusul kemudian, diikuti Zach yang terakhir bergabung. Zach sedikit heran karena pakaian Julia begitu rapi seperti hendak kerja kantoran.

“Hari ini Papa tidak bisa bertemu Mr Lee, karena mendadak ada meeting penting, jadi kamu yang harus mewakili Papa, Zach.”

Pria muda itu tersedak. Dia baru saja minum jeruk peras, minuman favoritnya di pagi hari.

“Astaga! Apa-apaan? Papa jangan serba mendadak gini, dong!”

“Zach, bisnis itu perlu kecepatan dan percepatan kalau mau maju. Semua hal bisa terjadi tanpa direncanakan. Gimana mau memimpin perusahaan kalau gagap melulu.” Dengan tenang Max menikmati roti dengan olesan butter, selai kacang dan madu.

“Bukan gagap, Pa. Cuma jangan dadakan.”

“Ya itu gagap namanya. Serba tidak siap.”

“Zach, Julia ikut ‘kok, tenang aja.” Intan tersenyum sambil menepuk tangan Zach. Lagi-lagi Zach tak habis pikir kenapa Intan begitu bersemangat mengutus Julia menemaninya. Akan tetapi, sesuai kesepakatan, dia harus bersikap akur di depan Mamanya.

“Memang tidak apa-apa kamu nemenin aku? Kamu tidak ada acara lain gitu? Nonton film? Baca buku? Ke salon? Ke mall?” Zach memberi isyarat supaya Julia menolak permintaan Mamanya dengan alasan yang sudah ia sediakan.

“Tidak apa-apa, Kak. Yang kakak sebutkan tadi bisa ditunda. Tapi, kalau menemui klien atau rekanan kerja, itu wajib hukumnya.”

Intan melirik Max yang tersenyum simpul mendengar jawaban Julia. Mereka diam-diam menautkan tangan di bawah meja makan, senang karena semua berjalan sesuai rencana.

Tanpa di duga Julia berkali-kali membantu Zach ketika bertemu dengan rekan kerja Max yang berkebangsaan Korea. Ternyata Julia mahir bahasa negeri k-pop tersebut. Zach hanya bisa tertawa kecil, 'ternyata pengaruh Korea sampai ke dalam pegunungan juga,' batinnya geli.

Terpopuler

Comments

meE😊😊

meE😊😊

aku ykin d bndingkn dgn tifany julia jauh lbh cerdas n brrwawasan mski dr desa beda dgn tifany yg cma modal make up n ngangk*ng doang

2023-02-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!