Mediasi

"Apa alasan yang membuat Anda menggugat Ibu Sabrina atas pencemaran nama baik?” tanya Mediator, Pak Yudi, kepada Julius Sinaga. Mediasi sudah berlangsung selama dua puluh menit.

Julius menatap Brina yang berada di seberang mejanya. “Dia sudah mencela saya, menghina saya, dan memaki saya. Nona Sabrina juga bahkan memaki klien saya yang juga kliennya.” Pengacara berusia tiga puluhan itu tersenyum mengejek Brina.

Mendengar itu, Brina mendengus geli dan membalas tatapan Julius dengan tajam. Mediasi baru dilaksanakan lima menit yang lalu padahal Brina sudah tiba di pengadilan sejak setengah jam yang lalu. Julius Sinaga sepertinya sengaja untuk datang terlambat dan membuatnya harus menunggu selama itu.

“Saya sebenarnya tidak ingin memperpanjang masalah ini, tapi karena Nona Sabrina mendatangi kantor saya, dan mencari ribut di sana, saya tidak bisa tinggal diam.” Ucap Julius.

“Bukankah pihak perusahaan tempat kerja klien saya ini sudah bermediasi bersama dengan pihak Anda? Semua sudah diselesaikan secara baik-baik, bukan? Klien saya sudah meminta maaf bahkan dia memberi ganti rugi kepada Anda.” ucap Andrew mewakili Brina.

Sebelumnya, Brina sudah berdiskusi dengan Andrew dan membiarkan Andrew untuk mewakilinya. Brina takut jika emosinya tidak akan terkontrol jika harus berbicara melawan Julius, meskipun dia masih bisa menahannya. Hanya saja dia malas jika harus berdebat dengan Julius.

“Memang. Hanya saja saya merasa bahwa permintaan maaf Nona Sabrina tidak terdengar tulus. Lagipula, Nona Sabrina tidak hanya mencaci saya secara pribadi. Klien Anda ikut mencaci maki firma hukum saya.” Brina menatap Julius tajam. Tak percaya mendengar pernyataan Julius. “Karena ini juga menyangkut lembaga, saya tidak bisa tinggal diam.”

“Klien saya ti---”

“Anda salah paham!” ucap Brina memotong perkataan Andrew. Suaranya cukup tinggi. Dia harus bicara sendiri. “Saya tidak mengatakan apa pun tentang firma hukum Anda. Saya hanya membicarakan etika Anda dan klien Anda yang tidak profesional. Rumah yang sedang dibangun tidak boleh dijual sesuai yang tertera di kontrak kami. Anda yang tiba-tiba menjual rumah klien saya tanpa ada pembicaraan lebih dulu. Anda dan klien kita berdua ini yang sudah melanggar kontrak yang sudah ditetapkan oleh perusahaan saya!” jelas Brina tegas.

“Saya tidak bisa mencegah perceraian rumah tangga klien saya. Mereka yang ingin pisah dan mereka yang ingin rumah itu dijual. Jadi untuk apa klien saya masih harus mempertahankan rumah itu jika sudah bercerai dengan suaminya?” timpal Julius.

Brina akan membalas perkataan Julius namun Mediator segera mengangkat tangannya, mencegah Brina untuk berbicara. “Saya rasa cukup untuk kali ini. Kita akan lanjut lagi nanti sore.”

Pak Yudi menutup sesi mediasi pertama lalu Meninggalkan ruangan lebih dulu, menyisakan Brina dan Pengacara Sinaga yang masih saling melempar tatapan benci.

"Saya membaca artikel gosip yang beredar. Apa benar Anda memiliki kedekatan khusus dengan Evan Wilde?" tanya Julius tiba-tiba. 

"Untuk apa Anda menanyakan hal itu?" Brina mendengus. Dia sudah kesal dengan pertanyaan tersebut terlebih Julius yang menanyakan hal itu membuat Brina semakin kesal.

Julius tertawa pelan. "Tidak ada. Hanya rasa penasaran saja. Bagaimana bisa seorang Direktur mengajak pegawainya berdansa tanpa ada maksud apa pun, kecuali pegawai itu seperti Anda, yang mana Anda adalah Sabrina Davinian, putri dari CEO Sandi Davinian.” Julius tersenyum sarkas. “Aku pikir tidak mungkin Evan Wilde secara acak memilih pegawai perempuan untuk diajak dansa kecuali memang dia mengenal pegawainya.”

“Saya pegawai yang cukup cemerlang dan memiliki penilaian bagus di mata klien. Tentunya itu memberikan imej yang baik bagi saya dan perusahaan. Sebagai Direktur baru, Tuan Evan Wilde tentu harus mengenal pegawai di perusahaan yang dipimpinnya, bukan? Terlebih pegawai teladan dan berprestasi seperti saya.” Jelas Brina.

Dia tidak harus mengungkap kedekatannya dengan Evan karena ‘kencan buta atau perjodohan’ kepada yang lain apalagi kepada pengacara sialan itu. Jika orang-orang tahu, mereka pasti akan menyangkut pautkan statusnya sebagai putri dari CEO Saina Corp. Apalagi jika mereka tahu mengenai kedekatannya dengan Evan sudah ‘lebih’ dari sekadar perjodohan saja. Orang-orang akan menggila.

Brina kira statusnya sebagai putri CEO Saina Corp sudah terlupakan dengan bekerja terpisah dan tidak mengikuti jejak ayah dan kakaknya sebagai dokter. Setiap pria yang dekat dengannya, mereka pasti selalu saja melihat statusnya sebagai putri bungsu CEO Saina Corp dan dokter spesialis saraf ternama, Sandi Davinian. Itu yang selalu terjadi kepada Brina sejak dulu. Ditambah status lainnya sebagai putri yang selamat dari tragedi perampokan, menambah nama Brina semakin dikenal orang-orang.

Julius beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati Brina. Dia lalu berhenti tepat di seberang meja Brina dengan kedua tangan bersembunyi di sakunya dengan angkuh. Julius menunduk menatap Brina. “Semua itu hanya salah paham, begitu?” Julius menjeda seraya mengamati ekspresi Brina yang memasang wajah dingin. “Hmmm, tapi saya mendengar dari kenalan saya kalau dia melihat Anda dengan Tuan Evan Wilde di Hotel Paradise beberapa minggu yang lalu. Apa kenalan saya salah lihat, begitu?”

Wajah Brina mengeras dan terkejut di saat yang bersamaan. Entah bagaimana Julius bisa mengetahui keberadaannya bersama Evan malam itu. Dia juga tidak bisa menebak sudah sejauh mana Julius tahu soal malam itu. 

"Maaf jika itu menyinggung Anda." Julius menyeringai. "Mungkin teman saya ini salah lihat atau memang kalian secara kebetulan memang berada di tempat yang sama."

"Saya merayakan ulang tahun saya di hotel itu. Semua keluarga saya hadir." Brina beranjak diikuti Andrew. "Itu mungkin bisa menjawab rasa penasaran Anda, Pak Sinaga. Mengenai keberadaan atasan saya di hotel itu, saya tidak tahu. Mungkin dia memang ada keperluan di sana." 

"Ah. Begitu, ya." Julius terkikik pelan lalu menunduk seolah meminta maaf. "Maafkan atas segala kecurigaan saya. Harap maklum, pekerjaan saya membuat saya memiliki rasa penasaran dan rasa curiga yang tinggi."

"Sangat dimaklumi." Brina memberikan tatapan tajamnya untuk terakhir kalinya. "Sampai bertemu nanti sore, Pak Sinaga." 

Julius hanya mengangkat tangannya lalu Brina segera berjalan cepat meninggalkan ruangan Mediasi. Dia harap untuk pertemuan mediasi lagi nanti sore akan membuahkan hasil dan membuat Julius mencabut tuntutannya.

***

Brina menunggu dengan sabar di lobi ruang tunggu pengadilan negeri bersama Andrew. Dia baru saja tiba sepuluh menit yang lalu untuk menghadiri jadwal mediasi kedua untuk membicarakan tuntutan Julius Sinaga. 

Dia menunggu dengan resah. Pasalnya Julius Sinaga tampak tidak terlihat ingin menarik atau bahkan menunda tuntutannya. Apalagi setelah mendengar cerita dari Andrew, Julius akan melakukan apa saja untuk membuat lawannya benar-benar kalah darinya. 

Tapi ini bukan pertandingan bukan? Kenapa Julius sangat ingin melihat Brina kalah dan membuat dia menghadapi masalah ini. Brina tahu bahwa dirinya salah karena membuat keributan di tempat kerja Julius dan melabraknya, tapi ayolah, masalah tabiat Brina yang melabraknya bisa dibicarakan secara baik-baik jika memang Julius masih tidak terima saat pertama kali mereka mencoba menyelesaikan masalah itu.

"Ini." Sebuah permen kecil disodorkan kepada Brina. "Aku tahu kamu gugup, tapi aku akan berusaha membantumu dan membuat Pengacara Sinaga mencabut tuntutannya."

"Anda sangat bekerja keras sekali untuk membantu Nona Sabrina, Pak Andrew." ucap Julius yang tiba-tiba saja muncul di hadapan Brina dan Andrew.

"Pak Sinaga." sapa Andrew pelan.

Di belakang Julius, muncul dua pria tua. Brina mengernyitkan keningnya saat melihat pria berkacamata di samping Mediator. Pak Randi, Pengacara perusahaan yang disarankan Evan untuk mendampinginya, tiba-tiba muncul di sini tanpa diminta Brina.

"Kapan kita bisa mulai mediasi yang kedua, Pak Yudi?" tanya Andrew saat Pak Yudi dan Pak Randi mendekati mereka. 

Pak Yudi tersenyum tipis lalu menatap Brina. "Tidak perlu ada mediasi lagi. Pengadilan akan langsung memproses pembatalan tuntutan dari Pak Julius Sinaga kepada Ibu Sabrina Davinian."

"Apa?!" Brina terkejut. Dia beralih menatap Julius. "Apa maksudnya ini?!" tanya Brina. Dia merasa bingung dengan keputusan saat ini.

"Anda tidak senang? Saya sudah mencabut tuntutannya, Nona Sabrina." 

Brina mendengus. "Ya, maksud saya... mediasi kedua bahkan belum dilakukan lagi dan Anda tiba-tiba sudah menarik tuntutannya."

"Pengacara Anda membuat saya mempertimbangkan untuk mencabut tuntutan. Saya tidak tahu bahwa Evan Wilde adalah sosok atasan yang sangat memperhatikan pegawainya dengan mengirimkan pengacara perusahaan untuk menyelesaikan masalah pegawainya sendiri." ucap Julius.

Ucapan Julius membuat Brina semakin bingung. Brina memang sempat membicarakan kasusnya dengan Pak Randi tapi dia tidak meminta Pak Randi untuk datang membantunya saat mediasi. Namun saat ini, tiba-tiba Pak Randi muncul di hadapannya.

"Anggap saja saya sedang berbaik hati dan memaklumi sikap Anda yang datang melabrak dan memaki-maki saya karena emosi Anda yang tidak bisa dikendalikan." lanjut Julius.

Brina merasa tersinggung mendengarnya. "Maksud Anda saya harus berterima kasih karena Anda berbaik hati mau memaklumi saya yang memiliki kelainan---"

"Pak Sinaga!" ucap Andrew, memotong perkataan Brina. Andrew segera mendapat hadiah tatapan tajam dari Brina. Pria itu tampak tak terganggu dengan tatapan Brina dan menggeleng pelan, mencegah Brina untuk berbicara. "Pak Sinaga! Saya sebagai pengacara Nona Sabrina sangat berterima kasih karena mau mempertimbangkan untuk menarik tuntutan Anda."

Julius tersenyum lebar. "Tuan Evan Wilde menyelesaikan masalah pegawainya dengan rapi dengan mengutus langsung Pak Randi kemari. Evan Wilde memang atasan yang baik. Mulai saat ini saya akan sangat menghormatinya."

Perkataan Julius entah kenapa membuat Brina merasa seperti sindiran untuknya. Julius bahkan tidak berhenti menatap Brina dengan tatapan selidik. Tatapan yang sama Julius perlihatkan saat pria itu menanyakan soal kedekatannya dengan Evan.

Brina hanya diam lalu menghela napas panjang. Dia tidak tahu bagaimana harus beraksi. Dia merasa ada kesepakatan lain yang ditawarkan Evan pada Julius lewat Pak Randi. Evan Wilde ikut campur dalam urusan pribadinya. Mungkin orang-orang akan melihatnya sebagai bentuk perhatian perusahaan terhadap pegawainya namun bagi Brina tidak.

Tiba-tiba Brina menarik senyum bibirnya membentuk senyum menyeringai. Tindakan Evan yang mengirimkan langsung pengacara perusahaan untuk menyelesaikan masalahnya, seolah ingin memberitahu Brina bahwa dia bisa melakukannya segalanya. Evan memang berkuasa atas segalanya tapi haruskah dia bersikap angkuh seperti ini dengan menuntaskan langsung masalah gugatan yang diberikan Pengacara Sinaga? Sekarang Brina benar-benar berhutang budi pada Evan.

“Terima kasih atas kerendahan hati Anda, Pak Sinaga. Saya harap semoga kedepannya kita bisa bekerja sama dalam situasi yang baik.” Brina mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Julius.

Julius membalas jabatan tangan Brina. “Bukan masalah. Lagipula, saya juga sadar bahwa tidak seharusnya saya mengajukan gugatan kepada Anda.” Julius terlebih dulu melepas jabatannya dan merapikan kancing jasnya. “Baiklah. Kalau begitu, saya permisi lebih dulu.” ucapnya lalu pamit kepada Pak Yudi dan Pak Randi sebelum akhirnya pergi.

Setelah kepergian Julius, Brina beralih menatap Pak Randi. Dia ingin meminta penjelasan lebih dan tawaran apa yang diberikan agar Julius mau menarik tuntutannya.

“Pak Randi, boleh minta waktunya sebentar? Banyak yang ingin saya tanyakan.”

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!