“Aku mohon batalkan perjodohan itu.”
“Kenapa?! Pak Ivan sudah menelepon ayah dan mengatakan bahwa Evan menerima perjodohan ini.” Jelas Sandi.
“Tidak denganku, Ayah.” Brina menghela napas panjang. “Aku tidak mau melanjutkan perjodohan ini, karena itu aku ingin ayah bilang pada Tuan Ivan untuk membatalkan perjodohan ini.” Pinta Brina dengan memelas.
“Ayah pikir saat Evan menerima perjodohan ini sudah atas persetujuan kamu.” Brina menggeleng pelan. “Ayah pun belum mengatakan setuju atas perjodohan ini karena ayah belum mendengar jawaban langsung dari kamu, sayang.”
Brina tersenyum. “Jadi ayah mau kan membatalkannya?”
“Ayah sebenarnya tidak berhak ikut campur urusan perjodohan ini. Ayah cuma bisa mendukung keputusan kalian akhirnya bagaimana, tapi kalau memang kamu tidak mau melanjutkan perjodohan ini lagi, kamu bisa kasih tahu Salsa. Kakakmu yang mengatur semua ini, sayang. Ayah cuma ikut saja apa rencana kalian.” Ucap Sandi menjelaskan.
Senyum Brina merosot. “Ya tapi setidaknya ayah bisa kasih tahu ke Pak Evan kalau Brina tidak ingin melanjutkan perjodohan ini.”
“Ayah pikir kedekatanmu dengan Evan berjalan baik sampai-sampai Evan langsung menyetujui perjodohan ini.” Sandi menatap Brina yang berwajah masam. “Kamu tidak menyukai Evan? Dia pria yang tampan, lho! Dan Ayah rasa dia terlihat menyukaimu apalagi sampai mengajakmu berdansa waktu itu.” Ucap Sandi.
“Jangan mengingatkanku lagi dengan pesta itu, Ayah.” Brina mencebik lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil.
Sandi yang melihat putrinya merajuk hanya bisa tersenyum kecil. Diraihnya tangan Brina dan langsung dia genggam erat tangan putri bungsunya itu.
“Ayah tidak ingin sebenarnya memaksakan kamu atas perjodohan ini. Ayah tahu kamu selalu menentang apapun yang dilakukan kakakmu dalam mencarikan suami untukmu.” Sandi menghela napas sejenak. Tangannya yang keriput mengusap lembut kepala putrinya. “Usia Ayah tidak lagi muda. Ayah ingin sekali melihat putri-putri ayah sudah memiliki lelaki yang akan selalu melindungi kalian untuk menggantikan Ayah. Bagaimana pun, Ayah ingin kebahagian untuk kalian berdua.”
Ucapan Sandi membuat Brina mengalihkan perhatiannya pada ayahnya lagi. “Kenapa ayah bicara seperti itu? Jangan bawa-bawa usia bisa kan?!” kesal Brina.
Sandi tergelak. Tangannya kini mengusap lembut tangan putrinya yang dia genggam. “Dicoba saja perjodohan ini. Sejauh yang Ayah perhatikan, dari banyaknya laki-laki yang Salsa jodohkan untukmu, hanya Evan yang cukup membuat Ayah merasa tenang melepasmu.”
“Itu karena Ayah belum mengenalnya. Percayalah, Evan pria paling menyebalkan yang pernah aku kenal.” Sanggah Brina cepat.
Bagaimana bisa ayahnya mengatakan bahwa Evan orang yang bisa dipercaya? Apa Ayahnya menganggap bahwa Evan adalah pria yang paling baik?
Tentu saja pikiran Ayahnya salah besar. Meski dalam waktu singkat, Brina langsung tidak menyukai Evan. Apalagi setelah berbagai ‘momen’nya dengan Evan yang tidak pernah menyenangkan bagi Brina, membuat dia tidak ingin melanjutkan hubungan apapun dengan Evan. Satu-satunya hubungan yang bisa dia pertahankan adalah kenyataan pahit bahwa Evan adalah atasannya.
Brina sudah cukup lama bekerja di Wilde Corp dan perusahaan konstruksi itu adalah yang terbaik dan dia bangga. Dia tidak bisa begitu saja mengundurkan diri dari pekerjaannya sekarang hanya karena tidak ingin memiliki hubungan dengan Evan.
Brina dengan terpaksa menerima Evan sebagai atasannya dan itu kenyataan yang tidak bisa dia abaikan. Dia juga tidak mengatahui apapun soal Keluarga Wilde. Dia juga tidak menduga dirinya akan dijodohkan dengan Evan Wilde dan membuat hubungannya dengan Evan harus seperti ini.
Sisa perjalanan itu dipenuhi keheningan. Brina sudah tidak bersemangat untuk membujuk ayahnya. Dia juga tahu bahwa ayahnya memang tidak pernah ikut campur dalam urusan perjodohan yang selalu direncanakan Salsa, namun dia ingin untuk kali ini ayahnya mau membantunya untuk membatalkan perjodohannya dengan Evan.
Mobil berhenti di depan gedung apartemen Brina. Sandi menarik Brina ke dalam pelukannya sebelum membiarkan putri bungsunya keluar mobil.
“Ayah masih merindukanmu, sayang.” Ucap Sandi dengan lembut.
Brina hanya tersenyum tipis dibalik pelukan ayahnya yang hangat. “Maaf. Mungkin lain kali saja. Aku benar-benar akan sibuk akhir-akhir ini. Apalagi setelah dua minggu tidak masuk.” Jelas Brina.
Sandi melepas pelukannya lalu menatap Brina dengan kening berkerut. “Tidak masuk? Kenapa?”
Brina membulat terkejut. Dia mengutuk dirinya sendiri karena keceplosan. “Ah tidak ada. Aku ikut workshop saat itu.” Jawab Brina dengan senyum palsu.
“Bukan karena kasusmu dengan pengacara itu?”
Brina membeku. Ayahnya tahu kasusnya itu padalah dia tidak pernah memberitahukan keluarganya.
“Kaget kenapa ayah bisa tahu?” tanya Sandi.
Brina terkekeh pelan. “M-maksud ayah apa? Kasus apa ya? Pengacara apa itu? Haha!”
Mata Sandi menyipit menatap Brina. “Jangan berusaha menutup-nutupi. Jangan bilang, dua minggu kamu tidak masuk kerja karena kasus itu, kan?!” tanya Sandi menebak.
“Haha, Ayah apaan sih!” Brina semakin tergelak. “Sudah. Aku harus pergi. Aku harus siap-siap untuk besok. See u!”
Secepat kilat Brina mengecup pipi ayahnya lalu melesat keluar mobil dan langsung berlari masuk ke dalam gedung apartemennya, meninggalkan Sandi yang hanya bisa terkekeh melihat tingkah putri bungsunya itu.
***
Suara panggilan masuk berdering nyaring dari ponsel milik Brina. Dia segera mengeceknya yang baru saja selesai mandi. Layar ponselnya menampilkan delapan panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal.
Brina hanya memandanginya, tak berpikiran untuk menelepon balik nomor tak dikenal itu. Dia kembali meletakkan ponselnya di atas kasur lalu mulai bersiap-siap untuk berangkat ke bandara.
Setelah memakai pakaian dia bersiap untuk merapikan barang bawaannya lalu setelah itu sarapan.
Baru selesai Brina merapikan barang-barangnya, dering ponselnya menyala dan itu dari nomor yang tak dikenal tadi. Dia menatap nomornya sesaat sebelum akhirnya mengangkat panggilan dari nomor tak dikenal itu.
“Halo.” Sahut Brina.
“Akhirnya kamu mengangkat telepon.” seru suara berat dari seberang telepon.
Brina mengerutkan keningnya. Dia tak mengenali suara pria itu. “Ini siapa?” tanya Brina.
“Kamu tidak mengenali suaraku, Sabrina?” jawab pria itu dengan balik bertanya. Nadanya terdengar marah. “Apa kamu tidak menyimpan nomor atasanmu ini, Nona Sabrina?”
Kening Brina semakin berkerut dalam. “Evan?” tebak Brina. Untuk apa pria itu meneleponnya sepagi ini?
Tawa kecil terdengar. “Sekarang kamu mengenaliku.”
Brina menghela napas pelan. “Saya tidak tahu ada urusan apa Bapak sampai menelepon saya, namun jika Bapak ingin meminta bantuan, saya tidak bisa melakukannya. Saya sedang bersiap-siap untuk pergi ke Bali hari ini.”
“Saya tahu itu. Saya sudah di depan apartemenmu. Saya tunggu dalam lima menit.”
Belum sempat Brina merespon, panggilan sudah terputus. Dia memandangi layar ponselnya dengan kening berkerut seolah-olah dia sedang memandangi si pemanggil tadi.
Apa kata Evan tadi? Dia sudah di depan apartemennya? Brina tidak menghiraukan perkataan atasannya itu dan memilih melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.
Biar saja. Tidak mungkin Evan akan ikut ke Bali bukan? Setahu Brina, hanya dirinya yang meminta jadwal ke Bali itu pun untuk survei lokasi proyek vila Pak Jeremy. Andrew akan menyusul dan membantunya selama tiga hari di Bali untuk mengurus proyek itu.
Setelah merapikan dandanannya dan diakhiri dengan sarapan, Brina memasukan barang terakhirnya yang akan dia bawa ke dalam koper. Selama Brina bersiap-siap itu pula, entah sudah berapa kali ponselnya berdering nyaring.
Brina sama sekali tidak berniat untuk mengecek siapa yang meneleponnya terus menerus. Dia tidak suka paginya diganggu apalagi ketika dia sedang mempersiapkan sesuatu.
Bersamaan dengan sering ponselnya berhenti, suara bel menyusulnya. Brina yang sedang mengikat rambutnya segera keluar dari kamarnya.
Suara bel itu tidak berhenti dan terus berbunyi membuat Brina kesal. Setengah berlari cepat, Brina segera menghampiri pintu depan untuk membukakan pintu untuk tamu sialan yang sudah mengganggu paginya.
“Iya, sebentar!” teriak Brina.
Pintu terbuka dan memperlihatkan seorang pria dengan wajah yang terlihat marah.
Brina terdiam sesaat melihat pria itu. Dia tak percaya bahwa Evan Wilde berdiri di hadapannya kini. “Kamu.. apa yang kamu lakukan di sini?”
Evan menghela napas panjang. “Saya atasanmu, bisakah kamu sopan sedikit?”
“Maaf.”
“Saya tadi bilang apa?! Saya tunggu lima menit!” ucap Evan. “Ini sudah lebih dari dua puluh menit dan kamu belum juga keluar!”
Brina mengerjapkan matanya. Evan benar-benar kelihatan marah sekali. “A-aku pikir... saya pikir.. itu bohongan.”
“Bohong?!” Evan mendengus. “Untuk apa saya bohong? Sekarang bawa barang-barang kamu dan segera turun.” Evan hendak berbalik namun terhenti saat Brina berbicara.
“Untuk apa?”
“Kamu mau ke Bali kan? Saya juga ke Bali. Kita berangkat sama-sama.” Jelas Evan.
Penjelasan Evan membuat Brina mengernyitkan keningnya. “T-tapi untuk apa Tuan Evan pergi ke Bali?”
“Kenapa? Kamu pikir saya ngikutin kamu? Saya juga ada urusan yang harus saya urus di Bali.” Evan melangkah mendekat dan itu membuat Brina refleks melangkah mundur.
Brina melihat ekspresi Evan yang seketika berubah. Dia bisa melihat seringaian kecil di bibir Evan. Entah apa yang dipikirkan Evan saat ini.
“Kenapa diam? Kamu benar-benar berharap saya pergi ke Bali karena mengikutimu?”
Brina merenggut kesal. Apa?! Berharap?! Bahkan sedetik pun dia tidak berharap untuk bertemu Evan seperti ini.
Evan semakin mendekat dan otomatis Brina mundur. Keduanya sudah semakin masuk ke dalam apartemen Brina. “Anggap saja keberangkatan kita ke Bali menjadi langkah awal untuk mendekatkan perjodohan ini. Bagaimana? Kita bisa bersenang-senang di sana.”
Brina mendengus kesal. Dia bersiap untuk mundur lagi agar menjauhi Evan namun lengan kekar pria itu malah menangkap tubuhnya dan menghentikan pergerakannya. Tubuhnya begitu rapat pada tubuh Evan.
“Kamu!!”
Evan menyeringai semakin lebar. Entah kenapa jantung Brina berdebar-debar dengan cepat di saat seperti ini. Wajah tampan Evan yang begitu dekat membuatnya gugup dan tidak berkutik.
Brina memejamkan matanya saat Evan semakin mendekatkan wajahnya padanya. Hingga sebuah bisikan membuat wanita itu membulatkan matanya.
“Kita bisa bersenang-senang seperti saat kita pertama bertemu. Bagaimana, Brina sayang?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments