Wilde's Son

Brina mengerjap-ngerjapkan matanya. Setelah itu, pandangannya berubah menyipit tajam pada Evan. “Pertanggungjawaban apa maksudmu?” Keningnya mengerut dengan dalam, antara kesal dan bingung.

“Pertanggungjawaban atas malam itu. Perlukah aku menyebutkan satu per satu?” tanya Evan menantang.

Brina menghela napas dan memutar bola matanya malas. “Coba saja.”

Seringaian Evan terpatri semakin jelas. “Kamu sudah mengacaukan makan malamku, kamu juga mengacaukan tidurku, kamu menyakitiku dengan merendahkanku, bahkan...” Evan berhenti sejenak, melihat reaksi Brina yang terlihat kesal karenanya. “Bahkan... kamu melecehkanku.”

“Me-melecehkan apa maksudmu?!” pekik Brina terkejut. Dia melirik kanan kiri, memastikan orang-orang tidak mendengar ucapannya. Saat ini beberapa pasang tamu undangan sudah bergabung dalam berdansa bersama Evan dan Brina.

Bayangan dirinya dengan Evan yang bercinta terus berputar di kepalanya. Meski dia tidak mengingat setiap momennya, namun dia ingat bagaimana dirinya membalas ciuman Evan dan bagaimana dirinya menyerukan nama Evan setiap kali Evan menyentuhnya. Dia menyesali malam itu.

Evan mendengus singkat. Dia menunduk. Mendekatkan bibirnya pada telinga Brina untuk membisikkan sesuatu. “Kita menghabiskan malam itu dengan kegiatan yang ‘panas’, Brina. Kita bercinta dan aku ingat setiap detiknya. Aku ingat bagaimana kamu berteriak menyebut namaku saat kam---"

"CUKUP!" ucap Brina cepat memotong perkataan Evan. Dia tidak sanggup untuk terus mendengarkan meski dia tahu kelanjutannya. Matanya was-was melirik sekitar, takut jika orang-orang mendengarkan percakapan mereka. "Aku minta maaf. Malam itu aku memang salah karena sudah mengganggu dan membangunkanmu tengah malam. Tapi jika diingat lagi, siapa yang pertama menciumku? Kamu!" ucap Brina suara pelan. Matanya menyipit tajam pada Evan. "Justru seharusnya aku yang meminta pertanggung jawabanmu. Kamu mengambil keuntungan dari wanita mabuk." lanjut Brina kesal.

Evan menggeleng sambil mendengus geli. “Jika saja kamu pergi saat aku menyuruhmu pergi, maka kita tidak akan bercinta malam itu dan aku tidak akan bersikap seperti ini. Ini semua karena salahmu, Brina.”

“Ya. Salahkan saja semuanya padaku!” sahut Brina sengaja dengan kesal.

Sorot mata Evan meneduh. Ekspresinya tak bisa Brina baca. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Evan. "Sebenarnya aku tidak pernah terlibat one night stand dengan wanita mana pun."

Mereka masih berdansa sementara lantai dansa Ballroom itu semakin penuh oleh banyak pasangan. Orang-orang mulai sibuk menikmati acara ini dengan caranya sendiri. Brina juga sempat melihat Diana yang berdansa dengan seorang pria.

"Benarkah? Lalu kenapa kamu malah menciumku dan akhirnya kita bercinta?! Karena itu juga pertama kalinya one night stand untukku! Aku menyesali semua yang terjadi malam itu!”

"Kamu menyesalinya?" Tanya Evan.

Nadanya begitu rendah dan terdengar sedih. Brina sampai menatap kedua mata Evan untuk memastikannya. Pria itu menatapnya terluka namun hanya sesaat karena selanjutnya langsung berubah dingin. Brina seketika tertegun melihatnya dan bertanya-tanya maksud dari tatapan Evan padanya.

Brina menghela nafasnya. “Malam itu sebuah kesalahan. Kita berdua, bukan... malam itu semua salahku. Aku tidak seharusnya mendatangimu lagi hanya untuk membalaskan dendam padamu. Semua salahku.” Jelas Brina sesal dan memang benar itu yang dirasakannya. Semua memang kesalahannya.

Hening beberapa saat. Mereka hanya saling bertatapan dengan pikirannya masing-masing. Brina mengira Evan akan mencoba bersikap gentle dengan mengambil alih kesalahannya atau memakluminya untuk mencoba melupakan semuanya. Namun detik selanjutnya, dia malah melihat Evan menyeringai padanya dan saat itu juga Brina tahu bahwa perkataannya akan menjadi serangan untuknya.

“Terima kasih atas kebijaksanaanmu, Sabrina. Kamu sudah mengakui semua kesalahanmu. Aku akan menagih pertanggungjawabanmu nanti. Kamu tinggal tunggu saja.” Evan mendengus geli. Sementara Brina menatap Evan begitu tajam. “Jangan menatapku kesal.”

“Kamu benar-benar licik, Evan!”

“Bahkan sebelum kamu mau mengakui kesalahanmu, aku akan tetap menepati janjiku. Selain itu, aku juga ingin membalaskan dendam padamu karena kamu telah melukai harga diriku dan karena kamu juga telah membuatku membuang waktu berhargaku malam itu."

Mata Brina semakin menyipit tajam. "Waktu berhargamu?! Yang ada waktu berhargaku terbuang sia-sia karenamu! Kamu pria yang menyebalkan!"

"Menyebalkan? Aku pria yang selalu menepati janji. Bukankah semua wanita menyukai pria yang selalu menepati janjinya?” balas Evan dengan suara yang terdengar menjengkelkan bagi Brina. Pria itu benar-benar pandai mengelabuinya.

Evan mengeratkan pelukannya sehingga tubuh Brina semakin dekat dengannya dan wajah mereka begitu dekat saling bertatapan. Senyum miring Evan terpatri jelas dengan tatapan tajam Brina. Bibir Evan mendekati bibir Brina hingga deru napas hangatnya menerpa wajah Brina. Brina hanya bisa diam dan mempertahankan tatapan tajamnya.

“Aku berjanji tidak akan melepaskanmu lagi jika aku bertemu kamu lagi, bukan? Dan aku menepati itu. Aku juga punya sesuatu yang akan membuatmu tertarik, Sabrina.” Evan memiringkan kepalanya, lalu memberinya kecupan kecil di pipi Brina. “Aku akan menanti pertemuan kita selanjutnya, Estella.”

Setelah mengucapkan itu, Evan pergi meninggalkan Brina yang terdiam karena syok. Kedua mata Brina membulat sempurna selepas perkataan Evan yang terakhir. Napas Brina mulai memburu. Dia pun berbalik dan mantap punggung lebar Evan dengan tajam.

Bagaimana bisa dia membiarkan Evan mempermainkannya? Bagaimana bisa Evan memanggilnya dengan nama Estella? Apa itu artinya kalung miliknya yang hilang selama seminggu ini ada pada Evan?

Itu berarti Brina tidak akan bisa lepas dari Evan. Evan dengan liciknya mempermainkannya dan membuat Brina tak berdaya melawannya.

Brina memejamkan matanya sambil menghela napas panjang. Baiklah. Jika memang itu yang harus terjadi. Dia juga akan menantikan pertemuannya dengan Evan. Untuk ke depannya, dia tidak akan membiarkan Evan mempermainkannya lagi.

***

"ARGHHH!"

Teriak Brina dengan kesal. Napasnya begitu memburu di setiap hembusannya. Bahkan rahang pipinya mengeras karena emosinya. Kedua tangannya mengepal kuat pada stir mobilnya sejak pertama dia naik.

Sudah beberapa menit berlalu dia terdiam di dalam mobil masih di parkiran hotel tempat penyambutan Direktur baru Wilde Construction Company dilangsungkan. Setelah Evan pergi meninggalkan Brina yang kesal di tengah-tengah Ballroom, Brina langsung membawa tas tangannya dan minggat dari tempat itu. Dia bahkan tak memedulikan pertanyaan Diana mengenai kedekatannya dengan Evan dan langsung pergi menuju parkiran mobil.

"Evan Wilde! Sialan!" teriak Brina lagi.

Semua kata makian yang diketahui dia keluarkan dengan lancar. Memaki Evan yang membuatnya kesal sekesal-kesalnya. Belum lagi pria itu berhasil memegang harta berharganya, kalung milik peninggalan ibunya.

Brina memejamkan matanya setelah puas mengeluarkan sumpah serapah pada Evan. Dia menghembuskan dan menarik napas panjang keluar selama beberapa kali, mencoba untuk menenangkan diri setelah berkecamuk dengan berbagai emosi karena Evan.

*Tok tok tok*

Matanya segera terbuka saat terdengar suara ketukan pada kaca jendela mobilnya. Brina mengalihkan pandangannya ke samping dan melihat seorang pria yang mengenakan setelan jas serba hitam lengkap dengan kacamata hitamnya, berdiri di samping mobilnya. Brina langsung waspada. Dengan penampilannya yang serba gelap dan auranya begitu menakutkan, pria asing ini terlihat mencurigakan.

Brina menurunkan kacanya perlahan dengan sedikit. "Ms. Davinian." ucap pria itu dengan suara beratnya.

Mata Brina menyipit. Pria asing ini mengetahui namanya. "Ya. Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

"Maaf mengganggu waktu Anda, Ms. Davinian. Anda diminta oleh Mr. Wilde untuk menemuinya." 

'Evan Wilde mau menemuiku lagi? Untuk apa? Apa dia mau mempermainkanku lagi?'  gumam Brina dalam hati. "Saya? Baru saja tadi saya berdansa dengan Mr. Wilde. Saya harus bergegas pulang ke rumah. Saya harus cepat memberi makan kucing saya. Katakan itu kepada Tuan Evan Wilde." tolak Brina. Dia tidak sudi untuk bertemu lagi dengan Evan secepat ini, setelah tadi pria itu membuatnya kesal setengah mati.

"Maaf tapi Mr. Ivan Wilde yang ingin menemui Anda."

Brina tertegun sesaat. Bukan Evan yang ingin menemuinya melainkan ayah dari Evan sekaligus CEO Wilde Corp, Ivan Wilde. Dia jadi bertanya-tanya apa yang menyebabkan Ivan Wilde ingin menemuinya. Apa ada hubungannya dengan Evan?

"Mr. Wilde sudah menunggu Anda." Pria itu melangkah mundur untuk memberi ruang. 

Brina menutup kembali kaca jendela mobilnya lalu segera keluar dari mobil. Tanpa menanyakan lagi, pria bersetelan jas itu langsung berbalik berjalan lebih dulu. Brina sempat kebingungan hingga akhirnya dia mengikuti pria itu.

Mereka berjalan di area parkiran basement dengan Brina yang masih setia mengikuti pria bersetelan jas ini. Pria itu lalu berhenti tepat di depan lift lalu melangkah mundur untuk memberi jalan kepada Brina untuk masuk lift lebih dulu.

Mau tak mau Brina tetap mengikutinya. Dia sebenarnya agak curiga tapi mau bagaimana lagi, atasan dari atasannya, Ivan Wilde, ingin menemuinya. Kegugupan sudah Brina rasakan sejak tadi. Ivan Wilde ingin menemuinya pasti ada hubungannya dengan Evan. Tidak mungkin Ivan Wilde mau menemuinya secara acak jika bukan karena putranya itu.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus dipikirkan Brina hingga tanpa sadar lift sudah sampai di lantai teratas hotel. Pria bersetelan jas itu keluar lebih dulu disusul Brina yang berjalan pelan. Matanya segera menangkap sosok pria berumur dengan rambut klimisnya yang sudah memutih sedang duduk santai menikmati segelas minuman. 

Ivan Wilde, CEO Wilde Corp, segera melayangkan senyumannya dan menyambut Brina dengan gembira. "Ms. Davinian. Terima kasih sudah mau menemui saya." sapa Ivan Wilde dengan ramah padanya. 

Brina mengerjapkan matanya. Di usianya yang sudah tidak muda, Ivan Wilde masih terlihat tampan dan berkarisma. Dia melihat sedikit sosok Evan di wajah Ivan Wilde. Dia jadi mengerti ketampanan Evan menurun persis dari Ivan Wilde, meski wajah Ivan Wilde terlihat lebih berdarah Indonesia dibandingkan Evan.

"Mr. Wilde. Panggil saja Sabrina. Senang bertemu dengan Anda." Brina menjabat tangan Ivan Wilde.

"Sungguh cantik sekali putri dari Pak Sandi ini." puji Ivan dengan senyum kebapakannya. Brina hanya bisa tersenyum. "Silakan duduk, Sabrina."

Brina dengan canggung duduk di sofa panjang samping Ivan Wilde. Matanya dengan gugup memperhatikan sekitar dan melihat beberapa pengawal berdiri di setiap pintu dan jendela ruangan.

"Sabrina. Saya berterima kasih sekali lagi karena mau menemui saya." ucap Ivan.

"Tidak apa-apa. Saya justru merasa terhormat bisa bertemu langsung dengan Anda, Mr. Wilde."

Ivan yang mendengar itu tergelak. "Tidak usah terlalu formal, Sabrina. Saya sebentar lagi akan menjadi mertua kamu." ucap Ivan diakhiri dengan tawa lagi.

Kening Brina segera mengerut. Senyuman canggungnya tak pernah lepas dari bibirnya. "Me-mertua? Apa maksud Anda, Mr. Wilde?" tanya Brina.

"Evan sepertinya langsung menyukaimu sejak kencan buta itu. Dia bilang kalau dia ingin melanjutkan perjodohan ini." jawab Ivan sementara Brina hanya diam dengan senyum tipisnya. "Aku pikir itu hanya akal-akalannya saja untuk menghindari perjodohan lain. Tapi setelah tadi melihat Evan berdansa denganmu, aku rasa dia memang menyukai kamu, Sabrina."

Mendengar itu Brina merasa jantungnya seketika berhenti berdebar. Evan ingin melanjutkan perjodohan ini tanpa sepengetahuannya, tanpa penjelasan apa pun.

"Ta-tapi... saya dan Evan... kita tidak pernah membicarakan itu." ucap Brina dengan tergagap. Sial. Dia tidak mau perjodohan ini berlanjut. "Maaf tapi perasaan saya terhadap Evan..."

Ivan langsung memotong. "Tenang saja. Saya juga tidak akan memaksa mempercepat pernikahan kalian. Saya juga sadar bahwa perasaan Evan belum sejauh itu. Aku dan ayahmu juga belum terlalu jauh membicarakan pernikahan kalian. Saya memanggil kamu kemari hanya untuk melihat secara langsung sosok calon istri Evan." Ivan tersenyum semakin lebar. "Kamu benar-benar cantik dan cocok bersanding dengan Evan."

Brina hanya bisa terdiam. Dia tidak tahu harus merespon apa. Pikirannya benar-benar sudah penuh sekarang. Kemarahannya terhadap Evan belum juga reda dan sekarang pria itu sudah membuat tekanan darahnya cepat naik.

Keputusan sepihak dari Evan yang ingin melanjutkan perjodohan setelah percobaan Brina untuk mengacaukan perjodohan ini. Entah apa yang dipikirkan Evan sampai mau melanjutkan perjodohan ini. Apa ada sesuatu yang direncanakan Evan untuk mempermainkannya?

"Sabrina. Saya tahu perasaan kamu belum ada terhadap Evan tapi saya benar-benar mengharapkan kamu menjadi menantu saya." Brina menatap Ivan yang tidak pernah berhenti tersenyum. "Evan akan sangat beruntung memiliki kamu sebagai istrinya."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!