Langit sudah berwarna hitam pekat dengan titik-titik kecil cahaya bintang, ketika Brina dan Evan tiba di hotel. Mereka tetap pulang bersama setelah bertemu dengan Andrew.
Andrew sempat menawarkan Brina untuk pulang bersamanya tapi Evan dengan sigap mencegah Brina menerima tawaran Andrew dengan alasan bahwa mereka pergi bersama maka pulang pun harus bersama.
Saat itu Brina hanya pasrah dan diam, tidak ingin ikut berdebat. Dia tidak memiliki tenaga untuk itu. Meski sebenarnya Brina pun berniat menolak ajakan Andrew karena tidak ingin merepotkannya tapi bersyukur Evan berinisiatif mewakili jawabannya.
Brina hendak masuk ke dalam kamar ketika sebuah tangan menahan lengannya. "Kenapa?" Brina memutar tubuhnya dengan lemas ke arah si empunya tangan tadi.
"Aku ingin bicara." ucap Evan.
Brina menghela napas dan mengangguk pelan. "Apa?"
"Bagaimana hubunganmu dengan Andrew?" tanya Evan yang membuat Brina mengerutkan keningnya.
"Maksudmu? Dia klienku."
"Klienmu Pak Jeremy, Andrew hanya perantara saja. Kamu terlihat lebih dekat dari sekedar klien." ucap Evan seraya memandang Brina dengan serius.
Brina menghembuskan napas kasar. Tubuhnya benar-benar lelah hari ini dan dia ingin cepat-cepat mengistirahatkan badannya tapi atasannya yang tidak tahu diri ini malah menahannya dengan omong kosong.
"Sebenarnya apa yang ingin coba kamu utarakan?! Aku dan Andrew tidak ada hubungan apapun selain hubungan kerja. Dekat? Tentu saja kami harus dekat karena proyek yang aku pegang adalah proyek villa untuk ibunya Andrew. Aku harus tahu selera istri Pak Jeremy lewat anaknya." jelas Brina dengan nada kesal.
Evan mengerutkan keningnya lalu mendengus. "Kenapa kamu begitu sensitif? Kamu tidak perlu sebegitu marahnya hanya karena aku menanyakan kedekatanmu dengan Andrew." Evan lalu menyeringai. "Apa jangan-jangan, kamu memang punya hubungan yang lebih dekat dengan pengacara itu?!"
Pertanyaan itu semakin membuat Brina kesal. "Hentikan omong kosongmu, Evan Wilde. Aku tidak punya waktu untuk ini. Aku baru saja memulai proyek pertamaku setelah terkena kasus." Brina memijit pangkal hidungnya, wajah lelahnya begitu kentara.
Sejak tiba di restoran, tubuh Brina sudah tidak fit. Entah karena tubuhnya kecapaian karena jet lag. Biasaya dia tidak pernah merasakan jet lag jika hanya melakukan penerbangan singkat.
"Dengar Tuan Evan Wilde yang terhormat. Aku tidak punya apapun untuk menjawab rasa penasaranmu itu karena memang tidak ada jawabannya. Aku juga tidak tahu kenapa kamu begitu penasaran atas kedekatanku dengan Andrew dan jika pun kamu punya jawaban atas rasa penasaranmu, aku tidak peduli. Aku tidak ingin tahu itu. Yang aku inginkan saat ini adalah enyah dari hadapanmu dan tidur di atas kasur yang nyaman!" jelas Brina panjang lebar diakhiri dengan nada yang sedikit tinggi.
"Baiklah." ucap Evan singkat dan berlalu masuk ke kamarnya, meninggalkan Brina yang terdiam di ambang pintu.
Brina masih terdiam beberapa saat seraya memperhatikan pintu kamar Evan yang tepat di seberang kamarnya.
"Aneh!" Brina mendengus kesal lalu segera masuk ke kamarnya. "Siapa coba tadi yang menahanku?! Dasar manusia tidak jelas!" kesal Brina dan berlanjut menuju kamar mandi.
Beberapa menit kemudian Brina selesai membersihkan diri. Tubuhnya masih tidak fit dan ketika Brina memegang keningnya, terasa panas menjalar ke tangannya.
"Ah tidak! Aku tidak ingin demam! Aku tidak boleh demam!" rengek Brina seraya melemparkan diri ke atas ranjang. "Padahal sudah lama aku tidak sakit tapi bagaimana bisa aku demam saat sedang di sini!" lanjutnya.
Brina berguling-guling dengan kesal di tas ranjang seperti anak kecil lalu berhenti dan seketika menyesal karena kepalanya malah tambah pusing.
"Huh! Ini semua gara-gara Evan Wilde sialan itu! Dia membuatku kelelahan setelah bawa koper gedenya itu! Arrghhh!" jeritnya kesal dan kembali menyesal karena rasa sakit di kepalanya langsung menyerang.
***
Bali dan keindahannya memang tidak bisa diabaikan oleh siapapun yang sedang berkunjung. Sekalipun beberapa orang sudah sering mengunjungi Bali, namun pesona Bali selalu berbeda mau berapa kali pun dikunjungi.
Sayangnya, seseorang yang sedang berdiri menghadap hamparan sawah yang menghijau di depannya, tidak menikmatinya. Brina yang sedang dalam kondisi yang buruk, terlalu sibuk menahan dirinya untuk tidak mengeluh karena sakit dan panas terik yang menyerangnya.
"Ayahku ingin ada kolam ikan yang cukup untuk menampung ikan koi di halaman depan dan beberapa lahan yang cukup untuk tanaman hijau di samping kolamnya." jelas Andrew seraya memperhatikan tablet di tangannya dan menuliskan beebrapa detail pada desain villa yang sudah dibuat Brina.
Brina tak menanggapi dan hanya bisa diam, ikut mengamati apa yang dilakukan Andrew.
"Terus untuk jalur menuju teras, ayahku ingin dilapisi--"
"Bisakan kita pindah? Terlalu panas di sini." potong Brina meminta dengan napas yang sudah tidak beraturan.
Andrew segera menoleh ke arah Brina dan terkejut melihat ekspresi Brina yang begitu kelelahan. "Oh, maaf. Ayo kita pindah!" tanpa ijin, Andrew segera menarik tangan Brina dan membawanya ke dalam mobil. "Maaf membuatmu berdiam lama di bawah terik matahari. Aku terlalu bersemangat untuk proyek ini." ucap Andrew seraya menyalakan pendingin.
Brina tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Harusnya aku yang meminta maaf tapi ini sudah terlalu panas."
Andrew segera menyalakan mobil lalu melajukannya. Andrew menoleh sesaat untuk memperlihatkan senyum tipis pada Brina. "Tak apa. Aku punya cafe di sini. Aku akan membawamu ke sana. Kita lanjutkan diskusinya di sana."
"Kamu punya cafe?" Andrew mengangguk mantap. "Selain menjadi pengacara, kamu punya usaha sampingan juga."
"Bisnis tetaplah bisnis. Lagipula menjadi pengacara tidak menjamin hidupku akan selalu berjalan mulus. Harus selalu ada passive income yang berjalan di samping pekerjaan utama. Aku tidak bisa hanya mengandalkan gaji dari perusahaan dan bonus uang dari klien. Harus tetap punya usaha sampingan, bukan? Bisnis kuliner adalah usaha yang cukup menjanjikan." jawab Andrew dengan menjelaskan lebar.
Brina mengangguk paham. "Kamu benar, tapi keluargamu sudah kaya Andrew. Firma hukum keluarga Pak Jeremy sudah berdiri puluhan tahun. Kekayaan keluargamu sudah lebih dari cukup."
Mendengar itu Andrew malah tergelak. "Hei, lihat dirimu sendiri, Brina! Kamu cucu dari pendiri Saina. Keluargaku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keluargamu."
"Jangan membuatku besar kepala. Itulah kenapa aku memilih menjadi arsitek dan meniti karirku sendiri tanpa keluargaku." ucap Brina.
"Kamu cerdas dan wanita mandiri, Brina." Andrew melirik ke arah Brina, memberikan senyum tampannya. "Aku sudah cukup lama mengagumimu sebenarnya." aku Andrew.
“Maksudmu?” tanya Brina heran.
Namun tak ada jawaban yang keluar dari mulut Andrew. Pria itu hanya menatap Brina sekilas dengan senyum khasnya yang tipis, membiarkan Brina menatap Andrew bingung.
"Sudah sampai. Ayo!"
Ternyata mobil Andrew sudah sampai di cafe milik Andrew yang tadi disebutkan. Brina mengambil tas tangannya dan keluar dari mobil ketika Andrew membukakan pintu mobil untuknya.
"Terima kasih. Kamu tidak perlu melakukan itu." ucap Brina.
"Aku hanya bersikap sopan." balas Andrew lalu membiarkan Brina berjalan lebih dulu ke dalam cafe.
Brina dibiarkan untuk mencari tempat duduk lebih dulu sementara Andrew menuju meja kasir untuk memesan minuman untuk mereka berdua.
Sementara itu Brina melihat sekeliling suasana cafe yang begitu nyaman. Desain yang apik dan hangat dengan perpaduan warna kayu yang mendominasi. Di setiap sudutnya dihiasi pot besar dengan berbagai jenis tanaman. Jelas sekali mempertahankan kenyamanan dan keasrian tempat ini.
Brina mengambil tempat duduk di sudut ruangan samping jendela besar yang mengarah ke taman. Dia lalu mulai mengeluarkan tabletnya dan memeriksa kembali desain villa untuk Pak Jeremy.
Setelah itu Andrew menyusul dan mereka mulai berdiskusi membahas desain villa tersebut. Beberapa menit kemudian pesanan minuman yang dipesan Andrew datang bersamaan dengan seorang pria bersetelan jas, tiba-tiba duduk di samping Brina.
Brina menoleh ke samping dengan terkejut. "E-Ev-- Pak Evan, sedang apa anda di sini?"
Tanpa meminta ijin siapapun, Evan mengambil segelas kopi yang sudah berkurang seperempatnya dan langsung meminumnya.
"Hei, itu minumanku!" protes Brina segera.
"Ah, segarnya. Ini enak." ucap Evan dan kembali menyeruput kopi yang ternyata milik Brina hingga habis. "Maaf aku habiskan. Kamu pesan lagi saja."
Brina hanya bisa diam dan menatap Evan kesal. Selalu saja pria itu bertindak semaunya tanpa memikirkan yang lain.
"Biar aku pesankan." Andrew segera berinisiatif lalu memanggil seorang karyawan dan kembali memesan dua gelas kopi. "Tuan Evan, bagaimana anda bisa ke sini?" tanya Andrew. Ekspresinya terlihat tidak ramah. Jelas sekali kurang menyukai kehadiran Evan di sini.
"Tentu saja naik mobil." Evan kembali mengambil milik Brina tanpa ijin yaitu memakan sepotong kue coklat dan langsung memakannya tanpa rasa bersalah. "Hmm! Ini juga enak. Manisnya pas." puji Evan dengan senyum lebar pada Brina yang masih menyorotnya dengan tatapan tajam.
"Apa yang anda lakukan di sini, Pak?" tanya Brina dengan gigi merapat, sengaja memperlihatkan kekesalannya pada atasannya itu.
"Aku sengaja ke sini untuk mengawasimu bekerja, Nona Sabrina." sahut Evan.
"Bagaimana bisa anda tau kami berdua di sini?" kali ini Andrew bertanya.
"Itu mudah dan bukan urusanmu. Yang jelas saya sebagai atasan, sedang membantu mengawasi jalannya proyel villa Pak Jeremy agar semakin lancar." jelas Evan.
Brina menggelengkan kepalanya lemah, kelakuan Evan memang tidak bisa ditebak. Mengawasi? Apanya yang mengawasi, yang ada kehadiran pria itu malah mengganggu di sini.
Seketika Andrew mengeluarkan tawa canggung. "Haha. Anda memang atasan yang sangat pengertian." ucap Andrew. Dia lalu memperhatikan Brina. "Terutama pada Brina. Saya jadi mengira bahwa Brina ini karyawan kesayangan anda, Tuan Evan."
Ucapan Andrew sukses menegakkan kepala Brina dan menatap Andrew yang berada di hadapannya. Entah kenapa suasana tegang langsung menyergap meja mereka. Terutama Evan dengan seringaiannya menatap nyalang pada Andrew.
"Tentu saja. Saya harus memberi perhatian lebih pada Sabrina. Dia bukan cuma karyawan kesayangan saya." Evan melipat tangannya, seolah memperlihatkan sisi arogannya.
Andrew merapatkan bibirnya. "Selain itu?"
"Dia tunangan saya."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments