Tampak kekhawatiran jelas tercetak pada wajahnya yang rupawan. Pria itu menatap dengan cemas pada wanita yang terbaring di atas ranjang di depannya. Pikirannya kacau, memaki dirinya sendiri atas perlakuannya tiga hari kemarin pada wanita ini.
“Kamu harusnya protes kalau kamu lagi sakit.” Gumamnya pelan pada wanita yang terbaring lemah itu.
Sudah lima jam lamanya pria itu, Evan, menunggu Brina sadar. Begitu melihat Brina jatuh pingsan, Evan terkejut bukan main. Dia begitu syok melihat tubuh Brina yang lemah dan terbaring di depan kamarnya saat itu.
Dengan panik, Evan sempat memanggil nama Brina berkali-kali memastikan kesadaran Brina. Merasa tak ada respon, Evan segera membawa Brina ke rumah sakit. Beberapa staf hotel sempat terkejut melihat tamu pentingnya itu memangku seorang wanita yang tak sadar. Sang manajer hotel dengan sigap membawakan mobil agar Evan bisa membawa Brina dengan cepat ke rumah sakit.
Brina diperiksa langsung di IGD dan dokter menyatakan hasilnya bahwa Brina terkena tipus dan asam lambung kumat. Faktornya karena kelelahan, pola makan, dan pola tidur yang berantakan. Dokter juga mengatakan ada tekanan stres juga yang membuat sistem imunnya melemah. Kemudian dokter mengharuskan Brina untuk dirawat selama beberapa hari ke depan di rumah sakit.
Segera itu, Evan memesankan kamar VIP untuk Brina dirawat dan menjaganya sekarang. Entah kapan Brina akan sadar karena sampai malam ini pun, wanita itu belum juga sadar. Rasa bersalah kian menyeruak di relung hati Evan.
Evan sama sekali tidak bermaksud membuat Brina kelelahan. Dia hanya ingin mempermainkan Brina yang selalu melawannya, terlebih, dia tidak ingin Brina menemui Andrew untuk beberapa saat karena itu dia membuat Brina sibuk menjadi sekretarisnya selama menemani Evan bertemu para klien. Namun nyatanya, Evan sudah terlalu jauh membuat Brina sibuk hingga mengabaikan kesehatannya.
Evan menghela napas panjang seraya jarinya mengurut pangkal hidungnya. Sama seperti Brina, Evan pun kelelahan. Dia pun perlu beristirahat. Namun dia tidak bisa meninggalkan Brina hanya untuk tidur. Dia takut Brina terbangun ketika dirinya sedang tidur. Maka dari itu sampai malam hari pun Evan masih bergeming di tempatnya, dengan posisi duduk di samping ranjang Brina.
"Kamu pasti sangat kelelahan. Tidurmu sampai selama ini." Evan memandangi wajah damai Brina.
Beberapa menit sebelumnya dokter datang berkunjung untuk memeriksa kondisi Brina. Tubuh Brina benar-benar kelelahan, karena itu Brina membutuhkan tidur panjang untuk saat ini. Apalagi obat yang diberikan kepada Brina di awal membuat Brina langsung terlelap.
Dipandanginya lagi wajah Brina. Wajah yang begitu cantik. Tak heran semua pria kenalan Evan mengagumi kecantikan Brina. Evan sempat bertanya-tanya bagaimana rupa wanita yang sering dibicarakan oleh rekan-rekannya itu.
Evan langsung paham dan kagum begitu pertemuan pertama mereka terjadi. Kencan buta yang sama sekali tidak dia harapkan. Tadinya dia hanya penasaran karena rumor putri bungsu dari Saina Corp adalah wanita nakal.
Namun setelah semakin mengenal Brina, Evan semakin terpikat dan ingin terus menggoda wanita itu. Brina dengan keangkuhan dan keras kepalanya, berusaha terlihat seperti wanita mandiri dan tak tersentuh. Evan menikmati cara Brina yang berusaha melindungi harga dirinya setiap berhadapan dengan Evan. Benar-benar Wanita yang sangat menarik.
Bibir Evan melengkung tipis saat tangannya terulur mengusap lembut kepala Brina. "Maaf." ucapnya pelan.
Evan kemudian pindah posisi dan duduk di sofa. Dia membuka tabletnya yang sempat dia pinta Toni bawakan tadi sore dan mulai mengerjakan pekerjaannya sampai larut malam.
Tanpa bisa dicegah, Evan yang kelelahan setelah seharian menjaga Brina dan bekerja saat malam, pun terlelap di atas sofa dengan Brina yang juga masih terlelap dalam tidurnya.
***
Evan terperanjat, langsung terbangun dari tidurnya. Matanya memeriksa keadaan sekitar seraya mengingat-ngingat apa yang terjadi. Dia masih berada di rumah sakit karena Brina jatuh pingsan dan harus di rawat.
Bergegas Evan bangkit dari posisinya dan melihat ke arah ranjang pasien dimana seharusnya Brina terbaring. Namun yang dia lihat hanya ranjang kosong dengan selimut yang berantakan.
Evan panik. Dia melihat sekeliling, di luar sudah nampak terang. Dia lalu membuka ponselnya dan terkejut melihat waktu menunjukkan pukul sembilan lebih.
"Sabrina!" panggil Evan seraya bergerak menuju kamar mandi dan hasilnya nihil. Tidak ada sosok Brina.
Dia lalu keluar ruangan. Kepalanya bergerak ke kanan ke kiri, mencari petugas kesehatan yang bisa dia tanya. Kakinya segera berjalan ke arah kanan, menuju tempat resepsionis
"Suster, pasien atas nama Sabrina dimana?" tanya Evan langsung pada perawat yang bertugas di situ.
"Pasien atas nama Sabrina sedang di--"
"Evan?"
Belum sempat perawat tadi menjawab Evan, sebuah suara lembut memanggil nama Evan. Pria itu segera memutar kepalanya ke arah suara dan mendapati sosok Brina yang sedang berjalan dengan infus yang masih menancap.
"Sabrina!" pekik Evan tanpa sadar dan langsung mendekati Brina. "Kamu darimana?!" tanyanya segera.
Brina tampak kebingungan melihat wajah Evan yang terlihat panik, namun dia tetap menjawab. "Suster membawaku untuk pengecekan darah tadi"
Evan menghela napas lega. "Aku pikir kamu kabur." tanpa sadar tangan Evan terulur dan merangkul bahu Brina, membimbingnya berjalan untuk kembali ke kamar rawat inapnya.
Brina agak canggung dengan posisi Evan yang membatunya saat ini, tapi dia tidak protes dan membiarkan pria itu membantunya berjalan.
Setelah sekian lama, dia berdekatan lagi dengan Evan hingga sedekat ini. Dari samping, Brina bisa memperhatikan wajah tampan Evan yang terlihat cemas karena mengkhawatirkannya.
Saat membuka matanya tadi pagi, Brina terkejut mendapati dirinya ada di rumah sakit. Dan semakin dibuat terkejut melihat Evan yang terbaring lelap di atas sofa. Selama sesaat dia tertegun melihat sosok Evan yang terbaring seraya mengingat-ngingat kejadian yang menimpanya.
Ingatan terakhir Brina adalah saat akan pergi ke laundry membawa pakaian kotor milik Evan dan setelah itu semua menghitam. Mungkin saat itulah dirinya kehilangan kesadaran.
Brina tak tahu siapa yang sudah membawanya ke rumah sakit, namun melihat Evan yang tidur di depannya, kini dia merasa bahwa Evan lah yang sudah membawanya. Terkejut tentunya, jika memang Evan yang membawanya ke rumah sakit dan berbuat sejauh ini.
"Seharusnya kamu membangunkanku." ucap Evan begitu selesai membantu Brina kembali berbaring di ranjangnya. "Aku bisa membantumu." tambahnya.
"Tidak apa-apa. Ada suster yang membawaku tadi" timpal Brina.
"Baiklah. Kamu istirahat lagi. Apa kamu sudah sarapan?" Evan bertanya seraya membuka ponselnya. "Aku akan menghubungi Toni dan meminta untuk membawakan makan."
"Tidak usah. Aku sudah makan. Suster sudah membantuku tadi." jawab Brina segera. Tiba-tiba dia merasa sungkan untuk membuat Evan membantunya lebih jauh.
"Oke." Evan tetap melanjutkan untuk menelepon Toni dan berbincang singkat di telepon. "Aku tetap membelikanmu makanan. Hanya cemilan dan buah-buahan. Bagaimana pun, hanya makanan utama saja tidak cukup membantumu untuk sembuh dengan cepat." ucap Evan.
"Kamu tidak perlu melakukan itu. Aku bisa melakukannya sendiri nanti."
"Tidak ada bantahan." Evan terdiam sesaat dan hanya memandangi Brina. "Keadaanmu saat ini juga karena aku yang terlalu keras padamu kemarin. Aku yang bertanggung jawab."
Brina terdiam. Sorot mata Evan terlihat penuh penyesalan. "Oh, itu.. memang benar sih kamu yang membuatku bekerja terlalu keras." ucap Brina agak pelan.
Brina pun kesal pada Evan karena beberapa hari kemarin membuatnya bekerja keras kesana kemari belum lagi memenuhi permintaan konyol Evan, tapi setelah melihat Evan dengan penyesalannya, dia agak sungkan menerima bantuan Evan. Lebih kepada risih tepatnya.
"Memang. Aku bersalah."
Cepat sekali pria ini merasa bersalah? Kemana sikap sombongnya itu? gumam Brina dalam hatinya.
"Uhm.. Aku akan kembali beristirahat." ucap Brina. Dia tidak mau berbicara lebih lama lagi dengan Evan. Sikap Evan saat ini cukup berbeda dari yang kemarin-kemarin. Dia tidak mau semakin merepotkan Evan, apalagi status Evan masih tetap atasannya.
Evan mendekati Brina dan berniat membantu menyelimuti Brina. Gerakan tiba-tiba Evan membuat Brina terkejut. "Maaf. Aku hanya membantumu menaikkan selimut."
"Oke." sahut Brina singkat dan pelan.
"Cukup aneh, kamu tidak menolakku." seru Evan. Bibirnya yang tebal membentuk guratan tipis.
Brina menghela napas pelan. "Aku ini pasien. Pasien yang sedang sakit. Aku tidak punya tenaga untuk berdebat atau apapun itu. Lagipula kamu sendiri sudah mengakui kesalahanmu dan bertanggung jawab. Tadinya aku akan menuntutmu jika kamu tidak bertanggung jawab atas kesehatan bawahanmu. Syukurlah kamu peka dan mau membantuku." jelas Brina panjang lebar.
Evan mendengus geli. "Kamu tetaplah Sabrina. Wanita dengan ego tinggi dan cerewet." Brina yang mendengar itu melotot tak terima. "Sudahlah. Sekarang istirahat lagi. Aku akan ke kamar mandi."
Evan berlalu dengan perasaan riang. Kondisi Brina tidak terlihat mengkhawatirkan namun masih tetap perlu diperhatikan. Dia sudah bisa menghela napas lega sekarang.
Jujur saja sejak melihat Brina jatuh pingsan tepat di hadapannya, Evan panik bukan main. Dia takut sesuatu yang lebih buruk terjadi pada Brina.
Sebelumnya, Ayah Brina sempat menghubungi Evan untuk menjaga Brina sebelum berangkat ke Bali. Padahal Sandi Davinian, Ayahnya Brina itu belum memberikan restu atas perjodohan Evan dengan Brina. Namun entah kenapa, Ayah Brina malah menitip pesan untuk menjaga Brina selama di Bali.
Untuk itulah, sejak hari pertama tiba di Bali, Evan tidak pernah melepaskan pandangan dari Brina. Selain karena amanat dari Ayahnya dan peran Evan sebagai atasan Brina, ada keinginan dari dirinya sendiri yang membuat Evan ingin mengawasi Brina selama di Bali.
Tidak. Bukan hanya di Bali, tapi Evan ingin terus mengawasi Brina sampai kapanpun.
Well, Evan hanya menepati janjinya. Sekali lagi bertemu dengan Brina, maka Evan tidak akan pernah melepaskannya lagi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments