Bimbang

Brina merenung. Pandangannya tak pernah lepas dari rumah besar yang jaraknya beberapa meter dari tempat Brina menghentikan mobilnya. Sudah sepuluh menit lebih, Brina seperti ini. Hanya diam di dalam mobil seraya mengamati rumah besar di depannya.

Setelah pertemuan dengan Ivan Wilde, Brina memutuskan untuk menemui ayahnya malam ini. Namun dia masih bingung apa yang akan disampaikan pada ayahnya. Dia bisa saja langsung menolak ajakan Ivan tanpa membicarakannya dengan ayahnya, karena ayahnya bahkan membiarkan dirinya yang memutuskan undangan makan malam itu.

Nyatanya, Brina tidak bisa abai dan langsung menolak Ivan secara langsung. Dia tidak bisa bersikap kejam pada orang tua hanya karena dirinya menolak perjodohan. Bukan karena dia mempertimbangkan perjodohan ini, tapi karena dia masih menghormati orang tua dari Evan.

Brina menghela napas berat seraya menjatuhkan kepalanya pada stir mobil. Otaknya bekerja memikirkan kalimat-kalimat yang tepat untuk membicarakan perihal undangan makan malam dengan ayahnya. Di sisi lain, dia sebenarnya marah pada ayahnya. Bukan marah, hanya sedikit kesal, kenapa ayahnya malah menambah beban pikirannya perihal undangan makan malam ini. Kenapa pula ayahnya harus membebankan keputusan makan malam bersama ini kepadanya?

Ini hanya makan malam dan harusnya ayahnya mengerti untuk langsung menolak karena tahu dirinya tidak mau terus-terusan memikirkan perjodohan ini. Jika ayahnya yang menolak langsung ajakan Ivan, maka tidak akan terlihat tidak sopan, berhubung sama-sama orang tua. Tapi jika dirinya yang menolak, Brina akan dicap sebagai anak muda yang tidak menghormati orang tua. Terlebih ini adalah Ivan Wilde, atasan tertinggi tempatnya bekerja.

-Tok Tok Tok-

Suara ketukan pada kaca jendela mobilnya membangunkan Brina dari pikiran panjangnya. Brina menoleh dan terkejut begitu melihat supir pribadi ayahnya.

“Bagaimana bisa supir ayahnya tau keberadaannya di sini?” batin Brina bertanya-tanya.

Brina menurunkan kaca jendelanya. “Ya?” tanya Brina dengan suara yang begitu pelan.

“Nona sudah ditunggu Tuan di dalam.” Ucap Pak Yono, supir pribadi setia ayahnya.

“Pak, saya cuma mampir aja. Kebetulan lewat.” Kilah Brina. “Bilang sama ayah, saya lagi buru-buru mau ketemu klien.”

Tanpa menjawab apapun, Pak Yono malah memberikan ponselnya yang ternyata panggilan dari ayah Brina.

Brina menatap layar ponsel Pak Yono yang menampilkan nama ayahnya di sana. Dia ingin menghindar dan menolak panggilan dari ayahnya di ponsel Pak Yono tapi tiba-tiba ayahnya berbicara.

“Sabrina, putriku.” Seru ayahnya dari panggilan telepon.

Brina menghela napas berat. “Halo, Ayah.” Sapanya pelan. Mau tak mau dirinya menjawab panggilan ayahnya itu.

“Masuklah. Ayah tau apa yang mau kamu bicarakan.” Ucap ayahnya.

“B-bicara apa? Aku gak ada yang mau dibicarakan sama ayah.” Elak Brina.

Terdengar gelak tawa pelan dari ayahnya. “Masuklah, sayang. Bahaya berdiam terus di luar rumah. Sudah malam.”

Dan di sinilah Brina, sedang menikmati hidangan makan malam bersama ayahnya. Setelah beberapa menit panggilan dari ayahnya itu selesai, Brina akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.

“Gimana kerjaan kamu?” Sandi membuka suara, karena sejak tadi putri bungsunya hanya diam.

Brina melirik ayahnya sekilas lalu mengangguk pelan. “Aman.”

“Tidak ada masalah lagi dengan pengacara itu?” tanya ayahnya yang membuat Brina menatap ayahnya sepenuhnya.

“Semua sudah selesai. Pengacara perusahaan membantuku menyelesaikannya.” Jawab Brian sekenanya. Dia tidak ingin membahas hal itu.

“Baguslah.” Sandi tersenyum lembut seraya menatap putri bungsunya itu.

Sandi lalu meletakkan alat makannya dan meminum air putih seteguk. Dia menatap putrinya lagi lamat-lamat, mengamati putri bungsunya yang sudah benar-benar dewasa.

“Sekarang mungkin kamu bisa bicara sama ayah.” Ucap Sandi.

Brina berdehem sejenak lalu meneguk air minumnya hingga habis. “Aku tidak tahu kenapa Ayah malah membiarkan aku memutuskan. Aku jadi tidak enak pada Tuan Ivan.” Brina memulai dan menatap ayahnya kesal. “Kenapa Ayah tidak langsung menolaknya?”

“Terus kenapa kamu juga gak langsung nolak?”

“Ayah! Ivan Wilde itu atasan tertinggi di tempatku bekerja. Aku tidak mungkin langsung menolak ajakan makan malam Tuan Ivan karena aku hanyalah bawahannya. Aku tidak mau dicap sebagai karyawan yang kurang ajar.”

Sandi menyeringai geli. “Ayah yakin, Pak Ivan mendatangimu bukan sebagai atasan. Dia datang sebagai ayah dari Evan. Calon mertuamu.” Brina melotot mendengarnya. “Ayah yakin, jika pun kamu langsung menolak, Pak Ivan tidak akan mencapmu sebagai karyawan yang kurang ajar.”

“Ayah itu...” Brina terdiam sesaat, masih memikirkan kata-kata yang pas untuk membujuk ayahnya agar ayahnyalah yang menolak undangan makan malam Ivan Wilde. “Aku cuma ingin Ayah yang berbicara pada Tuan Ivan dan katakan bahwa kami menolak ajakan makan malamnya.”

“Kamu yang diundang, bukan? Ayah hanya sebagai tamu tambahan. Kamu yang bicara.”

“Ayahhh!” rengut Brina. Ayahnya kenapa harus menyebalkan di saat seperti ini. “Sebelum Tuan Ivan mendatangiku, dia datang menemui Ayah dulu. Tapi kenapa Ayah malah menyuruh Tuan Ivan untuk datang padaku dan membiarkanku memutuskan jawabannya?! Itu cukup kejam, Ayah!”

Sandi malah tergelak. “Putriku, sayang. Kalau memang kamu tidak mau makan malam bersama mereka, ya sudah, tinggal katakan bahwa kamu tidak bersedia. Kenapa kamu harus repot-repot berdiskusi dengan Ayah untuk hal ini? Ayah bahkan tidak mau memaksamu untuk menerima atau menolak ajakan Pak Ivan.”

Penjelasan ayahnya hanya membuat Brina menghela napas panjang. Kalau sudah seperti ini, ayahnya tidak bisa diajak bekerja sama. Sepertinya, harus dirinya yang berbicara langsung pada Ivan Wilde dan menolak undangan makan malam itu.

“Lagi pula, Ayah mendengar bahwa Evan lah yang mengatur makan malam itu. Karena itulah, Ayah meminta Pak Ivan untuk langsung bertanya padamu.”

Mendengar itu, Brina langsung memandang ayahnya tak percaya. “Maksud Ayah?”

“Pak Ivan sendiri yang bilang bahwa Evan ingin mengadakan acara makan malam bersama kita. Mungkin hanya untuk pengenalan keluarga.” Sandi terkekeh pelan. “Evan sepertinya memang menyukai kamu, sayang. Dia terlihat sungguh-sungguh untuk perjodohan ini.”

***

Nasi padang selalu menjadi favoritnya sampai kapan pun. Namun hari ini, selera makannya hilang entah kemana, sejak pertemuannya dengan ayahnya.

Terlihat jelas Brina mengunyah nasi padangnya sebagai hidangan makan siangnya hari ini dengan sangat tidak berselera. Farah, asisten Brina yang makan bersamanya, memandang heran atasannya itu.

“Mbak, kaya yang gak berselera gitu?” tanya Farah.

"Jangan bicara denganku." Brina mendorong makanannya, menyudahi makan siangnya dan memilih menikmati es teh manis yang cukup menyegarkan.

"Ada urusan apa Tuan Ivan Wilde nemuin Mbak?" pertanyaan Farah membuat Brina mendelik kesal. Suasana hatinya yang sedang tidak baik hari ini karena Keluarga Wilde dan Farah malah mengungkitnya. "Kayaknya bukan urusan pekerjaan, deh. Gak mungkin CEO turun langsung nemuin Mbak cuma buat tanya-tanya soal kerjaan. Iyakan, Mbak?" tanya Farah langsung.

"Bukan urusan kamu." Brina mendorong kursinya mundur dan beranjak.

"Eh, Mbak, mau kemana?!" Farah ikut berdiri. "Jangan marah, Mbak. Aku cuma penasaran." ucap Farah dan tersenyum canggung.

Brina menghela napas pelan. "Saya gak marah. Saya cuma lagi gak mood makan. Kamu terusin makannya. Saya mau balik ke ruangan." Setelah mengatakan itu, Brina berlalu meninggalkan kantin dan kembali ke ruangannya sendirian.

Brina berjalan menuju ruangannya seraya memainkan ponsel. Ketika hampir sampai, dia melihat sosok asisten dari Evan sedang berdiri di depan ruangannya. Melihat itu, dia langsung berdecak kesal.

"Tidak bisakan sehari lagi Tuan Ivan menunggu jawabanku?!" gumam Brina kesal.

Dia sudah menduga bahwa Ivan Wilde yang menunggunya seperti kemarin. Mungkin ayah Evan itu tidak bisa menunggu lama untuk menerima jawaban Brina. Namun, Brina sama sekali belum memiliki jawaban. Dia masih bimbang mau menerima atau menolak undangan makan malam itu.

"Tapi, bukannya Ivan Wilde kemarin bilang kalau dia hari ini ada urusan di Singapur dan akan kembali seminggu lagi? Apa mungkin orang tua itu membatalkan urusannya demi ingin mendengar jawaban darinya?" Batin Brina sibuk menduga-duga.

"Nona Sabrina, anda sudah ditunggu di dalam oleh Mr. Wilde." ucap Tony begitu Brina tiba di hadapannya.

Brina mengangguk pelan. "Ya." Tony langsung membukakan pintu untuknya sementara Brina melangkah dengan enggan karena dia belum siap untuk bertemu Ivan Wilde. "Selamat siang, Tuan Ivan Wilde." sapa Brina dengan sopan.

Matanya menyipit melihat sosok Ivan yang menghadap ke jendela besar di ruangannya. Posturnya agak berbeda dari yang Brina ingat. Pria ini begitu tegap dengan punggung lebar. Figur belakangnya cukup familiar baginya.

Hingga suara pria itu terdengar dan Brina langsung mengenalinya. Pria yang selama beberapa hari ini menghilang. Pria yang setia menemaninya selama dirinya dirawat di Bali.

"Kenapa kamu malah diam?" Evan berbalik dan mendapati Brina yang terdiam dengan bola mata yang melebar. Evan menyeringai tipis. "Terkejut, hah?"

Evan melangkah mendekati tubuh Brina yang membeku. Dia lalu berdiri tegak di hadapan Brina dengan jarak beberapa centi. Harum vanilla yang menjadi khas wanita itu, tercium indra penciuman Evan.

Evan semakin menyeringai begitu hidungnya menghidu wangi familiar setelah sekian lama. "Jangan diam saja, Sabrina."

Brina mengerjap, hidungnya menarik napas dalam seolah baru tersadar. "Umm.. K-kamu.. Kamu sejak kapan di sini?"

Sementara Evan terkekeh pelan mendengar cara bicara Brina yang tiba-tiba tergagap, Brina sendiri mengutuk dirinya yang tiba-tiba terdiam sambil terus menatap Evan. Setelah seminggu tidak bertemu atasannya itu, dia jadi hilang fokus begitu melihat Evan lagi.

"Maaf. Beberapa hari yang lalu ada urusan yang tidak bisa dilewatkan. Bagaimana kondisimu sekarang?" Evan menunduk sedikit mengamati wajah Brina. "Apa kamu rutin minum obat?" kini tangan Evan dengan lancangnya menarik dagu Brina. Iris abu-abunya mengamati wajah cantik Brina yang terlihat memerah.

Sadar akan tindakan Evan setelah beberapa saat, Brina segera menarik diri hingga mundur beberapa langkah. Brina menarik napas dalam, jantungnya berdegup kencang dan tiba-tiba dia merasa gugup berhadapan dengan Evan.

"Sial! Ada apa denganku?!" batin Brina menjerit kesal. "A-aku.. " Brina memejam sesaat. "Aku baik-baik saja." kakinya melangkah menjauh menuju meja kerjanya dan mengambil posisi duduk di kursi kerjanya. "Silakan duduk, Pak Evan."

Sebelah alis Evan tertarik ke atas begitu mendengar panggilan formal Brina untuknya, namun dia tidak protes dan langsung mengambil kursi kosong di hadapan meja kerja Brina.

"Langsung saja. Apa yang membawamu ke sini untuk menemuiku langsung?" tanya Brina tanpa menatap Evan. Kegugupan masih melingkupinya.

"Oh. Kita kembali non-formal lagi." Evan mendengus geli. "Umm.. kamu pasti sudah mendengar ajakan makan malam dari Ayahku."

Kali ini Brina menatap Evan langsung. Debaran jantungnya sudah cukup terkendali. "Itu kamu yang merencanakannya." ucap Brina.

Evan tersenyum lebar. "Well, ternyata kamu sudah tau."

Brina sempat terpaku melihat senyum Evan yang begitu manis dan tampan. Hanya sesaat kemudian Brina langsung membersihkan tenggorokannya dengan gugup. "Ya. Beritahu aku kenapa kamu merencanakannya."

"Aku sudah bilang dari awal kalau aku ingin perjodohan kita berlanjut. Langkah awalnya, tentu saja pertemuan keluarga."

"Tapi aku tidak mau dan tidak tertarik!"

"Tapi aku butuh kamu sebagai istriku, Sabrina."

Ucapan Evan membuat bibir Brina yang hendak membalas perkataan Evan, berhenti. "Kamu sungguh menyukaiku, ya?" dengus Brina.

"Kalau iya, kenapa? Toh kita sudah pernah tidur bersama, bukan?!" sudut bibir Evan naik membentuk seringaian kecil. "Bukankah, kamu juga menyukaiku malam itu? Kamu yang menggodaku, Sabrina!"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!