Bali

Petaka. Satu kata yang bisa menggambarkan situasi saat ini. Keberangkatannya bersama Evan malah menjadi hal yang buruk bagi Brina.

Ya, memang sudah buruk sejak awal mereka bertemu tapi Brina pikir atasannya itu juga akan memesankan tiket yang sama juga dengannya tapi Brina malah ditempatkan di kelas ekonomi sementara Evan kelas bisnis.

Padahal perusahaan sudah memesankan tiket kelas bisnis untuknya sejak dua minggu lalu, namun karna Evan ikut pergi bersamanya, tiket penerbangannya jadi ditukar ke kelas ekonomi.

Dan ketika mendarat, Brina menuntut jawaban kepada Evan sementara pria yang menjadi atasannya itu malah tak peduli dan mengatakan bahwa kita harus menghemat pengeluaran perusahaan.

Evan juga menambahkan, “Hanya karena penerbangan ke Bali jangan sampai menghamburkan keuangan perusahaan. Ini hanya penerbangan domestik dan tidak menghabiskan waktu berjam-jam.”

Brina yang mendengar itu hanya bisa pasrah serta mengangguk patuh. Sialnya, atasannya itu kembali membuat Brina jengkel akan sikapnya.

Begitu mendarat di Bali, Evan meminta Brina untuk membawakan dua kopernya yang besar keluar dari bandara.

Apa pria itu sengaja datang ke Bali hanya untuk membuat Brina menjadi pembantunya?

Belum lagi ketika sampai di hotel, Brina juga tetap diperintahkan oleh Evan untuk membawakan koper-kopernya ke kamarnya. Padahal sudah ada petugas carrier hotel yang siap membawakan koper namun Evan menolak dan gantinya tetap memaksa Brina untuk membawakannya.

“Kamu…” desis Brina tajam dengan napas memburu.

“Kamu?! Apa begitu cara kamu bicara dengan atasanmu?!” tegur Evan.

Brina menarik napas dalam. Dia begitu lelah setelah menyeret tiga koper – dua koper besar milik Evan dan satu koper kecil miliknya.

“Apa ini tidak terlalu banyak koper untuk satu minggu?” Tanya Brina.

“Siapa bilang saya akan menetap selama satu minggu?” Brina merapatkan bibirnya. “Oh, kamu pikir saya akan stay di Bali mengikuti kamu, begitu?” sudut bibir Evan menyeringai. “Wah, ternyata kamu begitu ingin bersama dengan saya, ya.”

“Jangan salah paham. Aku cuma tanya.” Elak Brina. “Saya.. maksud saya, saya cuma tanya, PAK.” Ralat Brina dengan menekankan kata Pak di akhir kalimat.

Evan menyeringai. "Tidak masalah jika kamu meminta pun. Aku pasti akan menurutimu." Kening Brina mengerut begitu dalam.

"Anda tenang saja, Pak. Saya tidak akan pernah melakukan itu." jawab Brina.

"Oh ya? Kalau kamu tidak akan meminta, saya yang akan membuat kamu meminta pada akhirnya."

"Hah?! Never!" Brina menarik koper miliknya menjauh dari kamar Evan. Dia berhenti lalu berbalik menatap Evan berang. “Satu lagi. Selama di sini, saya mohon untuk bersikap profesional, Pak. Saya tidak ingin urusan 'perjodohan' ini mengganggu pekerjaan saya di sini. Jangan hanya karna Bapak menyetujui perjodohan kita, Bapak bisa seenaknya mendekati saya."

Setelah itu, Brina langsung berbalik dan masuk ke dalam kamarnya yang tepat berada di depan kamar Evan.

Evan yang ditinggal hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah Brina. Sejak pertama bertemu, Brina ini memang sulit untuk dia abaikan. Apalagi sifatnya yang terus menerus menolak Evan.

Siapa sih yang pertama kali menggoda Evan dan sekarang siapa yang selalu menolak Evan?

Untuk sekarang, Evan cukup menikmati menggoda Brina. Berhubung tidak ada wanita lain yang menarik perhatiannya saat ini selain Brina, maka dia akan terus mengejar Brina.

***

Ponselnya berbunyi tanda masuk notifikasi ketika Brina baru saja keluar dari kamarnya. Dia memeriksanya dan membaca pesan masuk dari Andrew. Mereka sudah berjanji untuk bertemu dan membahas soal proyek pembangunan vila milik Jeremy, orang tua Andrew.

Ketika sedang menunggu taksi online yang sudah dipesan, seseorang menghentikan langkahnya di depan loby hotel. Wajah Brina seketika berubah masam melihat orang itu.

“Mau pergi kemana kamu?” tanya Evan setibanya di hadapan Brina.

“Saya akan pergi menemui Andrew.” Jawab Brina.

“Baru sampai di Bali beberapa jam, sudah janjian dengan Andrew.” Seru Evan tanpa menyadari Brina segera meliriknya tajam.

“Tentu saja. Saya datang ke sini untuk bekerja. Lebih cepat lebih baik.” Sebuah mobil SUV tiba di depan loby hotel dan Brina mengenalinya dengan cepat bahwa itu adalah taksi online yang dipesannya.

Tanpa pamit kepada atasan tertingginya itu, Brina segera masuk ke mobil. Namun tanpa disangka, Evan malah mengikutinya masuk dan mendorong tubuh Brina ke sisi kursi sebelahnya lagi.

Brina melotot tajam. “Kenapa bapak ikut masuk?!”

“Ayo jalan, Pak.” Evan tak menjawab pertanyaan Brina dan malah menyuruh sang sopir untuk segera menjalankan mobilnya.

“Eh, eh! Tunggu, Pak! Saya pergi sendiri!” seru Brina mencegah dan membuat sang supir terdiam. “Pak Evan yang terhormat, saya tidak  berniat untuk membawa Pak Evan ikut bersama saya. Lagipula Bapak sepertinya harus beristirahat setelah perjalanan udara.”

“Kamu tidak usah khawatir. Saya sebagai atasan tentu harus ikut mengawasi kamu, Nona Sabrina.” Evan menoleh ke samping, menatap Brina.

Bibir Brina bergetar karena menahan kesal. “Saya tidak perlu didampingi, Pak. Saya bisa sendiri. Lebih baik Anda beristirahat saja. Saya akan berkerja dengan baik untuk proyek villa Pak Jeremy.”

“Saya sebagai atasan harus ikut mengawasi. Apalagi ini proyek pertamamu setelah kamu kena suspend. Saya masih khawatir dengan kinerja kamu dan tidak mau kamu bertindak di luar batas lagi dan membuat masalah.” Evan menyipitkan matanya, ketika Brina mengalihkan pandangannya ke arah jendela. “Apa kamu keberatan karena saya ikut? Well, itu bisa dimengerti tapi saya harap ketidaksukaan kamu terhadap saya karena kamu tidak mau diganggu bersama Andrew.”

Brina segera berpaling mendengarnya. “Hah? Maksud Bapak?”

“Eh, ini jadi pergi atau tidak, ya, Pak, Bu?” ujar sang supir yang sedari tadi hanya diam mendengarkan perdebatan Brina dan Evan.

“Jadi, Pak. Mohon maaf.” Evan yang menjawab dan sebelum Brina mencegahnya lagi, Evan menatap Brina tajam dan menggeleng.

Brina hanya pasrah dan membiarkan Evan ikut dengannya.

“Mukanya jangan cemberut.” Celetuk Evan setelah mobil meninggalkan hotel. Brina tak menjawab dan memilih bungkam. “Bersikap santai saja dengan saya, seperti tidak pernah menyentuh saya saja.”

Mendengar itu, Brina langsung menoleh dan menatap tajam Evan. “Biarkan saya berbicara santai kali ini, ya, Tuan Evan Wilde yang terhormat.” Brina berdehem sekali sebelum melanjutkan. “Aku mohon jangan lagi kamu ungkit masalah malam itu.”

Evan mengulum senyum dan mendengus geli. “Memangnya itu masalah buat kamu?”

“Itu masalah buat aku!” sahut Brina. “Dengar, sekali lagi aku jelaskan, malam itu kesalahan dan aku harap kamu segera melupakannya karena aku pun sudah melupakannya.” Jelasnya.

"Oh ya? Kamu sudah lupa?" Evan menyeringai tipis. Dia lalu kembali menatap ke depan. "Aku jadi ingin membuatmu ingat lagi. Bagaimana kalau malam ini kita mengulang lagi? Mau dikamarku atau kama--"

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, sebuah tangan sudah menutup rapat mulut Evan dan menghentikan pria itu berbicara.

"Kamu benar-benar! Jangan bicara sembarangan!"

Evan menarik kedua tangan Brina dari mulutnya dan menggenggamnya dengan erat. Evan memutar wajahnya ke arah Brina. "Kenapa kamu selalu begitu panik?"

Evan memajukan wajahnya menjadi lebih dekat dengan wajah Brina. Dia mendengus geli saat menikmati wajah Brina yang merah dengan ekspresi panik.

"Tenang, sayang. Aku hanya bercanda." ucap Evan selembut mungkin. "Lagipula, kamu tidak sehebat itu hingga aku ingin mengulangnya lagi." lanjutnya berbisik pelan.

Ucapan Evan seperti pukulan telak yang menghantam harga diri Brina. Wanita itu memejamkan matanya kesal dan langsung menarik kedua tangannya dari genggaman Evan. Dia menjauh lalu melirik Evan tajam. Sementara itu Evan menampilkan seringaian khasnya karena berhasil membuat Brina kesal.

Melihat ekspresi Evan, Brina semakin kesal dan memilih membuang muka ke arah jendela. Tak terasa mobil yang membawa mereka akhirnya tiba di restoran tempat janji temu dengan Andrew.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada sang sopir, Brina bergegas keluar dari mobil tanpa mengindahkan Evan yang bersamanya. Evan pun tak mempermasalahkannya dan hanya mengikuti Brina di belakang.

Pandangan Brina bergerak ke sekeliling restoran untuk mencari sosok Andrew. Terlihat dari sudut ruangan dekat jendela besar, Andrew melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar. Brina langsung balas melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar.

"Maaf membuatmu menunggu." ucap Brina setibanya di hadapan Andrew.

"Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai. Silakan duduk." senyum Andrew memudar begitu melihat sosok pria yang ada di belakang Brina. "Oh, aku tidak tau Tuan Evan juga ada di sini." Andrew langsung berdiri dan menyambut Evan.

Evan dengan senyum tipis menyambut uluran tangan Andrew. "Ya, kebetulan saya ada urusan juga di Bali." Evan mengambil tempat duduk di depan Andrew dan menarik kursi di sebelahnya, mempersilakan Brina untuk duduk di sampingnya.

Entah Brina sengaja mengabaikan Evan atau tidak melihatnya, Brina berjalan memutar dan memilih duduk di samping kursi Andrew. Andrew tersenyum lebar dan membantu Brina mendorong kursinya.

"Terima kasih." gumam Brina dan Andrew membalasnya dengan mengangguk pelan setelah itu duduk menempati kursinya.

Evan yang melihat perilaku Brina hanya bisa tersenyum miring. Ketika dia akan membaca menu yang ada di meja, tangan Andrew lebih cepat membawa menu itu dan memperlihatkannya kepada Brina.

"Ada yang ingin kamu pesan?" tanya Andrew.

"Hmm. Aku tidak tau. Semuanya keliatan enak." jawab Brina dengan mata yang terus menatap buku menu.

"Aku sudah biasa makan di sini. Kebetulan restoran ini milik klienku dulu. Aku punya rekomendasi menu yang bisa kamu coba." Setelah itu Andrew membalik beberapa halaman dan memperlihatkan hidangan yang direkomendasikan.

"Itu kayaknya enak. Aku akan coba ini saja. Terima kasih." ucap Brina.

Andrew lanjut mengobrol dan menawarkan minuman kepada Brina. Kedua insan itu hanya melihat menu berdua dan mengabaikan Evan sepenuhnya.

Evan yang sedari tadi melihat interaksi keduanya hanya bisa mengamati mereka berdua dalam diam. Dia menghela napas pelan. Harga dirinya cukup tersentil mendapatkan perlakuan seperti ini.

Bukankah dirinya atasan mereka berdua? Seharusnya dia yang lebih dulu ditawarkan makanan atau dipilihkan pesanan apapun itu, tapi mereka malah asik berdua dan mengabaikan dirinya.

Andrew melirik sekilas ke arah Evan dan berdehem sesaat, menyadari jika sudah mengabaikan atasannya itu. "Tuan Evan, ada yang ingin anda pesan?" Andrew memberikan buku menu ke Evan namun Evan hanya memandanginya.

"Tidak usah. Saya pesan kopi hitam saja." jawab Evan dingin.

Menyadari perubahan suara Evan, Andrew hanya bisa tersenyum canggung. "Ka-kalau begitu saya pergi ke depan dulu untuk pesan."

Andrew bergegas bangkit menuju kasir untuk memesan makanan meninggalkan Evan dan Brina dengan suasana yang dingin.

"Kalian berdua..." seruan Evan membuat Brina menarik atensinya dari ponsel ke arah Evan. "Kamu tidak lupa kan bahwa aku ini atasan kamu?"

"Tidak." jawab Brina singkat dan kembali memfokuskan dirinya pada ponsel, mengabaikan Evan lagi.

Evan mendengus geli lalu memilih melihat suasana restoran yang cukup ramai. Tak lama Andrew kembali setelah memesan kemudian mereka memulai pembicaraan proyek villa orang tua Andrew.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!